Koridor Kemanusiaan Sulit Terwujud, Jutaan Warga Ukraina Terkepung Perang
Jutaan warga sipil tertahan di banyak kota di Ukraina akibat macetnya kesepakatan koridor kemanusiaan. Kurang dari dua pekan perang di Ukraina berlangsung, sudah 1,5 juta orang mengungsi.
–
KIEV, MINGGU – Koridor kemanusiaan di berbagai kota di Ukraina yang dikepung Rusia masih sulit terwujud. Hingga Minggu (6/3/2022), jutaan warga sipil masih tertahan di berbagai kota karena gencatan senjata tidak kunjung dilakukan.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyebut, jalur kemanusiaan yang disepakati untuk Mariupol kembali tertunda. Untuk kedua kalinya, penyediaan jalur kemanusiaan di kota pelabuhan di tepi Laut Azov itu gagal terwujud. Upaya pertama pada Sabtu hanya berlangsung tidak sampai lima jam. Upaya kedua pada Minggu, bertahan kurang dari enam jam dari seharusnya 10 jam.
Wali Kota Mariupol, Vadym Boychenko, mendesak semua pihak menyediakan jalur kemanusiaan bagi warganya. Paling tidak 400.000 warga Mariupol berharap bisa keluar dari kota yang sedang dikepung ketat Rusia sejak Kamis lalu itu. “Kami perlu jalur aman untuk evakuasi warga dan baku tembak harus berhenti,” ujarnya, sebagaimana dilaporkan kantor berita Ukraina, Ukrinform.
Baca juga : Gencatan Senjata di Dua Kota Tidak Sepenuhnya Dipatuhi
Rusia-Ukraina baku tuding sebagai pemicu jalur kemanusiaan sulit terwujud. Tentara dan milisi Rusia-Ukraina terus baku tembak selepas delegasi Rusia-Ukraina menyepakati penyediaan jalur kemanusiaan. “Pihak Ukraina tidak mau menjamin gencatan senjata di Mariupol dan Volnovakha,” kata Eduard Basurin, komandan milisi Republik Rakyat Donetsk, kepada kantor berita Rusia, Ria Novosti.
Ia memimpin milisi yang mengepung Mariupol, kota pelabuhan yang terletak di antara Donetsk dan Crimea. Ia menuding, milisi Ukraina sebagai penghambat utama upaya evakuasi. Milisi Ukraina melarang banyak orang melewati jalur evakuasi. Sebaliknya, tentara dan milisi Ukraina menuding tentara dan milisi pendukung Rusia menghalangi evakuasi karena terus membombardir Mariupol.
Jalur kemanusiaan tidak hanya dibutuhkan Mariupol. Berbagai kota Ukraina yang sedang dikepung Rusia juga butuh itu. Kepungan antara lain terjadi di Melitopol, Mykolaiv, Kharkiv, Chernihiv. Adapun di Kiev, baku tembak terus terjadi baik di pinggiran atau pusat kota.
Penduduk di sebagian kota mengaku, pasokan air dan listrik sudah terhenti. Layanan telepon juga sudah lama berhenti di sebagian tempat. Banyak orang bertahan di berbagai tempat perlindungan karena bombardir tanpa henti.
Rusia berkeras, sasaran pengeboman hanya fasilitas militer atau pendukung militer. Namun, banyak bandara Ukraina jadi sasaran pengeboman Rusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sejumlah klinik dan rumah sakit jadi sasaran serangan yang telah dilancarkan sejak Kamis (24/2/2022) dini hari.
Kini, tinggal Odessa yang belum dikepung Rusia. Pengepungan atas Odessa bisa membuat Ukraina terkurung di semua sisi kecuali di barat. Pengepungan di Odessa juga membuat Ukraina kehilangan akses ke laut.
Banjir pengungsi
Perang Rusia-Ukraina yang memasuki hari ke-12 pada Senin ini telah memaksa 1,5 juta penduduk Ukraina mengungsi ke berbagai negara. Polandia menampung hampir 1 juta jiwa. Sisanya menyeberang ke berbagai tetangga Ukraina barat dan selatan.
