Serangan Rusia terhadap Ukraina melahirkan pro kontra. Potensi penguasaan Rusia terhadap Kiev menjadi sinyal invasi Rusia semakin menemukan eskalasinya. Bagaimana reaksi dunia?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Seperti yang telah diduga, serangan Rusia ke Ukraina berlangsung cepat dan mematikan. Bukan hanya menduduki wilayah dengan tendensi Pro-Kremlin, Rusia telah merangsek jauh hingga ke kota vital seperti Kharkiv dan Kherson bersamaan dengan terus mundurnya pasukan Ukraina yang terseok. Jika terus berlanjut, kejatuhan Ibukota Ukraina Kiev hanya tinggal menghitung hari.
Pasukan Rusia kini telah terkonsolidasi di dua front, yakni di bagian barat laut dan timur laut dari Kiev. Bukan hanya pasukan, militer Rusia juga telah berhasil menempatkan artileri berat di kedua titik tersebut. Kini, pasukan Kremlin telah bergerak ke arah Bobrovytsia yang kemungkinan akan bergabung dengan pasukan yang telah berada di Nizhyn, sekitar 70 mil di sebelah timur Kiev.
Dalam laporan terakhirnya pada 2 Maret lalu, Institute for the Study of War menunjukkan bahwa pergerakan ini bertujuan agar pasukan Rusia dapat segera mengepung Kiev. Pergerakan pasukan secara simultan dari sisi barat laut dan timur laut yang disertai dengan serangan artileri berat nyaris tidak mungkin ditahan oleh Kiev dalam waktu yang lama.
Jatuhnya Kiev dapat diartikan sebagai kemenangan Putin. Tidak tertutup kemungkinan jika pemerintahan Ukraina akan berada di bawah kontrol Kremlin (baik secara de facto maupun de jure) ketika Kiev sudah diduduki. Jika hal ini terjadi, akan banyak kemungkinan lain yang bisa muncul di kemudian hari.
Salah satu contohnya ialah keberhasilan Putin di Ukraina bisa dijadikan standar baginya untuk melakukan invasi ke negara lain yang sebelumnya termasuk ke lingkaran pengaruh Rusia (negara eks Uni Soviet) seperti Georgia.
Posisi pasukan Rusia yang terkonsolidasi di bagian barat laut dan timur laut Kiev ini memang sangat strategis. Tidak hanya untuk segera menduduki Ibukota Ukraina, konsolidasi pasukan terutama di sisi barat laut ini juga dapat menghambat suplai senjata dari NATO.
Beberapa diantaranya ialah Belanda yang menyumbang peluncur roket sebagai bagian dari pertahanan udara, Estonia yang menyumbang misil anti-tank Javelin, dan Polandia serta Republik Ceko mengirimkan persenjataan sekaligus amunisinya. Bahkan, negara yang sebelumnya relatif netral seperti Swedia dan Finlandia turut mengirimkan persenjataan.
Bukan hanya untuk memutus akses bantuan militer dan kemanusiaan di sebelah utara, pergerakan dari militer Rusia juga merupakan upaya untuk memutus akses ekonomi Ukraina. Hal ini utamanya terpantau dari pergerakan militer Rusia di bagian selatan Ukraina. Pada 2 Maret lalu, pasukan Russia berhasil menduduki Kota Kherson, kota Pelabuhan yang cukup sentral bagi Ukraina.
Dalam komunikasinya dengan dunia luar, Wali Kota Kherson memperingatkan bahwa militer Rusia akan bergerak untuk menguasai Odessa, kota pelabuhan terbesar di Ukraina, dalam waktu dekat. Hal ini pun dikonfirmasi oleh Presiden Belarus Alexander Lukashenko yang menyatakan bahwa pasukan Rusia akan bergabung di basis militer Rusia di Transnistria (wilayah Moldova yang dikuasai pemberontak Pro-Kremlin).
Jika Kherson dan Odessa dikuasai, praktis hubungan perdagangan Ukraina akan terputus. Selain kedua kota ini merupakan kota pelabuhan terpenting dalam rantai perdagangan Ukraina, akses negara ini ke dunia luar melalui Laut Hitam pun akan tertutup. Dengan begitu, Rusia sukses memblokade negara ini dari sisi darat maupun laut.
