Sri Lanka: Politik Dinasti, Utang, dan Krisis Ekonomi
Sri Lanka semakin masuk ke dalam krisis ekonomi. Belakangan, krisis memicu gejolak sosial dan krisis politik. Persoalan utang luar negeri yang melilit dan politik dinasti di pemerintahan jadi latarnya.
Krisis ekonomi yang memburuk di Sri Lanka, diduga akibat salah kelola oleh rezim klan Rajapaksa, telah memicu gejolak sosial dan politik yang hebat. Kekurangan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan yang berlangsung sejak lama telah memicu demonstrasi dan desakan agar klan Rajapaksa dan kroninya yang menguasai pemerintahan segera lengser.
Tindakan represif aparat terhadap aksi protes dari anggota parlemen oposisi dan massa membuat situasi semakin panas. Situasi ini berakumulasi menjadi krisis terburuk Sri Lanka sejak negara itu merdeka dari Inggris pada 1948. Krisis makin dalam setelah jajaran menteri kabinet mengundurkan diri hingga tinggal menyisakan presiden dan perdana menteri.
Oposisi Sri Lanka, Senin (4/4/2022), menolak tawaran Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk bergabung dengan pemerintah persatuan. Mereka menilai tawaran itu ”tidak masuk akal”. Mereka mendesak Gotabaya mundur akibat krisis ekonomi yang diperburuk oleh pandemi Covid-19. Negara itu misalnya minim uang tunai dan nihil cadangan devisa setelah pariwisata ambruk.
Baca juga: Militer Sri Lanka Turun Tangan Hadapi Protes
Demonstrasi di Colombo, ibu kota Sri Lanka, telah menyebar ke sejumlah pelosok negeri pada Minggu malam. Sampai Selasa (5/4/2022), gelombang unjuk rasa masih berlangsung di sejumlah tempat dengan penjagaan ketat aparat.
Ribuan pria dan wanita muda, kebanyakan berpakaian hitam, melakukan demonstrasi damai di Colombo, Senin kemarin. Mereka membawa poster dan plakat dengan tulisan tangan. ”Turunkan (klan) Rajapaksa,” bunyi sebuah plakat. Plakat lain lainnya berbunyi, ”Kembalikan dana yang dicuri dari republik”.
”Gota gila, pergi Gota,” teriak massa di tempat lain di kota itu, merujuk pada Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang memberlakukan keadaan darurat pekan lalu. Kebijakan itu diterapkan sehari setelah massa berusaha menyerbu kediamannya.
Krisis ekonomi Sri Lanka yang telah berlangsung berbulan-bulan tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Gotabaya belum maksimal mengatasi persoalan itu. Ia masih mengandalkan utang baru untuk mengatasi krisis.
Akibatnya, utang pemerintah menggunung. Sejak tahun lalu, risiko Sri Lanka untuk menjadi negara gagal bayar terus meningkat setelah pandemi menghancurkan pariwisata, sektor andalan Sri Lanka.
Sri Lanka memiliki sejarah krisis ekonomi yang panjang. Namun, kali ini merupakan yang terburu dalam tujuh dekade terakhir. Selama berbulan-bulan negara berpenduduk 22 juta jiwa itu mengalami krisis listrik dan bahan bakar. Sri Lanka juga mengalami kekurangan pangan dan obat-obatan. Harga bahan bangunan di negara itu juga meroket.
Lihat juga: Potret Antrean Warga Membeli BBM di Sri Lanka
Fiskal Sri Lanka juga lemah. Padahal, itu mestinya menjadi instrumen vital untuk mengatasi krisis. Ini terutama disebabkan anjloknya pendapatan negara sehingga tak mampu membiayai kebutuhan anggaran belanja negara untuk mengatasi krisis. Penyebabnya antara lain pemotongan pajak yang tidak tepat waktu. Ada pula kontribusi sektor pariwisata dan transaksi pengiriman uang asing yang merosot.
