Pertemuan Golkar, PAN, dan PPP menjadi babak awal proses komunikasi politik antarpartai jelang kontestasi 2024. Kepastian calon presiden menjadi faktor penentu soliditas koalisi antar-partai politik.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
ISTIMEWA
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berbincang dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa (kiri) di Rumah Heritage Jakarta, Kamis (12/5/2022), untuk membahas penjajakan koalisi partai dalam Pemilu 2024.
Pertemuan tiga ketua umum partai politik, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, bisa menjadi fase awal bangunan koalisi partai politik menjelang kontestasi Pemilu 2024. Namun, jika melihat rekam jejak koalisi di pemilihan presiden, pertemuan ini bukanlah sesuatu yang final.
Pertemuan tiga ketua umum partai politik, yakni Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa, yang digelar pekan lalu, Kamis (12/5/2022), tercatat sebagai pertemuan pertama sejumlah partai politik yang pembicaraannya sudah mengarah pada peluang berkoalisi di Pemilihan Umum 2024.
Pertemuan Golkar, PAN, dan PPP bisa menjadi fase awal bangunan koalisi partai politik menjelang kontestasi Pemilu 2024.
Ketiga ketua umum ini bahkan sudah menyebut bahwa pertemuan mereka mengarah pada terbentuknya Koalisi Bertiga Bersatu, yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. Koalisi ini menyampaikan, mereka terbuka jika ada partai politik lain yang bergabung dalam koalisi tersebut. Koalisi ini juga tegas menyatakan, mereka tidak eksklusif dan terbuka jika ada yang ingin bergabung.
Jika mengacu perolehan kursi DPR di Pemilu 2019, Partai Golkar meraih 85 kursi (14,8 persen), PAN 44 kursi (7,7 persen), dan PPP memiliki 19 kursi (3,3 persen). Jika ditotal, koalisi dari tiga partai politik ini meraih 25,8 persen kursi DPR. Artinya, ketiga partai ini sudah cukup memenuhi syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang minimal di regulasi disebutkan memiliki 20 persen kursi di DPR nasional.
Jika diasumsikan Koalisi Bertiga Bersatu ini hanya terdiri dari tiga partai politik, dalam arti, tidak ada lagi tambahan partai politik yang bergabung, ada enam partai politik pemilik kursi DPR yang berpeluang membuat koalisi baru untuk kepentingan pemilihan presiden 2024.
Keenam partai politik tersesbut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasdem.
Dari enam partai politik di atas, jika mengacu pada partai pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, koalisi PDI-P, Gerindra, PKB, dan Nasdem berpeluang bisa menjadi satu koalisi, tetapi Partai Demokrat dan PKS kurang kursi jika harus berkoalisi.
Jika diasumsikan koalisi pendukung pemerintah Jokowi-Ma’ruf hanya terdiri dari PDI-P dan Gerindra seperti yang selama ini disebut-sebut, akan lahir dua koalisi di luar Koalisi Bertiga Bersatu, yakni koalisi PDI-P dan Gerindra dengan total 35,9 persen kursi DPR. Kemudian satu koalisi terdiri dari PKB, Nasdem, Demokrat, dan PKS dengan total mencapai 38,5 persen kursi DPR.
Merujuk simulasi tiga koalisi ini, maka Pemilihan Presiden 2024 berpeluang memunculkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dari koalisi PDI-P dan Gerindra memiliki nama-nama seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, kader PDI-P yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Ketua DPR Puan Maharani.
PDI-P akan dihadapkan pada dinamika di internal mereka, terutama dalam menentukan apakah tiket pencapresan dari partai ini akan diberikan kepada Ganjar atau Puan.
ISTIMEWA
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (ketiga dari kiri) berbincang santai dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa (kedua dari kiri), dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) didampingi Bendahara Umum Golkar Dito Ganinduto, politikus PAN Asman Abnur, dan politikus PPP Muhamad Mardiono.
Nama Ganjar sendiri masuk dalam papan atas elektabilitas capres di survei Kompas pada Januari lalu. Tingkat keterpilihannya mencapai 20,5 persen, sedangkan Puan jauh di bawah Ganjar. Meskipun demikian, Puan memiliki akses otoritas partai dibandingkan Ganjar. Jika Ganjar bertopang pada elektabilitas, Puan ditopang oleh otoritas partai dalam menentukan kepada siapa tiket pencapresan diberikan.
Sementara nama Prabowo Subianto sendiri di atas kertas memang menjadi mayoritas tunggal di internal Gerindra. Sebagai mantan kontestan tiga kali pilpres, pengajuan nama Prabowo di Pemilihan Presiden 2024 juga demi kepentingan elektoral partai di pemilu legislatif. Apalagi, Prabowo memiliki dua modal, yakni elektabilitas dan otoritas.
Sebagai sosok calon presiden, namanya bertengger di papan atas elektabilitas. Survei Kompas pada Januari 2022 menempatkan nama Prabowo dengan elektabilitas mencapai 26,5 persen.
Selain berbekal elektabilitas, sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, tentu Prabowo juga memiliki akses otoritas terhadap keputusan partai dalam menentukan tiket pencapresan di 2024 nanti.
