Potret Sengkarut Demokrasi di Asia Selatan
Krisis di Sri Lanka dan Pakistan melahirkan problem legitimasi bagi kedua negara. Cermin karut-marut politik dan demokrasi di Asia Selatan.
Dua negara di Asia Selatan, yakni Sri Lanka dan Pakistan, tengah dilanda krisis politik hebat. Legitimasi pemerintah habis, kabinet Sri Lanka seragam mundur, sedangkan Pemerintah Pakistan justru mengambil langkah ekstrem dengan membubarkan parlemennya sendiri.
Meski tampak berbeda, kedua peristiwa ini sebetulnya merupakan cerminan karut-marut politik dan demokrasi di Asia Selatan yang belum juga menemukan titik terangnya.
Hanya berselang beberapa hari, kawasan Asia Selatan diguncang dengan krisis politik yang dialami oleh Sri Lanka dan Pakistan.
Hanya berselang beberapa hari, kawasan Asia Selatan diguncang dengan krisis politik yang dialami oleh Sri Lanka dan Pakistan. Di Sri Lanka, menteri di kabinet Presiden Gotabaya Rajapaksa berbondong-bondong mengundurkan diri setelah serangkaian demonstrasi masyarakat akibat krisis ekonomi.
Sementara Perdana Menteri Pakistan Imran Khan nyaris digulingkan sebelum dirinya akhirnya melakukan manuver politik dengan menghasut Presiden Arif Alvi untuk membubarkan parlemen.
Baca juga: Barisan Menteri Sri Lanka Ramai-ramai Mengundurkan Diri
Demokrasi di Asia Selatan
Sengkarut politik yang terjadi di dua negara Asia Selatan ini sebetulnya tidak mengagetkan. Sebab, demokrasi di kedua negara tersebut sudah mengalami stagnasi setidaknya selama sewindu terakhir.
Berdasarkan indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), capaian Pakistan pada tahun 2021 ialah 4,31 poin. Selain tak bergerak dari setahun sebelumnya, angka ini justru merupakan penurunan dari capaian pada 2014 yang sebesar 4,64 poin.
Meskipun trennya positif, capaian indeks demokrasi di Sri Lanka juga tidak terpaut jauh dengan Pakistan. Pada 2021, Sri Lanka meraih skor sebesar 6,14 poin, tak bergerak dari skor setahun sebelumnya. Bukan hanya itu, tren capaian indeks demokrasi di negara ini justru negatif selama lima tahun terakhir dari angka 6,48 poin.
Dengan capaian tersebut, demokrasi di kedua negara ini jauh dari kata ideal. Berdasarkan kategorisasi EIU, Sri Lanka memiliki status ”demokrasi cacat” (flawed democracy). Sementara dengan skor yang lebih buruk, Pakistan menyandang status rezim hibrid (hybrid regime).
Status rezim hibrid yang sedikit di atas status negara otoriter ini menunjukkan bahwa sebenarnya demokrasi tidak pernah benar-benar dijalankan di negara tersebut dengan gejala seperti terjadinya manipulasi dan kecurangan dalam pemilu yang terjadi secara reguler.
Secara lebih luas, instabilitas politik memang sudah menjadi salah satu karakteristik dari kawasan Asia Selatan.
Secara lebih luas, instabilitas politik memang sudah menjadi salah satu karakteristik dari kawasan Asia Selatan. Dari delapan negara di kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Bhutan, India, Pakistan, Nepal, Sri Lanka, Afghanistan, dan Maladewa), hanya India-lah yang memiliki sistem politik relatif stabil dan demokratis.
Hal ini dapat terlihat dari capaian indeks demokrasinya yang, meskipun sedang mengalami penurunan, paling tinggi di kawasan ini dengan skor 6,91 poin. Walau nyaris menyentuh angka 7, skor ini menandakan bahwa India masih berada di fase demokrasi yang cacat.
Baca juga: Sri Lanka: Politik Dinasti, Utang, dan Krisis Ekonomi
Penyakit dinasti
Lantas, apa penyebab dari kacaunya situasi politik di kawasan ini? Jika tidak jeli, mudah saja untuk menyalahkan krisis ekonomi akibat inflasi atau tekanan pandemi. Padahal, krisis ekonomi sebetulnya hanyalah pemantik.
Beberapa persoalan laten telah menjadi jerami kering yang sangat mudah dilalap api gejolak, membuat politik negara-negara di kawasan ini mudah sekali dilanda gejolak ketika mengalami tekanan.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi tampaknya sulit sekali untuk bersemi di Asia Selatan. Tak hanya penting untuk memahami lingkup persoalan politik di kawasan tersebut, persoalan ini perlu diwaspadai karena sebetulnya telah muncul benih-benihnya di Indonesia.