Telah berjalan kurang lebih seminggu, invasi Rusia di Ukraina ini telah merenggut korban jiwa dan luka-luka. Di sisi Ukraina, terdapat sekitar 2.800 pasukan tewas, 3.700 mengalami luka-luka dan 572 lainnya ditangkap dan dijadikan tawanan perang. Di sisi Rusia, 498 orang pasukan meninggal dunia, 1.597 luka-luka dan sekitar 200 lainnya tertangkap dan ditahan oleh Ukraina.
Berdasarkan keterangan dari Kremlin, pasukan Rusia hanya akan menyerang target militer dan pemerintahan serta menghindari serangan ke titik dengan populasi sipil yang padat. Di satu sisi, “janji” Kremlin ini dipatuhi dengan hancurnya jembatan, menara komunikasi (TV dan radio) hingga gedung pemerintahan di beberapa kota. Salah satu yang paling terdampak ialah Kota Kharkiv, 400 km di timur Kiev, yang merupakan kota terbesar kedua di Ukraina.
Namun, bukan berarti warga sipil telah aman. Pasalnya, dilansir dari The New York Times, Rusia juga menyerang area yang padat warga. Beberapa contohnya ialah penyerangan terhadap area permukiman dan rumah sakit di Kota Kharkiv. Setidaknya, puluhan warga sipil meninggal karena serangan ini.
Dengan semakin intensnya serangan Rusia dalam waktu dekat, korban pun dapat dipastikan akan terus berjatuhan. Terlebih lagi, Rusia tak segan menggunakan senjata mematikan yang sebelumnya telah mereka “uji” di Suriah ketika mendukung Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Salah satunya ialah bom kluster (cluster bomb) yang dapat meratakan satu blok perkotaan dalam hitungan detik. Dilansir dari laporan The Guardian, senjata ini diduga telah digunakan di Kharkiv pada Jumat, 25 Februari 2022.
Ancaman terhadap keselamatan ini membuat warga khawatir setengah mati. Sebagian dari masyarakat Ukraina pun telah memutuskan pergi meninggalkan rumah mereka untuk mencari suaka di negara tetangga. Hingga kini, sudah lebih dari sejuta pengungsi mengalir ke luar Ukraina. Untungnya, sebagian besar negara sekitar bersikap terbuka dan menerima para pengungsi ini untuk berlindung.
Banyaknya korban yang berjatuhan ini memantik kegeraman dari banyak warga Rusia. Bila biasanya protes terhadap pemerintah Rusia dilayangkan oleh kelompok oposisi, kini warga yang sebelumnya tak menentang Putin telah mulai turun ke jalan. Bahkan, sebagian dari mereka mengaku masih tidak menyangka bahwa Putin benar-benar menjalankan rencananya untuk menyerang Ukraina. Terlebih lagi, tak sedikit yang mengaku khawatir dengan nasib sanak saudaranya yang harus terpaksa menyerang Ukraina.
Tak ayal, protes demi protes pun terjadi di berbagai titik di Rusia. Alih-alih didengar, para pengunjuk rasa justru mengalami represi dari aparat Rusia. Setidaknya, telah terdapat sekitar 2.000 warga Rusia yang ditahan akibat berdemo melawan pemerintah. Meskipun begitu, sebagian warga Rusia masih belum takut dan tetap menjalankan aksi protes.
Untuk mengancam para demonstran, Pemerintah Rusia telah mengajukan rancangan peraturan yang rencananya akan disahkan oleh legislator. Aturan ini akan mengancam siapa pun yang memprotes keputusan Pemerintah Rusia untuk menyerang Ukraina dengan ancaman penjara hingga 15 tahun.
Dengan desakan internal yang masih menguat, Putin tak punya banyak waktu untuk menyelesaikan “tugasnya” di Ukraina. Urgensi ini juga diperkuat dengan tekanan eksternal yang dirasakan Rusia. Saat ini, sebagian besar negara Barat telah menjatuhkan berbagai sanksi kepada Rusia termasuk embargo perdagangan hingga pemutusan Rusia dari sistem perbankan internasional SWIFT.
Saat ini, sebagian besar negara Barat telah menjatuhkan berbagai sanksi kepada Rusia termasuk embargo perdagangan hingga pemutusan Rusia dari sistem perbankan internasional SWIFT.
Tak hanya itu, serangkaian sanksi tambahan seperti pembekuan aset para oligarki yang berada dalam lingkaran Kremlin serta sanksi lain terkait dengan sektor energi juga kini sedang disiapkan oleh Satgas yang baru saja dibentuk oleh Presiden AS Joe Biden. (LITBANG KOMPAS)