Kemudian bursa capres di Koalisi Bertiga Bersatu, di atas kertas memang belum menunjukkan siapa sosok yang dekat dengan koalisi ini. Jika merujuk modal otoritas dan elektabilitas, koalisi ini hanya bertumpu pada akses otoritas partai.
Pertemuan tiga ketua umum dalam koalisi ini memang berbasis pada otoritas karena ketiga ketua umum tentu memiliki akses langsung dalam proses penentuan capres di partainya masing-masing.
Namun, jika koalisi ini benar terjadi, kemungkinan besar akan ”merekrut” sosok dengan modal elektabilitas yang relatif tinggi berdasarkan hasil survei meskipun itu dari luar ketiga partai ini. Meskipun demikian, salah satu sosok dari pasangan calon yang diusung boleh jadi juga berasal dari ketiga ketua umum partai ini.
Sebagai partai politik dengan kepemilikan kursi paling banyak di koalisi tiga partai ini, nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto disinyalir bisa menjadi alternatif yang diusung. Gencarnya nama Airlangga dikampanyekan di ruang-ruang publik sejauh ini bisa menjadi ukuran peluang nama Airlangga dimunculkan dari koalisi ini.
NIKOLAUS HARBOWO
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berbicara ke awak media setelah menerima kunjungan silaturahmi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di rumah dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Minggu (15/5/2022).
Sementara itu, di peluang koalisi lain yang terbangun dari PKB, Nasdem, Demokrat, dan PKS juga berpeluang mengusung nama calon. Jika merujuk aspek otoritas partai, dari keempat partai ini hanya nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono yang gencar bersosialisasi diri sebagai calon presiden di 2024.
Namun, jika merujuk hasil survei, nama Muhaimin masih masuk dalam kelompok tokoh dengan elektabilitas jauh di bawah nama-nama yang selama ini beredar.
Sementara AHY masuk dalam kategori elektabilitas menengah, yang tentu juga masih jauh dari tiga nama yang selama ini masuk papan atas elektabilitas capres, yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyambut kedatangan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (8/7/2020). Pertemuan itu menjadi bagian dalam kunjungan silaturahmi AHY seusai terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada 15 Maret 2020 yang lalu. Selain bersilaturahmi, pertemuan antara AHY bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar juga membahas mengenai peta koalisi antara Demokrat dan PKB dalam pilkada serentak 2020.
Tentu, peluang empat partai politik ini akan tetap diuji oleh perjalanan waktu, setidaknya 1,5 tahun ke depan sebelum proses pendaftaran calon presiden yang diprediksi dibuka prosesnya pada September 2023.
Apalagi di dalam kelompok empat partai ini menjadi pertemuan antara partai yang selama ini mendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf (PKB dan Nasdem) dan partai yang berada di luar pemerintahan (Demokrat dan PKS).
Praktis, pertemuan Golkar, PAN, dan PPP yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Koalisi Bertiga Bersatu tidak lepas dari upaya membangun komunikasi politik semata menuju koalisi yang lebih kuat. Namun, untuk mengatakan ini sebagai koalisi yang final, rasanya masih terlalu dini.
Apalagi jika kita merujuk pengalaman proses penjajakan koalisi di pemilihan presiden sebelumnya, koalisi yang dibangun jauh-jauh hari belum bisa menunjukkan kepastian peta politik menuju kontestasi pemilihan presiden.
Pengalaman di proses Pemilihan Presiden 2014 ketika medan pertarungan tidak ada calon petahana bisa menjadi rujukan untuk melihat peta politik di 2024 dengan kondisi yang sama, yakni tanpa petahana. Saat itu hampir semua partai politik saling melakukan komunikasi politik, tetapi juga belum menjamin akan membangun sebuah koalisi.
Salah satunya adalah yang dilakukan Golkar. Pada 12 April 2014 Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Aburizal Bakrie, mengadakan pertemuan dengan calon presiden PDI-P, Joko Widodo. Saat itu publik merespons dengan prediksi akan terjadi koalisi antara PDI-P dan Golkar.
Namun, sejarah mencatat Golkar akhirnya berada di kubu yang berbeda dengan mendukung Prabowo sebagai calon presiden di 2014, meskipun kemudian dinamika yang terjadi pasca-pemilihan presiden Golkar pada akhirnya berlabuh mendukung Jokowi dengan masuk dalam pemerintahan.
DOKUMENTASI GERINDRA
Ketua DPR Puan Maharani mengajak Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto berswafoto bersama di kediaman Megawati, Jakarta, Senin (2/5/2022).
Pertemuan Golkar, PAN, dan PPP bisa menjadi awalan yang baik untuk partai-partai politik lainnya segera melakukan komunikasi politik demi kepentingan koalisi di Pemilihan Presiden 2024.
Semakin peta politik lebih jelas dan kepastian pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dini diperkenalkan kepada publik, pada akhirnya juga menguntungkan publik untuk jauh-jauh hari melakukan rekam jejak politik (political tracking) guna menentukan siapa yang layak dipilih memimpin negeri ini lima tahun ke depan. (LITBANG KOMPAS)