Menjaga UI dan Gerakan Mahasiswa (Bagian Kedua)
Universitas Indonesia tak hanya banyak memberikan sumbangsih kepakaran dan ilmiah, tetapi juga sikap kritis dari gerakan mahasiswanya dalam mengevaluasi pemerintah untuk kemajuan negara.
Andil Universitas Indonesia mewarnai perjalanan bangsa tak diragukan lagi. Sebagai lembaga akademik, UI tak hanya memberikan sumbangsih kepakaran ilimiahnya, tetapi juga sikap kritis dan gerakan mahasiswa.
Kini, di tengah beragam polemik yang menerpa kampus ini, UI harus terus menjaga marwah dan kredibilitasnya agar tak tergerus muatan kepentingan.
Kontribusi dari para sivitas akademika Universitas Indonesia pada perjalanan Indonesia telah melintasi zaman.
UI sebagai perguruan tinggi tertua di negara ini, cikal terbentuknya sejak 1849, tak hanya menjadi pusat studi dan ilmiah, tetapi juga berandil besar dalam membangun negara ini. Kontribusi dari para sivitas akademika kampus ini pun pada perjalanan Indonesia telah melintasi zaman.
UI tak hanya melahirkan para lulusan ataupun pengajar hebat dengan kepakarannya, yang muncul sebagai ahli dan profesional. Tentu sudah tak terhitung dengan jari berapa banyak akademika UI yang berkiprah menjabat posisi strategis di berbagai bidang pemerintahan.
Hingga kabinet berjalan saat ini, bahkan sejumlah menteri merupakan lulusan dan pengajar dari universitas tersebut. Sebutlah ekonom UI, Sri Mulyani, yang masih dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinan di Kementerian Keuangan.
Ada pula Moeldoko, yang kini didapuk sebagai Kepala Staf Presiden. Mantan Panglima TNI itu juga berhasil meraih gelar doktor ilmu administrasi negara di UI.
Pada periode kabinet sebelumnya, pimpinan kementerian juga ramai diisi oleh para lulusan UI. Mulai dari ekonom senior Darmin Nasution dengan jabatan Menko Perekonomian, Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjadi Kepala Bappenas, Nila Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN, hingga Puan Maharani yang dipercaya menjabat Menko PMK.
Bagi UI, kepercayaan yang diberikan oleh negara itu tentu menjadi pencapaian penting dan secara langsung menjadi pengakuan akan kualitas sumber daya manusia yang dilahirkan kampus ini.
Bagi UI, kepercayaan yang diberikan oleh negara itu tentu menjadi pencapaian penting dan secara langsung menjadi pengakuan akan kualitas sumber daya manusia yang dilahirkan kampus ini. Sekalipun begitu, pada sisi lain, hal itu juga menjadi tantangan bagi UI karena acap kali dicap terlampau melekat dengan kekuasaan.
Sebagai lembaga akademik, sejatinya sumbangsih UI pada pemerintahan tidak lebih dari transaksi ilimiah dan kepakaran yang tentunya juga didasarkan pada kepentingan kemajuan bangsa dan negara. Bukan untuk maksud lain, apalagi menyangkut beragam intrik kepentingan politik dan kekuasaan yang tentunya bisa mencoreng ranah akademis.
Ranah akademis dan politis adalah dua entitas yang semestinya dipisahkan, sekalipun dalam praktiknya pemisahan itu akan sangat tipis dan cenderung mengisi satu sama lain. Dalam hal ini, UI sudah semestinya dapat menjaga marwah universitas sebagai entitas akademik yang jauh dari muatan politis apa pun.
Baca juga : Mahasiswa, Rektor, dan Pusaran Kritik Penguasa
Kepentingan
Kredibilitas kampus yang memiliki suara murni untuk melihat suatu persoalan perlu dibentuk dan dirawat lewat terjaganya intergritas para mahasiswa, dosen, dan seluruh sivitasnya. Namun, belakangan, berbagai dinamika yang menerpa UI sedikit banyak berpotensi mendegradasi kemurnian suara akademik tersebut.
Pertengahan 2021 lalu, wibawa kampus ini terusik oleh polemik Rektor UI Ari Kuncoro yang merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ari dinilai telah melanggar statuta universitas yang melarang adanya rangkap jabatan bagi rektor.
Seolah dengan sigap merespons persoalan itu, pemerintah menerbitkan peraturan baru, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 yang justru memperbolehkan adanya rangkap jabatan bagi Rektor UI.
Meskipun pada akhirnya Ari memutuskan untuk mundur dari jabatan wakil komisaris utama salah satu bank pelat merah itu, hal itu tidak serta-merta menghapus fakta pelanggaran yang terjadi karena peraturan yang dikeluarkan tidaklah berlaku surut. Bahkan, tuntutan untuk mundur dari jabatan rektor pun sempat menyeruak di kalangan internal kampus.
Lain dari itu, kejadian terbaru yang juga mengganggu kewibawaan UI adalah kasus pemukulan terhadap Ade Armando saat kalangan mahasiswa menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR tanggal 11 April 2022 lalu.
Peristiwa itu kembali menguak banyak hal yang menyangkut besarnya potensi transaksi politik praktis yang masuk ke ranah kampus. Bagaimanapun, Ade Armando yang seorang pengajar aktif di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI sedianya juga menjadi etalase dari lembaga akademik tempatnya bernaung itu.
Bersarangnya intrik politik dalam kampus hanya akan terus mengipasi bara ketidakpercayaan baik dari pihak internal maupun khalayak luas.
