Serangan Rusia ke Ukraina menjadi tantangan bagi eksistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai penjaga gawang perdamaian dunia. Mampukah badan dunia ini berperan dalam penyelesaian ketegangan Rusia dan Ukraina?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Serangan kedua Rusia ke wilayah Ukraina yang tengah berlangsung menjadi penanda babak baru dalam perjalanan sejarah hubungan internasional. Salah satu fitur dari babak baru tersebut ialah hilangnya marwah Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penjaga gawang perdamaian dunia. Organisasi tersebut berdiri bak relik yang sulit menemukan relevansi di tengah perkembangan geopolitik saat ini.
Pasca-kejatuhan Kubu Aksis, Perang Dunia (PD) II pun selesai dengan Kubu Sekutu sebagai pemenangnya. Selayaknya juara, Kubu Sekutu yang terdiri atas aliansi lima negara besar, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China, berupaya untuk menjadi ”penjaga gawang” atas perdamaian dunia agar tidak terbobol seperti sebelumnya. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, mereka pun mengajak negara-negara lain di seluruh dunia untuk berserikat dalam organisasi PBB.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kehilangan marwah sebagai penjaga gawang perdamaian dunia.
Sepanjang perjalanan sejarah, organisasi ini memiliki puluhan bidang kerja yang melingkupi berbagai persoalan, mulai dari keamanan, ekonomi, lingkungan, hingga kemanusiaan. Namun, dilahirkan dari trauma kolektif akibat kehancuran yang dibawa PD II, bidang keamanan yang digawangi oleh Dewan Keamanan (DK) menjadi hal yang mendapat perhatian khusus.
Di forum inilah ratusan konflik pasca-PD II didiskusikan. Mulai dari sengketa wilayah hingga invasi, DK melalui lembar resolusinya menjadi juri yang menentukan apakah sebuah operasi militer yang dilakukan oleh sebuah negara merupakan sebuah langkah yang sah atau tidak.
Jika sebuah negara divonis bersalah atas keputusan militer yang tidak sah, PBB dan seluruh anggotanya pun berhak memberikan hukuman melalui berbagai sanksi seperti embargo atau bahkan serangan balasan oleh tentara perdamaian PBB.
Namun, DK PBB memiliki cacat desain yang mendasar, bahkan semenjak awal pembentukannya. Berbeda dengan majelis umum, di mana tiap anggotanya memiliki posisi yang sama, DK didesain secara eksklusif sehingga kekuasaan berada di tangan negara anggota tetap. Negara anggota tetap, yakni negara Kubu Sekutu pada PD II, memiliki hak veto yang dapat menggagalkan DK untuk menelurkan resolusinya.
Hal ini menjadi sangat problematis melihat perkembangan hubungan internasional saat ini. Rusia dan China sebagai pemegang ”kunci” nyatanya terbukti bertindak sewenang-wenang. Alih-alih membawa perdamaian dunia, kedua negara ini justru kerap memulai ketegangan yang berujung pada konflik, bahkan peperangan.
Penyelewengan Rusia dan China tersebut praktis membuat DK menjadi lumpuh. Gejala kelumpuhan DK ini sebetulnya sudah terlihat semenjak awal dewan ini hadir pada 1947 ketika Yunani menjadi titik perang proksi (Proxy War), sebuah terminologi dalam perang dingin di mana kekuatan Barat (AS dan sekutunya di Eropa) dan Timur (Uni Soviet) ikut campur dalam konflik domestik untuk berebut pengaruh.
Konflik ini menjadi panjang dan berlarut-larut akibat hadirnya AS dan Inggris di belakang tentara pemerintah dan Soviet di balik pemberontak (DSE). Saat itu, resolusi DK terus gagal akibat diveto oleh Uni Soviet setidaknya sebanyak lima kali.
Mandulnya Dewan Keamanan PBB terus berlangsung di berbagai konflik serupa hingga dekade kedua abad ke-21.
Mandulnya DK terus berlangsung di berbagai konflik serupa hingga dekade kedua abad ke-21. Salah satu contoh teranyar kegagalan DK untuk menyelesaikan peperangan ialah konflik berdarah yang terjadi di Suriah selama satu dekade terakhir.
Dalam konflik ini, DK menjadi tumpul akibat dihajar oleh 16 veto yang datang dari China dan Rusia. Bahkan, kedua negara ini tercatat melakukan veto terhadap akses bantuan kemanusiaan yang diupayakan resolusi DK pada 20 Desember 2019, 7 Juli 2020, dan 10 Juli 2020.
Ketidakberfungsian DK PBB semakin berbahaya ketika salah satu anggota permanennya melakukan agresi militer. Hal ini pernah terjadi dalam invasi Rusia ke Ukraina yang pertama pada 2014.
