Gerakan mahasiswa adalah bagian penting dari demokrasi. Ia lahir dan berkembang sesuai zaman. Kini, di era sosial media, gerakan mahasiswa pun menunjukkan eksistensinya demi menjaga marwah demokrasi.
Oleh
Dedy Afrianto
·7 menit baca
Suatu hari di pertengahan tahun 1975, rektor Universitas Indonesia (UI) bertemu dengan Presiden Soeharto untuk membahas sejumlah aktivitas kemahasiswaan. Seusai pertemuan, mahasiswa diberi jaminan untuk bebas melakukan diskusi, termasuk memberi kritikan dengan syarat dilakukan secara terbuka. Inilah kepingan kisah dalam sejarah perjalanan bangsa yang menggambarkan posisi mahasiswa dalam pusaran kritik pada penguasa.
Pertemuan antara Presiden Soeharto dan pejabat di lingkungan UI berlangsung di Gedung Bina Graha, kompleks Sekretariat Negara, Kamis, 31 Juli 1975. Pertemuan ini dihadiri Rektor UI Mahar Mardjono, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Eddy Swasono, Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Miriam Budiardjo, dan sejumlah pejabat kampus lainnya.
Dalam pertemuan ini, dibahas sejumlah kegiatan kemahasiswaan, seperti bakti sosial di luar Pulau Jawa dan wacana pengiriman sejumlah calon dokter ke beberapa daerah yang membutuhkan. Setelah pertemuan, Mahar juga menyinggung tentang gerakan mahasiswa.
Menurut Mahar, mahasiswa di lingkungan UI tetap bebas melakukan diskusi dengan topik apa pun. Selain itu, kritikan juga dapat disampaikan oleh mahasiswa dalam diskusi yang dilakukan. Walakin, diskusi dan kritikan harus disampaikan secara terbuka dan tidak boleh dilakukan secara tertutup.
Jika melihat suasana zaman saat itu, pertemuan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari upaya pemerintah dalam mengontrol gerakan mahasiswa. Apalagi, pertemuan antara Presiden Soeharto dan rektor UI berlangsung setelah pemerintah berhadapan dengan gerakan mahasiswa yang dikenal dengan malapetaka 15 Januari atau malari tahun 1974.
Adanya permintaan untuk melakukan diskusi secara terbuka tentu juga berkaitan dengan upaya kontrol yang dilakukan oleh pemerintah. Para mahasiswa juga diminta melakukan kritik dengan cara-cara yang wajar, termasuk kritik pada pejabat kampus.
”Mereka boleh saja, misalnya, mengkritik saya dengan cara-cara yang tidak asal kritik,” ujar Mahar kepada pewarta terkait gerakan mahasiswa di lingkungan UI (Kompas, 31 Juli 1975).
Pertemuan antara Soeharto dan rektor UI saat itu adalah salah satu rangkaian dari sejumlah pertemuan lain dengan para rektor di era Orde Baru. Sepanjang periode pemerintahannya, Soeharto kerap melakukan pertemuan dengan para rektor, salah satunya untuk membahas tentang aktivitas kemahasiswaan.
Pertemuan lainnya pernah dilakukan Soeharto pada 24 November 1977. Bersama 16 rektor perguruan tinggi di Pulau Jawa, Soeharto menggelar pertemuan khusus selama dua setengah jam di Gedung Bina Graha, Jakarta. Turut hadir dalam pertemuan ini rektor Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, hingga Universitas Airlangga.
Salah satu hal yang disampaikan oleh Soeharto dalam pertemuan ini adalah terkait kegiatan mahasiswa. Soeharto saat itu menyatakan bahwa kegiatan mahasiswa masih dalam batas kewajaran. Walakin, para rektor diingatkan agar gerakan mahasiswa tetap harus diperhatikan agar tidak ditunggangi oleh sejumlah pihak.
Dari rangkaian pertemuan yang dilakukan bersama rektor, Soeharto tampak ingin melakukan kontrol pada gerakan mahasiswa melalui pimpinan setiap kampus. Itulah yang menyebabkan dalam pertemuan dengan para rektor, Soeharto kerap kali menyinggung tentang gerakan kemahasiswaan.
Suasana inilah yang dihadapi oleh aktivis mahasiswa sepanjang era Orde Baru. Namun, upaya kontrol yang dilakukan tak menyurutkan langkah para mahasiswa untuk menyampaikan kritikan kepada penguasa. Selain demonstrasi, mahasiswa saat itu juga menggunakan sejumlah cara lain untuk menyampaikan kritikan terkait kinerja pemerintahan.
Salah satu cara yang digunakan adalah berdialog secara langsung dengan Presiden Soeharto. Perwakilan mahasiswa datang secara langsung dengan membawa sejumlah kritikan yang disampaikan secara halus dan diselipkan dalam setiap pertemuan.
Pertemuan ini pernah dilakukan oleh mahasiswa pada Mei 1968. Bersama dengan Ibu Negara Tien Soeharto, perwakilan mahasiswa seluruh Indonesia diterima oleh Soeharto pada akhir pekan di Istana Negara.
Harian Kompas saat itu menggambarkan pertemuan ini berlangsung dalam suasana yang cair, ibarat dialog antara bapak dan anak. Namun, mahasiswa tidak lupa menyelipkan sejumlah kritikan dalam pertemuan ini.