Kasus rangkap jabatan hingga persekusi itu sedianya menjadi pembelajaran bersama untuk dapat mengembalikan kampus pada marwahnya sebagai lembaga akademik yang mengedepankan sisi ilmiah dan bebas dari muatan politik.
Bersarangnya intrik politik dalam kampus hanya akan terus mengipasi bara ketidakpercayaan baik dari pihak internal maupun khalayak luas. Hal itu berujung pada penggerusan integritas kampus yang merugikan semua elemen di dalamnya, termasuk pula pergerakan dari mahasiswanya.
Baca juga : Statuta Universitas Indonesia Dianggap Membuat Kampus Bernuansa Politis
Gerakan mahasiswa
Sejak lama UI dikenal sebagai kampus perjuangan yang berpijak pada keteguhan prinsip kebenaran. Sebuah nilai fundamental yang wajib dibawa sesuai dengan moto yang digaungkan universitas ini, yaitu ”Veritas, Probitas, Iustitia” (Kebenaran, Kejujuran, Keadilan).
Absennya integritas dan kepercayaan publik pada universitas, terlebih mahasiswanya, tentu akan sangat merugikan. Sejarah mencatat, mahasiswa UI dikenal sebagai motor pergerakan yang sangat kritis terhadap kekuasaan.
Gerakan mahasiswa UI dalam menyuarakan aspirasi dan mengkritik kebijakan pemerintah pun mewarnai perjalanan bangsa sejak era lampau sebelum reformasi, hingga saat ini.
Beranjak ke pergerakan di tahun 1966, bangsa ini mengingat adanya peristiwa gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa UI saat itu. Aksi dari mahasiswa angkatan ’66 itu menjadi bukti nyata atas peran pemuda yang kritis untuk kemaslahatan bangsa.
Gelombang aksi mahasiswa ketika itu terjadi pada Januari hingga Maret 1966 hingga akhirnya lewat Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) dapat memaksa pemerintah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Salah satu gerakan oleh mahasiswa UI yang juga paling diingat adalah demonstrasi besar oleh mahasiswa tahun ’70-an yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari 1974).
Salah satu gerakan oleh mahasiswa UI yang juga paling diingat adalah demonstrasi besar oleh mahasiswa tahun 70-an yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Peristiwa Malari berawal dari aksi mahasiwa yang mengkritisi investasi asing pada momentum kedatangan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia saat itu.
Aksi demonstrasi berakhir ricuh dan menelan setidaknya 11 korban jiwa. Tercatat pula tak kurang dari 137 orang luka-luka dan 750-an orang ditangkap. Tokoh muda penggerak aksi tersebut yang juga Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Hariman Siregar, bahkan dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dihukum penjara.
Pada masa-masa selanjutnya, pergerakan dan sikap kritis mahasiswa UI terhadap jalannya pemerintahan tak perlu diragukan. Tak terhitung berapa banyak aksi dan lahirnya berbagai kelompok gerakan mahasiswa yang juga dimotori oleh sivitas UI pada saat menuntut reformasi tahun 1998. Sejumlah aktivis mahasiswa UI masa reformasi itu pun kini tetap konsisten kritis dalam kiprahnya sebagai politisi.
Kini, di tengah kecamuk polemik dan integritas kampus, harapan atas tetap hadirnya mahasiswa UI sebagai kelompok akademik yang cerdas dan kritis dalam menjaga berjalannya pemerintah dapat terus mewujud.
Harapan hadirnya mahasiswa UI sebagai kelompok akademik yang cerdas dan kritis dalam menjaga berjalannya pemerintah dapat terus mewujud.
Tengoklah bagaimana hebatnya kekuatan kritik yang disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa UI pada Juli 2021 lalu melalui unggahan sebuah meme di akun sosial media Instagram bertuliskan ”Jokowi the King of Lip Service”.
Unggahan tersebut terbilang berani dan sontak menyedot perhatian publik dan membuat gerah penguasa. Kritik itu pun berbuntut polemik panjang, bahkan sempat dituduh tak pantas karena adanya unsur menjelekkan kepala negara.
Meskipun pada akhirnya banyak pihak pula yang lebih memaknainya sebagai kritik cerdas dan memang berangkat dari fakta keresahan khalayak pada sikap pemerintah yang acap kali tak menepati janji.
Tak hanya menjadi pembuktian nyata atas gerakan mahasiswa UI yang terus konsisten mengambil peran sebagai pengawas kekuasaan, unggahan meme yang berisikan kritik kepada Presiden itu pun membuktikan cara lain melakukan aksi sesuai perkembangan zaman.
Kecanggihan teknologi digital menjadikan aksi tak lantas harus dilakukan dengan langsung turun di jalan, tetapi dengan mengunggah meme berisi kritik pada media sosial dapat menimbulkan gelombang atensi publik untuk menghimpun simpati dan dukungan atas suara-suara yang dilantangkan mahasiswa.
Tentu, sekalipun waktu berganti dengan dinamika yang kian kompleks pula, UI mampu berkomitmen tegas untuk tak dapat disusupi muatan politis.
Ada harapan besar pada integritas pergerakan dan sikap kritis mahasiswa UI, juga semua elemennya dapat terus terawat hingga kapan pun. Hal itu penting dimaknai sebagai bagian dari tanggung jawab entitas akademik UI untuk memajukan bangsa dengan berpijak pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Universitas Indonesia dalam Pusaran Perubahan (Bagian Pertama)