Suasana panas di Sri Lanka berhasil diredam. Namun, rakyat masih marah karena krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
COLOMBO, JUMAT — Suasana di Colombo, ibu kota Sri Lanka, kembali stabil. Pada Kamis (31/3/2022) malam, ribuan warga berbondong-bondong mendatangi kediaman pribadi Presiden Gotabaya Rajapaksa. Mereka berunjuk rasa atas keadaan negara yang mengalami krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan di 1948.
Massa berkumpul di pusat kota Colombo, Kamis. Tepat pukul 18.00 waktu setempat, mereka berjalan menuju kediaman pribadi Presiden Rajapaksa yang terletak di wilayah Mirihana. Di sana, mereka meneriakkan yel-yel dan mengutarakan kekecewaan terhadap pemerintahan keluarga Rajapaksa. ”Mundur! Mundur dari pemerintahan!” seru massa.
Sri Lanka dipimpin oleh satu keluarga, yaitu keluarga Rajapaksa. Kakak sulung Gotabaya, Chamal, menjabat sebagai Menteri Irigasi. Anak laki-laki Chamal, Shasheendra, sama-sama duduk di kabinet dengan ayahnya sebagai Menteri Pertanian dan Pangan. Kakak persis di atas Gotabaya, Mahinda, menjabat sebagai Perdana Menteri. Adik bungsu mereka, Basil, memegang posisi Menteri Keuangan.
Gotabaya dan saudara-saudaranya tidak ada di kediaman tersebut ketika unjuk rasa terjadi. Dikutip dari surat kabar Daily Mirror Sri Lanka, Mahinda mengeluarkan pernyataan bahwa unjuk rasa itu didalangi oleh kelompok ekstrem. ”Mereka berusaha membuat ’musim semi Arab’ di negara ini,” tuturnya.
Polisi menembak pengunjuk rasa dengan gas air mata dan meriam air. Sebanyak 45 pengunjuk rasa ditahan dan ada lima polisi terluka dalam kejadian itu. Juru bicara Kepolisian Sri Lanka, Nihal Thalduwa, pagi-pagi sudah mengumumkan bahwa sejak pukul 05.00, jam malam di Colombo dicabut.
Tajuk rencana surat kabar lokal, The Island, turut mengkritik keluarga Rajapaksa. Disebutkan bahwa mayoritas masyarakat Sri Lanka berekonomi cukup stabil dan tidak terlilit utang. ”Namun, Sri Lanka memiliki masalah, yakni bahwa para politisinya menganggap diri mereka sebagai keturunan dewa-dewa dan raja-raja di masa lampau sehingga memperlakukan kekuasaan sebagai hak, bukan kewajiban,” kata tajuk itu.
Mentalitas penguasa ini membuat politik Dinasti Rajapaksa bertahan selama bertahun-tahun. Sebelum Gotabaya menjadi Presiden, Mahinda yang memegang kekuasaan tersebut. Demikian di setiap masa jabatan, tampuk tertinggi seolah digilir di antara Rajapaksa bersaudara. Pengelolaan negara ditelantarkan sehingga akhirnya Sri Lanka terpuruk. Tajuk The Island menyebut bahwa negara ini sudah dipandang bagaikan pengemis oleh bangsa-bangsa lain.
Sri Lanka merupakan negara yang mengandalkan devisa dari tenaga kerja mereka di luar negeri dan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Pariwisata sempat menurun akibat serangan bom di gereja ketika misa Paskah pada 2019. Setelah itu, pariwisata mulai bangkit dengan kedatangan 100.000 wisatawan yang sejatinya hanya 40 persen dari jumlah biasanya.
Namun, pandemi Covid-19 menghantam perekonomian lebih dahsyat. Pandemi juga mengungkap berbagai permasalahan pengelolaan anggaran negara yang selama ini tidak diketahui publik.
Pada Januari 2020, cadangan valuta asing Sri Lanka ternyata tinggal 30 persen. Pemerintah segera mengeluarkan larangan mengimpor komoditas guna menghemat valas. Negara ini memiliki utang internasional senilai 51 miliar dollar AS. Pada akhir 2022, mereka harus mencicil setidaknya 4 miliar dollar AS.
Kebijakan larangan impor tidak ampuh menangani krisis ekonomi. Sri Lanka mengalami inflasi 18,7 persen dengan harga-harga pangan dan kebutuhan pokok naik rata-rata 30 persen. Rakyat tidak mampu membeli bahan bakar untuk kendaraan. Bahkan, ujian nasional terpaksa dibatalkan karena tidak ada kertas.
Pemerintah juga memadamkan listrik secara bergilir. Pada Kamis, terjadi pemadaman listrik selama 13 jam. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Nihilnya bahan bakar dan listrik ini semakin memukul pariwisata yang masih merangkak. ”Tamu-tamu kesal karena di hotel tidak ada listrik. Beberapa layanan terpaksa ditiadakan dan akhirnya para tamu meminta pengurangan harga,” kata Dilip Sandruwan, seorang pengusaha hotel dari Mirissa yang terletak di pinggir pantai.
Ekonom dari firma JB Securities, Suramya Ameresekera, menjelaskan, pariwisata kembali ramai sekalipun tidak akan bisa membuat kas negara surplus. Sejak dulu, Sri Lanka selalu beroperasi dengan keuangan negara yang defisit.
Pemerintah Sri Lanka berusaha mencari pinjaman dari luar, terutama India dan China. Duta Besar China untuk Sri Lanka Qi Zhenhong menawarkan bantuan 2.000 ton beras. Iran juga membarter minyak dengan daun teh. Menteri Keuangan Basil Rajapaksa akan pergi ke Washington, AS, pada bulan Mei nanti untuk bertemu dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan bantuan-bantuan asing dalam jumlah besar ini akan kian mengikat Sri Lanka. India baru mengutarakan permintaan agar Sri Lanka mengurangi patroli di lautan sekitar. Niat ini dicurigai sebagai cara agar nelayan India bisa menangkap ikan di wilayah perairan Sri Lanka. Ada pula kecurigaan perjanjian dengan IMF dan Bank Dunia nanti membuka jalan bagi militer AS untuk membuka pangkalan di salah satu pelabuhan di Sri Lanka. (AFP)