Saat itu, dewan ini gagal menelurkan keputusan apa pun setelah draf resolusi S/2014/189 yang berisi kutukan atas aksi aneksasi Crimea diveto oleh Rusia sang agresor. Saat itu, justru majelis umumlah yang berhasil menghasilkan sebuah resolusi yang akhirnya diamini oleh seluruh dunia bahwa apa yang dilakukan oleh Rusia di Crimea sebagai tindakan ilegal.
Apa yang terjadi dengan PBB dan Dewan Keamanan-nya saat ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sejarah mencatat bahwa upaya perserikatan negara-negara di dunia bukanlah sesuatu yang mudah.
Sebelum PD II, PD I menghasilkan sebuah rezim organisasi internasional serupa PBB bernama Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang gagal membendung ambisi Poros Aksis untuk menyerbu dan menguasai setidaknya separuh dari dunia.
Cerita kegagalan LBB dan betapa mengerikannya PD I dan II menjadi gambaran bagaimana perdamaian dunia terus berjalan di atas kaca yang rapuh. Perdamaian yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dunia sekarang sebetulnya masih berumur jagung dan bisa bubar sewaktu-waktu.
Jika melihat sejarah lebih jauh, perang menjadi fitur yang tak terelakkan dari hubungan internasional. Sebelum era pasca-PD II, dunia telah menyaksikan perang terus terjadi mulai dari Perang Napoleonik sampai PD I.
Maka, bukan berlebihan jika masyarakat dunia mulai khawatir dengan kemungkinan pecahnya PD III dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Terlebih lagi, dunia menyimpan api dalam sekam berbentuk konflik terlokalisasi yang selama ini masih bisa terhindarkan.
Beberapa di antaranya meliputi instabilitas geopolitik di Timur Tengah dan Pasifik (terutama Laut China Selatan, Semenanjung Korea serta China). Apa yang dimulai oleh Rusia di Ukraina bisa membakar jerami-jerami yang telah kering itu.
Jika yang ditakutkan terjadi, Indonesia bukan tidak mungkin bisa terdampak dalam hal keamanan negara. China sebagai negara yang memiliki kedekatan politik dengan Rusia bisa saja tergerak untuk ikut melancarkan agresinya di sekitar Pasifik.
Sebagian besar pemimpin dunia paham betul bahwa perang adalah keputusan yang sangat berisiko.
Hal ini bisa saja dimulai dari serangan ke Taiwan atau mobilisasi armada besar-besaran ke Laut China Selatan (di seluruh kawasan Nine-Dash Line). Hal ini pun kemungkinan besar akan direspons secara dramatis oleh negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini, semua masih berharap bahwa bahaya ini hanya omong kosong belaka. Setidaknya, sebagian besar pemimpin dunia paham betul bahwa perang adalah keputusan yang sangat berisiko. Kemajuan ekonomi yang selama berabad telah diupayakan secara kolektif pun akan runtuh dan akan menghasilkan instabilitas politik di seluruh dunia.
Bahkan, serangan Rusia dan Ukraina pun telah menunjukkan hal ini, di mana harga minyak mentah dunia telah naik ke tingkat tertinggi selama delapan tahun terakhir akibat terganggunya suplai dari Rusia sebagai salah satu bagian penting dalam rantai pasok minyak global.
Di tengah ketidakpastian ini, diplomasi harus tetap menjadi ujung tombak pertama dan terutama. Jika jalur institusional seperti melalui PBB atau DK sudah tak relevan, mau tak mau negara-negara di dunia perlu memiliki inisiatif dalam melakukan pendekatan bilateral atau multilateral, salah satunya melalui strategi diplomasi satelit.
Serangan Rusia dan Ukraina memicu harga minyak mentah dunia naik ke tingkat tertinggi selama delapan tahun terakhir.
Selanjutnya, diplomasi jalur dua (Track-II Diplomacy) juga perlu terus dibina agar bisa menambal kebuntuan terhadap jalur pertama yang kerap terjadi.
Selain itu, era ketidakpastian yang dibuka oleh invasi Rusia ini perlu juga menjadi pengingat untuk pentingnya menjaga kapabilitas negara dari ancaman serangan dari luar. Langkah Pemerintah Indonesia untuk memperkuat alutsista tempo hari menjadi salah satu contoh tepat untuk merespons perkembangan geopolitik yang makin tak menentu.
Sebab, seperti adendum dari Jenderal Perang Athena Tuchydides dalam Dialog Melian, siapa yang kuat akan melakukan apa yang dikehendaki, sedangkan mereka yang lemah selayaknya akan menderita. Jangan sampai, kita semua berada di pihak yang lemah sehingga akhirnya harus menerima ketidakberdayaan. (LITBANG KOMPAS)