Barisan Menteri Sri Lanka Ramai-ramai Mengundurkan Diri
Kabinet Sri Lanka praktis hanya meninggalkan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa. Partai koalisi berkuasa menuntut agar kabinet sementara segera ditunjuk.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
COLOMBO, MINGGU — Jajaran anggota kabinet Sri Lanka pada Minggu (3/4/2022) malam waktu setempat secara serentak menyerahkan surat pengunduran diri. Langkah itu dilakukan para menteri di tengah meningkatnya kemarahan publik atas krisis ekonomi yang mengakibatkan kekurangan bahan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Kabinet Sri Lanka praktis hanya meninggalkan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa.
Kekuatan politik Sri Lanka terkonsentrasi pada keluarga Rajapaksa. Mahinda tak lain adik Gotabaya. Dua saudara mereka juga duduk sebagai menteri di jajaran kabinet, yakni Menteri Keuangan Basil Rajapaksa dan Menteri Irigasi Chamal Rajapaksa. Anak Gotabaya, Namal, juga menjabat sebagai Menteri Urusan Kepemudaan. Namal memastikan ikut dalam jajaran anggota kabinet yang mengajukan surat pengunduran diri. ”Saya telah memberi tahu sekretaris presiden tentang pengunduran diri saya,” kata Namal melalui media sosial Twitter.
Namal berharap keputusannya membantu Presiden Gotabaya dan PM Mahinda dalam membangun stabilitas bagi rakyat dan Pemerintah Sri Lanka. Menteri Pendidikan Dinesh Gunawardena dalam keterangan kepada jurnalis menyatakan, krisis ekonomi Sri Lanka menjadi pertimbangan utama mundurnya anggota kabinet. Gunawardena mengatakan, presiden dan PM akan mengambil tindakan yang tepat atas langkah kabinet untuk mengundurkan diri.
Partai koalisi berkuasa menuntut agar kabinet sementara ditunjuk untuk menarik negara itu keluar dari krisis. Tindakan tersebut tampaknya merupakan upaya untuk menenangkan rakyat. Mereka menggelar protes keras di seluruh negeri untuk meminta pertanggungjawaban presiden dan seluruh keluarga Rajapaksa.
Sepanjang Minggu, para profesional, pelajar, bahkan ibu-ibu dengan anak kecil di berbagai wilayah di Sri Lanka menentang keputusan pemberlakuan kondisi darurat dan pemberlakuan jam malam. Dalam protes itu mereka menuntut pengunduran diri presiden. Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah ratusan mahasiswa yang mencoba menerobos barikade di dekat kota Kandy, kawasan perkebunan teh. Di dekat Colombo, mahasiswa menggelar protes.
Tentara bersenjata dan polisi menghentikan anggota-anggota parlemen oposisi yang bersikeras berbaris di Lapangan Kemerdekaan yang ikonik. ”Tindakan ini tidak konstitusional,” kata pemimpin oposisi, Sajith Premadasa, kepada pasukan yang menghalangi jalan mereka. ”Kalian melanggar hukum. Tolong pikirkan orang-orang yang menderita. Mengapa Anda melindungi pemerintah seperti ini?”
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka harus mengantre panjang untuk membeli bahan bakar, makanan, dan obat-obatan. Barang-barang kebutuhan itu sebagian besar berasal dari luar negeri dan dibayar dengan mata uang asing. Yang pertama menghilang dari toko adalah susu bubuk dan gas untuk memasak, diikuti kekurangan bahan bakar yang mengganggu transportasi dan menyebabkan pemadaman listrik bergilir selama beberapa jam dalam sehari pada akhir Februari.
Krisis memuncak ketika Sri Lanka tidak dapat membayar impor bahan pokok karena utang yang besar dan cadangan devisa yang terkuras. Sejumlah ekonom menyebutkan cadangan devisa negara yang dapat digunakan kurang dari 400 juta dollar AS. Utang Sri Lanka pada pihak asing juga meledak. Tahun ini saja kewajiban pembayaran utang mencapai 7 miliar dollar AS.
Rajapaksa bulan lalu mengatakan, pemerintah sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) serta beralih ke China dan India untuk mendapatkan pinjaman. Pada saat yang sama, dia mengimbau orang agar membatasi penggunaan bahan bakar dan listrik serta memperluas dukungan bagi negara. Saat protes meningkat dan seruan mundur juga memuncak, Rajapaksa memilih bergeming. Lewat dekrit, dia mengumumkan keadaan darurat. Jam malam juga diberlakukan hingga Senin (4/4/2022) pagi.
Namun, langkah-langkah itu tampaknya tidak mampu membendung kemarahan warga. Banyak pengunjuk rasa merasa muak dan lelah oleh krisis. Mereka yang belum pernah ikut berdemonstrasi memilih ikut turun ke jalan-jalan. ”Di negara ini sangat sulit,” kata Inoma Fazil, perancang busana yang membawa putrinya yang berusia 18 bulan ke sebuah protes di Rajagiriya, pinggiran Colombo. ”Kami tidak ingin meninggalkan negara dan pergi. Kami ingin memberi anak kami masa depan yang baik, tetapi semua orang mencuri uang kami. Jadi kami datang ke sini untuk dia dan anak-anak lainnya."
Sepasang suami istri ikut bergabung dalam aksi yang sama, sepulang dari rumah sakit dengan bayi mereka yang baru lahir. Kehadiran mereka disambut sorak-sorai oleh para pengunjuk rasa yang menyanyikan lagu kebangsaan Sri Lanka, mengibarkan bendera, dan mengangkat aneka poster.
Kebencian publik sebagian besar memang ditujukan keluarga Rajapaksa. Namun, terlihat juga kemarahan diarahkan pada politisi secara umum dan sistem negara selama beberapa dekade di Sri Lanka. Warga kebanyakan merasa politisi telah mengkhianati mereka. Pada sebuah rapat umum di Colombo, barisan pengunjuk rasa menolak seorang anggota parlemen oposisi dan menyerukan ”Tidak ada politisi!”
Pada Minggu, pihak berwenang memblokir akses selama hampir 15 jam ke Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp, dan platform media sosial lainnya yang digunakan untuk mengatur protes. Deklarasi keadaan darurat oleh Rajapaksa memberinya kekuasaan yang luas untuk menjaga ketertiban umum, menekan pemberontakan, kerusuhan atau gangguan sipil, juga untuk pemeliharaan pasokan penting. Di bawah dekrit tersebut, presiden dapat mengizinkan penahanan, penyitaan properti, dan penggeledahan tempat. Dia juga dapat mengubah atau menangguhkan hukum apa pun, kecuali konstitusi.
Uni Eropa mendesak Pemerintah Sri Lanka agar melindungi hak-hak demokratis dari semua masalah, termasuk hak untuk berkumpul secara bebas dan perbedaan pendapat, yang dilakukan secara damai. Duta Besar AS Julie Chung mengatakan, Sri Lanka memiliki hak untuk memprotes secara damai sebagai ekspresi demokrasi. ”Saya mengamati situasi dengan cermat dan berharap hari-hari mendatang semua pihak bisa menahan diri, serta stabilitas ekonomi dan bantuan yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat,” katanya dalam sebuah cuitan pada Sabtu (2/4/2022). (AP/AFP)