Instabilitas Ekonomi Menguji Daya Tahan Perusahaan Rintisan
Perusahaan rintisan berada di ambang tekanan seiring dengan kebijakan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS. Tekanan ini makin berat seiring dengan tantangan usaha rintisan untuk keluar dari zona merugi.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Langkah Bank Sentral AS mengerem laju inflasi mulai menimbulkan dampak. Salah satu yang paling terdampak dari kebijakan moneter ini ialah perusahaan rintisanyang selama satu dekade terakhir terus meraksasa. Jika tak pandai mengatur strategi, sedikit harapan dari perusahaan perintis ini untuk bisa bertahan di ”musim dingin” ini.
Kenaikan suku bunga secara tajam sebagai upaya menghambat inflasi yang dilakukan oleh The Fed ini memang telah diprediksi akan memengaruhi perekonomian dunia.
Terlebih lagi, langkah dramatis ini diambil di tengah perekonomian dunia yang masih belum sepenuhnya stabil setelah dihantam pandemi Covid-19 dan kini tengah digoyang oleh konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.
Seminggu setelah kebijakan tersebut diumumkan, bursa pasar saham mulai rontok. Di Wall Street, indeks Dow Jones dan S&P 500 anjlok ke level terendah selama lebih dari satu tahun.
Hal serupa juga terjadi di pasar mayor dunia, seperti Shanghai Composite Index di China dan Nikkei 225 di Jepang. Artinya, pasar modal dunia bak mengalami reset ke posisi ketika pandemi masih meradang.
Di tingkat yang lebih makro, perubahan kebijakan The Fed ini juga akan menarik modal-modal yang tersebar di pasar sejumlah negara kembali ke AS.
Kian sempitnya ruang bagi modal segar untuk masuk akibat gejolak ekonomi ini mengirimkan getaran kepada para perusahaan rintisan teknologi.
Pasalnya, banyak dari perusahaan ini yang masih sangat bergantung pada masuknya modal investor untuk mengembangkan usaha. Bahayanya, tak semua dari perusahaan ini mempertimbangkan adanya perubahan besar dalam ekonomi global dalam waktu yang sangat singkat.
Terlebih lagi, berbagai seri dana investasi yang mengucur ini tidak datang secara cuma-cuma. Para penyalur modal pun turut merasakan tekanan sehingga mulai gerah dengan perusahaan-perusahaan yang tak kunjung dapat membukukan untung. Bagi mereka, sudah waktunya untuk menuai hasil dari benih-benih yang semenjak satu dekade silam telah mereka tanam.
Sayangnya, tak semua perusahaan rintisan ini mencapai target yang sebelumnya telah ditetapkan. Bahkan, tak sedikit dari perusahaan ini yang masih membukukan rugi hingga tahun 2021. Padahal, mereka sudah mendapatkan modal hingga miliaran dollar AS dan telah mendapatkan status elite decacorn.
Salah satu perusahaan rintisan teknologi yang masih terseok-seok ialah Grab. Walaupun jumlah penjualannya (gross merchandise value/GMV), mengalami peningkatan 29 persen secara year on year hingga di angka 16,1 miliar dollar AS dan total pendapatannya meningkat sebesar 44 persen secara year on year, perusahaan ini masih membukukan kerugian sebesar 3,6 miliar dollar AS. Jika dikonversi menjadi rupiah, perusahaan ini menelan kerugian hingga lebih dari Rp 52,5 triliun dalam setahun.
Tak semua perusahaan rintisan mencapai target yang sebelumnya telah ditetapkan, bahkan ada yang masih rugi.
Hal serupa juga turut dialami oleh perusahaan rintisan Indonesia. Salah satu yang juga masih besar pasak daripada tiang ialah GOTO.
Sama dengan perusahaan kompetitornya, GOTO juga masih menanggung kerugian sebesar Rp 11,57 triliun. Meskipun begitu, nilai kerugian ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan nilai kerugian mereka pada tahun 2019 yang mencapai lebih dari Rp 22 triliun.
