Mengapresiasi Kerelawanan Guru Agama
Peran guru agama nonformal penting dalam mengawal pendidikan agama. Sayangnya, kesejahteraan mereka belum optimal diperhatikan meskipun peran mereka lebih digerakkan oleh panggilan hati.
Guru agama nonformal mengajar tanpa pamrih. Kehadirannya di tengah masyarakat menjadi oase budi pekerti. Mereka mengisi kekurangan pendidik formal yang masih terbatas. Perannya masih tak terganti.
Pendidik nonformal agama hadir di tengah masyarakat sebagai pelita budi pekerti. Salah satunya adalah yang kita kenal sebagai guru ngaji Al Quran, sekolah minggu, pasraman, maupun vijjalaya. Kehadirannya senantiasa memboboti khazanah keagamaan tiap generasi.
Pendidik nonformal agama hadir di tengah masyarakat sebagai pelita budi pekerti.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan April lalu memotret hadirnya guru agama nonformal ini di tengah masyarakat. Sebanyak 82,0 persen responden beragama Islam menyebutkan, keberadaan guru ngaji Al Quran di daerah tempat tinggal mereka.
Sementara itu, 24,2 persen responden beragama Kristen/Katolik turut menyebut adanya pengajar sekolah minggu. Kemudian 20,0 persen responden yang memeluk Hindu atau Buddha menyampaikan keberadaan pendidik pasraman (Hindu) dan vijjalaya (Buddha) di lingkungan sekitar mereka. Para pengajar yang dimaksud pun merupakan sosok yang mengajar dengan sukarela. Bahkan, tanpa meminta bayaran.
Kehadiran guru agama nonformal berdampak pada masyarakat luas. Setidaknya hal ini tecermin dari banyaknya responden yang pernah menimba ilmu agama bersama guru agama di luar pendidikan formal sekolah.
Empat dari lima responden mengaku pernah belajar pada guru nonformal. Rinciannya, 32,2 persen belajar secara gratis, 28,6 persen dengan membayar seiklasnya, dan 13,3 persen dengan membayar sesuai besaran yang disepakati.
Apresiasi pada pengajar agama tanpa pamrih yang telah berperan dalam diseminasi ilmu agama lintas kelas.
Responden dengan latar ekonomi dan pendidikan menengah ke bawah cenderung mendominasi responden yang menyebut pernah belajar pada guru agama nonformal. Potret ini menguatkan apresiasi pada pengajar agama tanpa pamrih yang telah berperan dalam diseminasi ilmu agama lintas kelas.
Temuan di atas juga sesuai dengan pendapat separuh lebih responden (54,6 persen). Kelompok ini menyebut manfaat terbesar dari keberadaan guru agama nonformal adalah terbukanya akses bagi setiap orang untuk belajar agama meskipun tidak memiliki biaya.
Dalam situasi ini, kehadiran pemerintah menjadi penting untuk menyokong kesejahteraan guru agama nonformal. Guru ngaji, guru sekolah minggu, guru pasraman, guru vijjalaya, dan juga guru agama kepercayaan lain layak mendapatkan dukungan materiil yang sama baiknya dengan guru agama formal.
Baca juga: Nasib Guru Agama Masih Terpinggirkan
Kesejahteraan
Hasil jajak pendapat merekam enam dari 10 responden menyebut guru agama nonformal sudah berada dalam taraf hidup sejahtera. Namun, kesejahteraan ini bersifat relatif. Standar kesejahteraan yang disampaikan tampaknya sesuai dengan latar belakang sosial dan ekonomi responden.
Sebanyak 40,3 persen responden dengan latar belakang pendidikan rendah menyebut guru agama nonformal telah sejahtera. Sementara itu, hanya 15,5 persen dari kalangan pendidikan tinggi yang menyebut demikian. Kecenderungan yang sama juga tampak dari latar belakang ekonomi responden.
Semakin tinggi kelas sosial responden, membentuk persepsi terhadap kesejahteraan guru agama nonformal yang semakin tidak sejahtera. Artinya, kesejahteraan guru ngaji masih perlu menjadi perhatian.
Hingga artikel ini diterbitkan, belum ada langkah yang bersifat terpusat dalam pemberian kesejahteraan bagi guru agama nonformal. Pemberian perlindungan kesehatan, jaminan sosial, ataupun insentif belum dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk lingkup nasional.
Kesejahteraan guru agama nonformal masih perlu menjadi perhatian.
Data pendidik agama di luar lembaga resmi ini juga masih nihil. Upaya pendataan baru dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah, di antaranya pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sejumlah pemerintah kabupaten di Jawa Timur.