Salah satu kritikan disampaikan oleh mahasiswa Irian Barat atau Papua dalam bentuk pertanyaan dengan pembangunan di wilayah itu. Pertanyaan ini sekaligus menjadi sentilan bagi pemerintah agar melakukan pemerataan pembangunan sehingga tidak hanya terpusat di Pulau Jawa.
Kritikan dengan cara yang berbeda juga dilakukan oleh mahasiswa IPB pada 31 Desember 1971. Ketua Umum Dewan Mahasiswa IPB Murasa Sarkaniputra menulis surat undangan terbuka kepada Ibu Negara Tien Soeharto di media massa nasional. Pokok persoalannya adalah wacana pembangunan Miniatur Indonesia Indah atau yang kini dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Upaya lain untuk mengkritik penguasa dengan mengandalkan surat juga pernah dilakukan mahasiswa Universitas Mercu Buana pada 24 April 1998. Kala itu, sejumlah mahasiswa menyampaikan surat dan bunga anggrek untuk Presiden Soeharto melalui Sekretariat Negara.
Surat yang disampaikan berisi sejumlah kritikan secara halus. Salah satunya adalah permintaan menurunkan harga barang kebutuhan sehari-hari yang mengalami kenaikan akibat gejolak krisis. Surat ini kemudian dikenal dengan sebutan Deklarasi Meruya.
Jika menengok pola kritikan yang digunakan, tampak bahwa mahasiswa berupaya mencari cara yang berbeda guna menarik perhatian pemerintah. Pada saat demonstrasi dibatasi, cara-cara lain digunakan untuk menembus benteng penguasa agar suara masyarakat di akar rumput dapat didengar.
Pada era reformasi, sejumlah gerakan yang berbeda juga coba dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan kritikan kepada penguasa. Gerakan mahasiswa tidak terpaku pada demonstrasi, tetapi mulai melirik cara-cara lain dengan memanfaatkan simbol yang menarik perhatian khalayak umum, khususnya pejabat pemerintahan.
Salah satu gerakan simbolik dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dalam acara Dies Natalis Ke-68 Universitas Indonesia di Balairung UI, Depok, Jawa Barat. Acara ini dihadiri Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2018.
Saat Presiden Joko Widodo hampir selesai berpidato, Ketua BEM UI Zaadit Taqwa mengacungkan kartu kuning. Kartu yang dimaksud adalah berupa buku berwarna kuning yang juga menjadi warna ciri khas dari UI.
Dalam sepak bola, pemberian kartu kuning adalah pertanda bahwa pemain tersebut melakukan pelanggaran yang cukup berat sehingga perlu berhati-hati dalam sisa pertandingan. Jika kembali melakukan pelanggaran berat lainnya, kartu kuning berikutnya telah menanti dan akan berujung pada pemberian kartu merah sehingga harus keluar dari lapangan pertandingan.
Aksi kritikan yang berbeda juga dilakukan mahasiswa di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang 2019-2020. Saat itu, gelombang aksi dilakukan oleh mahasiswa untuk menolak pengesahan revisi Undang-Undang KPK, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, dan sejumlah rancangan undang-undang lainnya.
Mahasiswa menggunakan poster dengan tulisan unik untuk menyentil para penguasa. Tulisan yang disampaikan memuat guyonan dengan menampilkan beberapa aspek yang dekat dengan anak muda, seperti drama korea, percintaan, hingga singkatan yang menggelitik, tetapi tetap tak lepas dari muatan kritik.
Kini, di tengah pandemi, kritikan coba dilakukan oleh mahasiswa dengan memanfaatkan media sosial. Pada saat mobilitas penduduk dibatasi, mahasiswa mencoba berkreasi dengan memanfaatkan media sosial yang kini mulai menjangkau banyak kalangan masyarakat, termasuk pejabat negara.
Berdasarkan data Hootsuite dan We Are Social pada Januari 2021, terdapat 170 juta pengguna media sosial di Indonesia. Banyaknya jumlah pengguna media sosial tentu menjadi kesempatan untuk menyampaikan kritikan secara terbuka terhadap pemerintah.
Kondisi inilah yang dimanfaatkan mahasiswa. BEM KM UGM, misalnya, memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden Joko Widodo pada 21 Juni. Ucapan ini juga diikuti kritikan dengan menyandingkan kalimat ”Bapak Presiden Orde (Paling) Baru”.
Hal senada juga dilakukan oleh BEM UI pada 26 Juni 2021 dengan menyebut Presiden Joko Widodo sebagai ”The King of Lip Service”. BEM UI menilai pernyataan Presiden sering kali tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Hadirnya gerakan melalui media sosial ini menggambarkan bahwa mahasiswa selalu berupaya mengawal jalannya pemerintahan dengan beragam cara di setiap zaman. Terlepas dari dampak yang diberikan, gerakan ini tak jarang membuat resah para penguasa sehingga menuai respons yang beragam.
Berbagai upaya akhirnya dilakukan untuk meredam dan mendengarkan suara mahasiswa. Misalnya dengan memanggil mahasiswa makan bersama di Istana dan memanggil mahasiswa untuk menghadap otoritas kampus.
Apa pun itu, terlepas dari gejolak politik yang melatarbelakanginya, suara-suara mahasiswa tetaplah penting untuk didengar sebagai bagian dari proses demokrasi. (LITBANG KOMPAS)