Pilihan The Fed di Tengah Perang, Pandemi, dan Inflasi
Perang Rusia-Ukraina mengubah banyak perhitungan The Fed dalam memutuskan kebijakan moneternya pekan ini. Perang di Ukraina, kata Gubernur The Fed, ”Pengubah permainan dan akan bersama kita untuk waktu sangat lama.”
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Hingga akhir tahun lalu atau awal tahun ini, semua tampak terlihat mudah bagi bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, untuk memutuskan kebijakan moneternya. Pandemi Covid-19 dirasa terkendali, ekonomi mencoba pulih, dan pasar tenaga kerja tumbuh. Masalah lonjakan inflasi juga dapat dijinakkan lewat kebijakan kenaikan suku bunga secara moderat. Namun, perang Rusia-Ukraina sejak pekan keempat Februari lalu mengubah perhitungan itu.
Efek dari sebuah perang di Eropa, yang melibatkan produsen komoditas-komoditas utama, seperti Rusia dan Ukraina, plus sanksi-sanksi yang diterapkan AS bersama sekutunya, tidak dapat dianggap main-main. Ketika para pembuat kebijakan The Fed bertemu tengah pekan ini, 15-16 Maret 2022, mereka harus memutuskan seberapa besar ”kerusakan” yang telah terjadi pada proyeksi mereka sebelumnya atas ekonomi AS. Lalu, pilihan kebijakan seperti apa yang kemudian dipilih saat-saat ini.
Sejumlah kalangan menilai, The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuannya seperempat poin persentase pada akhir pertemuan, tengah pekan ini. Namun, yang lebih penting adalah proyeksi yang menunjukkan seberapa jauh para pembuat kebijakan berpikir bahwa suku bunga perlu naik pada tahun ini serta pada tahun 2023 dan 2024 untuk menjinakkan inflasi yang melampaui ekspektasi mereka. Pada Desember tahun lalu, sebagian besar pembuat kebijakan Fed memproyeksikan bahwa suku bunga hanya perlu naik menjadi 2,10 persen pada akhir 2024.
”Tidak ada keraguan bahwa FOMC (Komite Pasar Terbuka Federal) akan mulai menaikkan suku bunga. Apa yang semua orang ingin tahu adalah apa yang akan dilakukan The Fed selanjutnya?” tulis Roberto Perli dan tim analis di lembaga Piper Sandler.
Menurut Sandler, jika proyeksi baru menunjukkan target suku bunga The Fed melebihi 2,50 persen pada tahun-tahun mendatang, hal itu menandakan bahwa mayoritas anggota The Fed sangat khawatir dengan tingkat inflasi. Ini artinya, mereka tidak peduli mengambil risiko terjadinya sebuah resesi. Jika itu terjadi, pelaku pasar akan menangkapnya sebagai hawkish atau berlawanan dengan proyeksi pasar.
The Fed dijadwalkan merilis pernyataan kebijakan barunya dan memperbarui proyeksi ekonomi triwulanan pada Rabu (16/3) pukul 14.00 waktu Washington DC atau Kamis (17/3) WIB dini hari. Gubernur The Fed Jerome Powell akan mengadakan konferensi pers setengah jam kemudian.
Ini bisa dibilang akan menjadi momen paling penting bagi The Fed sejak musim semi 2020. Ketika itu para pejabat bank sentral menjanjikan dukungan terbuka untuk ekonomi yang dilanda pandemi Covid-19. Suku bunga dipangkas ke level mendekati nol dan memulai pembelian surat utang besar-besaran. The Fed juga berjanji untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjaga rumah tangga dan bisnis stabil secara finansial melalui krisis akibat pandemi.