Laporan keuangan yang masih cenderung merah ini pun membuat langkah perusahaan-perusahaan rintisan di bursa menjadi kian berat. Harapan mereka untuk menjaring modal lebih kuat melalui pasar saham nyatanya bertepuk sebelah tangan.
Hal ini terlihat dari harga saham Bukalapak dan GOTO yang hingga kini belum bisa bergerak lebih tinggi daripada harga penawaran saat pertama melantai.
Tak ayal, perusahaan-perusahaan perintis ini pun harus memutar otak untuk bisa sekadar bertahan. Demi memangkas kerugian yang terus dialami, beberapa perusahaan rintisan yang terdampak perubahan arah angin ekonomi global ini pun harus menelan pil pahit.
Salah satu strategi yang harus mereka ambil ialah dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah masif. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan kondisi keuangan agar perusahaan mereka tidak karam.
Di Indonesia sendiri, setidaknya terdapat dua perusahaan rintisan teknologi pada bidang usaha berbeda yang memecat ratusan karyawannya dalam waktu relatif berdekatan.
Di satu sisi, strategi ini bukanlah hal baru dan sah-sah saja untuk dilakukan oleh sebuah perusahaan. Namun, apabila dilakukan dalam waktu singkat, hal tersebut bisa menjadi gejala dari persoalan yang lebih serius. Terlebih lagi, kebijakan ini tak hanya diambil oleh satu perusahaan dan terjadi di lebih dari satu sektor.
Selain itu, pengurangan jumlah karyawan bukanlah strategi bisnis yang berkelanjutan. Dengan tim yang kian mengerut, tentu produktivitas perusahaan juga akan terdampak. Ujungnya, perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin sulit untuk mengejar target dan mempertahankan valuasi yang sudah susah payah dibangun.
Pengurangan jumlah karyawan bukanlah strategi bisnis yang berkelanjutan.
Mau tak mau, perusahaan-perusahaan tersebut harus bergerak cepat untuk mencapai titik keseimbangan. Strategi-strategi jangka pendek, seperti memasang harga predator(predatory pricing), untuk mencaplok pasar baru akan sulit untuk dilakukan dengan situasi pendanaan yang ketat. Kini, mereka harus bisa berbisnis hingga dapat membukukan keuntungan.
Akhirnya, harga jasa atau produk yang sebelumnya sangat murah perlahan-lahan akan mengalami peningkatan. Kenaikan harga ini tentu akan dibarengi dengan penurunan permintaan. Ketika hal ini terjadi, barulah terlihat seberapa besar pasar dari perusahaan-perusahaan rintisan ini yang ”sebenarnya”.
Tentu, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan, dari pengalaman sebelumnya seperti pada gelembung .com di AS pada awal 2000-an dan pada masa taper tantrum AS pada 2013, sebagian besar perusahaan rintisan tidak mampu untuk bertahan dan harus gulung tikar. Hanya perusahaan-perusahaan raksasa yang kini merajai industri saja, seperti Amazon, Google, dan Meta, yang mampu bertahan.
Tanpa model bisnis sehat yang dapat membukukan laba, kisah sukses perusahaan-perusahaan rintisan hanya akan seumur jagung.
Pada akhirnya, instabilitas ekonomi yang tengah terjadi ini bisa membuka tabir ilusi ekonomi digital yang selama ini tampak sangat indah dan menjanjikan. Di balik segala jargon dan semangat yang dibawa, start up rintisan ini harus bisa berlaku layaknya perusahaan pada umumnya.
Tanpa adanya model bisnis sehat yang dapat membukukan laba, kisah sukses perusahaan-perusahaan ini hanya akan seumur jagung. Jika tren ini terus berlanjut, tak tertutup kemungkinan apabila dampak yang dirasakan nantinya akan bersifat sistemik. Inilah ujian berat bagi masa depan perusahaan rintisan. (LITBANG KOMPAS)