Kelima orang ini ialah Gotabaya Rajapaksa yang menjabat sebagai Presiden, Mahinda Rajapaksa selaku PM, Chamal Rajapaksa sebagai Menteri Irigasi, Basil Rajapaksa selaku Menteri Keuangan, dan Namal Rajapaksa yang berperan sebagai Menpora sekaligus Menteri Koordinator dan Pengawasan Pembangunan.
Jejak dinasti ini sebetulnya sudah lama bercokol di politik Sri Lanka, bahkan semenjak masa kolonial.
Jejak dinasti ini sebetulnya sudah lama bercokol di politik Sri Lanka, bahkan semenjak masa kolonial. Jalan Klan Rajapaksa dibuka oleh eyang mereka, Don Alwin Rajapaksa, yang merupakan seorang tuan tanah sekaligus Wali Kota Hambantota di provinsi selatan Sri Lanka pada era penjajahan Inggris.
Kekuatan politik keluarga ini berlanjut dan semakin besar pasca-kemerdekaan Sri Lanka dan mulai mencapai puncaknya pada 2005 ketika Mahinda Rajapaksa terpilih menjadi presiden selama dua periode mulai dari 2005 hingga 2015.
Selama berkuasa, Rajapaksa menjelma menjadi rezim despot. Untuk mempertahankan kekuasaannya, mereka tidak segan untuk membunuh lawan politik hingga menggelapkan uang negara untuk membiayai kampanye.
Tidak hanya itu, mereka juga terendus menggelapkan uang negara dan mencucinya di perusahaan cangkang (shell companies) untuk memperkaya diri. Dengan segudang rekam jejak ini, adik dari Mahinda, Gotabaya Rajapaksa, masih bisa terpilih menjadi presiden pada pemilu 2019.
Hal serupa juga terjadi di Pakistan. Setidaknya 30 klan memeperebutkan kursi parlemen setiap lima tahun sekali. Di antaranya terdapat beberapa klan yang berpengaruh, seperti klan Bhutto, Chaudhry, Rao, dan Khokhar. Dengan kekuatan politik yang terkonsentrasi, para anggota parlemen bukanlah wakil dari rakyat, melainkan representasi dari kepentingan klan keluarga tertentu.
Baca juga : Demo Berhenti, tapi Sri Lanka Masih Krisis
Konservatisme dan populisme
Persoalan kedua yang menjamur di kawasan ini ialah konservatisme berlebih. Sejalan dengan naiknya tren konservatisme secara global, negara-negara di kawasan ini pun turut dipimpin oleh figur politik populis sayap kanan (konservatif-nasionalis).
Di negara yang cenderung homogen, konservatisme ini dianggap buruk karena dapat semakin memarjinalkan kaum minoritas. Di negara-negara Asia Selatan, tren ini semakin berbahaya karena dapat berujung pada perang saudara.
Nyaris sewindu berjalan, model kepemimpinan ini berbuah menguatnya kelompok ultrakanan radikal, seperti Hindutva yang menebar kekerasan. Tak hanya itu, meruncingnya hubungan antara kelompok masyarakat ini juga memantik mayoritarianisme.
Figur politik yang membawa gagasan konservatif akan menggunakan strategi populis untuk bisa melenggang ke pucuk pemerintahan.
Walhasil, negara bagian mayoritas Hindu pun menindas golongan minoritas Muslim dan berlaku juga sebaliknya di negara bagian dengan masyarakat mayoritas Muslim. Pada 2021, perpecahan akibat benturan antara kelompok Hindu dan Muslim di negara ini nyaris tak terhindarkan.
Konservatisme dan populisme ini berjalan seiringan. Umumnya, untuk bisa sukses, figur politik yang membawa gagasan konservatif akan menggunakan strategi populis untuk bisa melenggang ke pucuk pemerintahan.
Biasanya, figur atau partai politik tersebut akan menggandeng organisasi masyarakat yang cenderung radikal, tetapi mengatasnamakan golongan mayoritas.
Strategi populisme ini akan mengaburkan kompetensi figur politik dan substansi proposal kebijakan yang dibawakannya dalam kampanye. Alih-alih menentukan pilihan secara rasional, publik akan terhipnotis dengan narasi promayoritas, bahkan dalam beberapa kasus anti-minoritas, yang sebetulnya tidak menyentuh persoalan bangsa sama sekali.
Sayangnya, meski destruktif terhadap situasi sosial politik dalam jangka panjang, formula ini terbukti mujarab. Bukan tidak mungkin strategi ini akan digunakan pada pemilu Indonesia yang akan dilangsungkan dua tahun lagi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rangkaian Unjuk Rasa di Sri Lanka yang Sedang Diguncang Krismon