Sejak 2019, pemprov Jawa Tengah melakukan pendataan sekaligus memberikan insentif pada guru dari seluruh spektrum agama. Pada 2022, terdata setidaknya 211.455 guru nonformal dari sejumlah agama yang mendapatkan insentif Rp 1,2 juta tiap tahun. Total dana untuk pemberian insentif ini mencapai Rp 253,7 miliar.
Sementara itu, pemerintah daerah lain menfokuskan perhatian pada guru ngaji. Pada Agustus 2021, pemprov Jawa Barat memberikan perlindungan sosial pada 150.842 guru ngaji.
Di Kabupaten Bangkalan dan Lumajang, dukungan diberikan dalam bentuk insentif. Kedua pemerintah ini memanfaatkan kartu sebagai pendataan guru ngaji yang sekaligus berfungsi sebagai kartu ATM. Pemanfaatan kartu ini juga untuk memudahkan penyaluran insentif untuk guru ngaji.
Baca juga: Semangat Mengajar Agama Tanpa Sekat
Keterbatasan
Manfaat lainnya yang disampaikan oleh responden terhadap kehadiran guru agama nonformal dengan ketertarikan anak untuk mengenal agama di usia dini. Sebanyak 26,3 persen responden menyebut belajar pada guru agama di lingkungan tempat tinggal membuat anak semangat belajar karena berada di ekosistem teman sepermainan.
Temuan ini menarik mengingat situasi pendidikan formal di jenjang usia dini yang masih terbentur keterbatasan guru pendidikan agama. Data Kementerian Agama (Kemenag) melalui portal emispendis menunjukkan tingginya jumlah sekolah jenjang mula yang tidak memiliki guru, khususnya guru pendidikan agama Islam (PAI)
Pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), terdapat 172.722 sekolah yang belum memiliki guru PAI. Sementara pada jenjang taman kanak-kanak (TK), sebanyak 88.261 sekolah. Jumlah tenaga didik PAI juga belum terdapat di lebih dari 30.000 sekolah dasar (SD) maupun sekolah menengah kejuruan (SMK).
Di sekolah menengah atas (SMA), jumlah sekolah yang belum memiliki guru PAI terpantau rendah, yakni 4.844 sekolah. Jenjang pendidikan yang dimaksud meliputi sekolah negeri, swasta, luar biasa, dan satuan pendidikan kerja sama (SPK).
Kekurangan guru agama juga terpantau pada guru bimbingan masyarakat (bimas) agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Data Kemenag melalui Pusat Layanan Simpatika menunjukkan, jumlah guru bimas aktif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah sekolah dengan mata pelajaran terkait.
Pada pendidikan agama Kristen, terdata 27.360 sekolah dengan ketersediaan 21.072 guru aktif. Demikian pula pada pendidikan agama Katolik, terdata 13.073 sekolah dengan 10.549 guru aktif.
Jumlah sekolah dengan pelajaran agama Hindu tercatat 5.306 sekolah dengan 4.121 aktif. Artinya, satu sekolah tidak pasti memiliki guru agama tersebut. Rasio perbandingan sekolah dengan pengajar hanya 1 : 0,8.
Kondisi yang kurang baik juga tampak pada pendidikan agama Buddha. Sekolah dengan pelajaran pendidikan agama Buddha tercatat 1.277 sekolah dengan ketersediaan 89 guru aktif. Artinya, rasio sekolah dengan pendidik aktif hanya 1 : 0,1. Dengan kata lain, dari 10-an sekolah, hanya ada satu guru agama Buddha.
Ketersediaan guru agama Konghuchu serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga belum ada maupun terdata. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 menyebut pentingnya muatan pendidikan agama di satuan pendidikan. Oleh karena itu, pendidik agama wajib hadir demi memenuhi hak tiap peserta didik.
Keberadaan pengajar nonformal agama ini menjadi oase di tengah belum tercukupinya kebutuhan guru pendidikan agama di sekolah formal. Sebanyak 14,4 persen responden juga menyebut guru nonformal memberikan pembeda dalam pendidikan agama lewat penyampaian yang lebih menarik dibandingkan dengan pelajaran di sekolah.
Kehadiran guru ngaji Al Quran, sekolah minggu, pasraman, vijjalaya, dan guru agama lainnya yang mengajar di luar lembaga formal masih tak tergantikan. Meski pendidikan nonformal ini sudah masuk dalam kebijakan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, peran dukungan lebih perlu disematkan. Selain kesejahteraan yang pasti, dukungan fasilitas dan pengembangan kompetensi akan memperkuat pemberdayaan mereka. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menabur Benih Kebaikan dengan Mengajar Pendidikan Agama