Baca juga : Zelenskyy Kecewa untuk Kedua Kalinya pada NATO
Gara-gara perang itu, kebijakan Uni Eropa soal pengungsi berubah hanya dalam seminggu. Sampai pekan ketiga Februari 2022, Uni Eropa tengah berusaha menghalau gelombang pengungsi di perbatasan Belarus-Polandia dan Turki-Yunani. Mayoritas pengungsi dari Irak, Suriah, dan sejumlah negara Afrika.
Setelah perang Rusia-Ukraina meletus, Brussels sepakat membuka pintu bagi siapa pun yang datang dari Ukraina. Seluruh yang bukan warga Ukraina boleh masuk dan akan segera dipulangkan ke negara asalnya.
Sementara seluruh warga Ukraina boleh tinggal sampai tiga tahun di Uni Eropa. Bahkan, orang-orang yang secara fisik terlihat seperti warga Ukraina pada umumnya nyaris tidak perlu menunjukkan dokumen apa pun untuk masuk negara-negara UE di sekitar Ukraina. Orang-orang Ukraina bisa segera bekerja, sekolah, dan mengakses aneka layanan sosial dan kesehatan Uni Eropa.
Direktur Dewan Eropa untuk Pengungsian dan Pengasingan, Catherine Woollard, memuji sekaligus mengkritik kebijakan itu. Ia memuji keputusan UE karena memang itulah yang harus dilakukan. Di sisi lain, ia mengkritik karena bias ras amat kentara dalam kebijakan itu.
“Seharusnya, kebijakan ini diberlakukan kepada siapa pun yang masuk Eropa. Sayangnya, kebijakan imigrasi dan suaka dibentuk dan dipengaruhi amat besar oleh faktor suku, agama, dan negara asal pengungsi dan pencari suaka,” kata dia kepada media Jerman, Deutsche Welle.
Gencatan senjata
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, gencatan senjata amat diperlukan agar pengungsi bisa keluar dari daerah perang. Gencatan senjata juga memungkinkan solusi diplomatik lebih intensif dikejar.
Baca juga : Lima Komoditas yang Tertekan akibat Perang Rusia-Ukraina
Erdogan menyampaikan itu kepada Presiden Rusia Vladimir Putin lewat telepon pada Minggu. Ia menawarkan menjadi penengah bagi Kiev-Moskwa. Putin menerima telepon Erdogan setelah menemui Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang bertandang ke Moskwa pada Sabtu.
Sejumlah media Israel melaporkan, Jerman dan Perancis meminta Israel menjadi penengah. Sementara sejumlah media Spanyol melaporkan, Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan UE Josep Borrell berharap China bisa jadi penengah Rusia-Ukraina. “Tidak ada pilihan. Kami (UE) tidak bisa, jelas sekali. Amerika Serikat juga tidak bisa. China bisa, saya yakin,” kata Borrell.
Memang, sampai sekarang Brussels dan Washington belum meminta Beijing menjadi penengah dalam perang itu. Beijing juga belum berkomunikasi dengan Brussels dan Washington soal itu.
Sejauh ini, Putin bersikukuh meneruskan serangan ke Ukraina yang disebutnya sebagai "operasi militer khusus" atas permintaan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhanks (RRL). Putin mengakui kedaulatan RRD dan RRL, dua daerah yang diakui komunitas internasional sebagai wilayah Ukraina, pada 21 Februari 2022 malam. Pada 22 Februari 2022 dini hari, ia mengumumkan akan menyerbu Ukraina. Tentara Rusia memulai serangan pada 24 Februari 2022 dini hari.
Putin menuntut demiliterisasi total Ukraina dan pengadilan bagi orang-orang yang bertanggung jawab dalam perang saudara di Donetsk dan Luhansk. Ia juga mengklaim tentara Rusia berusaha memastikan tidak ada atau setidaknya sesedikit mungkin korban sipil. “Sasaran hanya ke infrastruktur militer,” kata dia sebagaimana disiarkan Ria Novosti.
Baca juga : Sikap Indonesia dalam Krisis Ukraina Picu Perdebatan
Di sisi lain, ia mengaku siap berunding dengan Ukraina maupun UE dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Walakin, untuk saat ini ia tidak memasukkan perundingan dengan AS dalam agendanya dalam waktu dekat. (AFP/REUTERS)