Kalangan pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunganya sebanyak enam kali tahun ini. Namun, Kepala Ekonom Grant Thornton Diane Swonk memproyeksikan akan ada tujuh kali kenaikan suku bunga The Fed tahun ini. Adapun lembaga Wells Fargo menaikkan perkiraan mereka dari lima kali menjadi enam kali kenaikan suku bunga The Fed dengan kebijakan secara menyeluruh akan mempertahankan suku bunga di bawah dua persen.
Tingkat pengangguran di AS kini anjlok menjadi 3,8 persen. Menurut ukuran sejarah, itu tingkat pengangguran yang rendah. Rumah tangga-rumah tangga dibanjiri uang tunai dari program bantuan pemerintah terkait pandemi. Inflasi, yang mencapai tiga kali lipat dari target The Fed pada level 2 persen dan isu politik yang hangat, telah menjadi ancaman utama.
Dinamika hal-hal itu tidak hanya menantang kecakapan pembuatan kebijakan The Fed, tetapi juga meningkatkan momok kesulitan melaksanakan kebijakan, seperti pada era tahun 1970-an. Kala itu bank sentral harus memaksakan resesi guna mendapatkan harga di bawah kendali.
Langkah The Fed pada pekan ini tidak hanya akan membalikkan langkah-langkah darurat atas pandemi Covid-19. Namun, bank sentral AS itu juga harus memandu publik melalui labirin ”persaingan” antara pertimbangan ekonomi dan geopolitik. Siklus kenaikan suku bunga Fed sering kali datang dengan panduan khusus bank sentral. Kata-kata seperti ”terukur” atau ”bertahap” digunakan dalam pernyataan kebijakan untuk menyampaikan laju kenaikan suku bunga yang diinginkan.
Powell baru-baru ini menggunakan istilah yang kurang konkret, seperti ”gesit”. Istilah ini digunakannya untuk menyatakan atau menunjuk pada sebuah kebijakan yang diharapkan. Secara khusus hal itu mencakup, antara lain, kenaikan tarif yang stabil tahun ini, tetapi yang mungkin harus dipercepat atau diperlambat sebagai respons terhadap peristiwa dan kondisi yang berubah dengan cepat. Sayangnya, data dan juga perkembangan terbaru saat-saat ini tidak mendukung The Fed.
Daftar masalah yang dihadapi pembuat kebijakan yang berunding pekan ini memang menjadi panjang. Sejak pertemuan kebijakan terakhir pada akhir Januari lalu, inflasi tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang jelas. Terakhir kali The Fed menerbitkan proyeksi ekonomi AS pada Desember tahun lalu. Inflasi inti di AS diperkirakan sebesar 2,7 persen sepanjang tahun 2022, kemudian turun ke level 2,3 persen pada tahun berikutnya.
Tingkat inflasi saat ini berada pada level 5,2 persen. Inflasi AS pernah meroket hingga 7 persen per Desember 2021. Ini level inflasi tertinggi sejak Juni 1982.
Kondisi tersebut menempatkan sikap The Fed saat ini semakin tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Ekspektasi inflasi jangka panjang, yang menjadi perhatian khusus bagi bank sentral sebagai tanda apakah lembaga itu masih memperoleh kepercayaan publik atas kemampuan mereka menahan harga, juga sudah mulai naik.
Perang Rusia-Ukraina tidak memiliki resolusi yang jelas, minimal hingga yang terlihat saat ini. Perang itu dapat memicu lebih banyak inflasi melalui peningkatan biaya energi dan gangguan lebih lanjut pada rantai pasokan. Bahkan, penataan ulang perdagangan dan tata kelola global bisa berakibat pada harga yang terus-menerus lebih tinggi.
Perang di Ukraina, kata Powell, ”adalah pengubah permainan dan akan bersama kita untuk waktu yang sangat lama.” Itu dikatakannya kepada Komite Jasa Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat AS pada 2 Maret lalu. ”Apa efek nyatanya terhadap ekonomi AS? Kami tidak tahu, apakah efek itu akan bertahan lama atau tidak,” katanya. (REUTERS)