Awal Juli 2021, sekitar 2,5 miliar dollar AS utang Pemerintah Sri Lanka akan jatuh tempo. Credit default swap lima tahun Sri Lanka saat itu naik menjadi 1,6 basis poin, tertinggi sejak 1 Maret. Menurut model Bloomberg, angka di atas 1,5 persen menandakan risiko gagal bayar yang tinggi.
Pada akhir Juli itu, Sri Lanka harus membayar kembali obligasi senilai 1 miliar dollar AS kepada investor. Credit default swap adalah kontrak keuangan yang memungkinkan investor untuk “menukar” atau mengimbangi risiko kreditnya dengan risiko investor lain.
Sri Lanka terus menerus terlilit utang luar negeri sejak beberapa tahun belakangan. Porsi utang pemerintah terhadap produk domestik bruto terus membengkak, dari 72,3 persen pada 2014 menjadi 115 persen di awal 2022. Selama delapan tahun ke depan, utang jatuh tempo yang harus dibayar Sri Lanka mencapai 12,55 miliar dollar AS atau Rp 180,2 triliun.
Akibat kesulitan bayar utang jatuh tempo, Sri Lanka telah kehilangan hak kelola pelabuhan utamanya, Hambantota. Perusahaan China mengambil alih hak kelolanya dan mendapatkan 15.000 hektar lahan di sekitarnya pada awal Desember 2017. Masa konsesinya mencapai 99 tahun. Proyek senilai 1,1 miliar dollar AS itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi beban utang kepada China.
Porsi utang Pemerintah Pakistan terhadap produk domestik bruto terus membengkak, dari 72,3 persen pada 2014 menjadi 115 persen di awal 2022.
Infrastruktur utama Sri Lanka itu merupakan bagian dari rencana Beijing untuk menghubungkan sejumlah pelabuhan mulai dari perairan China hingga ke Teluk Persia, dalam skema infrastruktur global Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). China juga kemudian menyepakati pinjaman 989 juta dollar AS untuk pembangun jalan tol di Sri Lanka. Bagi China, akses ini akan menghubungkan sentra produksi teh ke pelabuhan yang dibangun China.
Pada tahun yang sama, China menggelontorkan dana 200 juta dollar AS untuk pembangunan bandara internasional kedua, Mattala Rajapaksa International Airport. Setelah gagal bayar, Sri Lanka lagi-lagi harus menyerahkannya ke China dengan kontrak selama 99 tahun.
Pada 19 November 2005 hingga 9 Januari 2015, Sri Lanka dipimpin Presiden Mahinda Rajapaksa. Ia adalah kakak kandung Gotabaya, presiden Sri Lanka saat ini. Sebelumnya, pada 6 April 2004 hingga 19 November 2005, Mahinda menjabat sebagai perdana menteri (PM).
Adiknya, Gotabaya, yang kemudian menjadi presiden,kembali mengangkat kakaknya itu menjadi PM pada pertengahan November 2019. Kekuasaan politik Sri Lanka memang berpusat pada klan Rajapaksa sejak Mahinda menjadi PM pada April 2004.
Sri Lanka menjadi sangat bergantung pada China sejak pemerintahan Mahinda menjadi presiden (November 2005). Beberapa proyek infrastruktur lainnya juga telah jatuh ke tangan India karena problem gagal bayar utang.
Baca juga: Barisan Menteri Sri Lanka Ramai-ramai Mengundurkan Diri
Media Nikkei Asia, Mei 2021, melaporkan bahwa Gotabaya telah dua kali berpaling kepada China karena cadangan devisa Sri Lanka yang menyusut menjadi 7,2 miliar dollar AS. Ini disebabkan oleh krisis keuangan dan beban utang yang besar. Sri Lanka pun terus menumpuk utangnya kepada China.
Namun, China sebelumnya juga telah mengucurkan dana hibah senilai 90 juta dollar AS, yakni pada awal Oktober 2020. Dana hibah itu digunakan untuk perawatan medis, pendidikan, dan suplai air bersih di daerah-daerah perdesaan yang miskin dan minim akses di Sri Lanka.
Masih pada 2020, China juga menandatangani perjanjian pertukaran mata uang dengan Sri Lanka senilai 10 miliar yuan atau 1,5 miliar dollar AS, yang semata-mata untuk perdagangan bilateral selama tiga tahun. Pertukaran dalam mata uang yuan berarti bahwa Sri Lanka tidak dapat menggunakan dana senilai tersebut untuk melunasi ISB-nya.
Walau demikian, Sri Lanka kini terus mengajukan pinjaman dari China. Menurut media berbasis di Sri Lanka, Daily Mirror, 21 Maret lalu, Sri Lanka akan meminjam 1 miliar dollar AS dari China untuk melunasi utang bank-bank China. Gotabaya juga bergantung pada China untuk mengatasi krisis pangan. Menurut situs berita Colombo Page, 25 Maret, China telah mengirim 2.000 ton beras.
China sekarang, menurut Reuters, sedang mempertimbangkan untuk menawarkan lagi fasilitas kredit senilai 1,5 miliar dollar AS kepada Sri Lanka. Seorang pejabat tinggi China mengatakan, langkah itu sebagai bagian dari upaya untuk membantu Sri Lanka yang tengah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dasawarsa.
Duta Besar China untuk Sri Lanka Qi Zhenhong mengatakan, Sri Lanka dan China juga membahas pinjaman terpisah hingga 1 miliar dollar AS yang diminta oleh Colombo. Dia menambahkan, negara kepulauan di Samudra Hindia yang secara geografis lebih dekat ke India itu juga ditawari pinjaman 500 juta dollar dari China Development Bank, 18 Maret lalu.
Baca juga: Sri Lanka Terjepit China dan India
Namun, Sri Lanka harus membayar utang senilai sekitar 4 miliar dollar AS tahun ini, itu termasuk ISB senilai 1 miliar yang jatuh tempo pada Juli 2022. Namun, cadangan devisanya anjlok menjadi 2,31 miliar dollar AS pada akhir Februari atau turun sekitar 70 dari posisi pada dua tahun lalu.
Negara yang tengah dililit utang dari sejumlah negara dan juga kreditor internasional ini juga tengah berjuang untuk membayar impor kebutuhan pokok, seperti bahan bakar dan obat-obatan. Langkah penghematan, yakni pemadaman listrik bergilir, dilakukan di seluruh negeri (secara nasional) karena kurangnya bahan bakar untuk pembangkit listrik.
”Kami percaya tujuan akhir kami adalah untuk memecahkan masalah. Namun, mungkin ada cara yang berbeda untuk melakukannya,” kata Qi tentang kemungkinan restrukturisasi pinjaman China.
China adalah pemberi pinjaman terbesar keempat Sri Lanka, di belakang pasar keuangan internasional, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Jepang. Selama dekade terakhir, China telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari 5 miliar dollar AS untuk pembangunan jalan raya, pelabuhan, bandara, dan pembangkit listrik tenaga batubara. Para kritikus mengatakan, dana itu digunakan untuk proyek gajah putih dengan pengembalian rendah. Namun, keterangan itu dibantah oleh China.
Presiden Gotabaya Rajapaksa meminta China untuk membantu merestrukturisasi pembayaran utang ketika dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada Januari lalu. Namun, China belum menanggapi permintaan tersebut.
Sri Lanka adalah bagian penting BRI, sebuah rencana jangka panjang untuk mendanai dan membangun infrastruktur yang menghubungkan China ke seluruh dunia. Namun, negara lain termasuk Amerika Serikat menyebutnya sebagai ”jebakan utang” untuk negara-negara kecil.
Baca juga: Presiden Sri Lanka Berlakukan Status Keadaan Darurat
Colombo selama ini enggan mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) karena banyaknya persyaratan yang biasa dituntut lembaga donor itu. Gotabaya pekan lalu mengatakan, Sri Lanka akan bekerja sama IMF untuk membantu menyelesaikan krisis dengan pembicaraan resmi yang akan dimulai pada pertengahan April.
Apakah itu bisa berhasil? Para ekonom mengatakan krisis Sri Lanka telah diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi pinjaman selama bertahun-tahun, dan pemotongan pajak yang keliru. (AFP/AP/REUTERS)