Belajar dari China: Membangun Kota Ekonomi Baru
Untuk menjawab permasalahan kesejahteraan dan kemiskinan di Indonesia yang laten, pemerintah harus juga membangun kota-kota ekonomi baru bersamaan dengan pemindahan pusat pemerintahan.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara belum menjelaskan secara eksplisit urgensi pemindahan ibu kota. Lompatan logika justru bermuara pada pemindahan pusat pemerintahan untuk menjawab persoalan bangsa.
Kisah sejarah negara lain dalam memindahkan pusat pemerintahan ibu kota selalu dirujuk dalam Naskah Akademik UU IKN. Sayangnya, hanya disebutkan seputar cuplikan sejarah negara tersebut, alasan memilih ibu kota, dan durasi pemindahan. Alasan yang diulang disebutkan dalam naskah akademik tersebut ialah untuk mempresentasikan identitas dan persatuan bangsa, merefleksikan kebhinekaan, dan meningkatkan penghayatan Pancasila.
Dalam Rencana Induk Ibu Kota Negara yang dirujuk dalam Naskah Akademik UU IKN, disebutkan ada tiga tujuan utama pemindahan. Pertama, IKN sebagai kota berkelanjutan di dunia. Kedua, IKN sebagai kota penggerak perekonomian Indonesia di masa depan. Ketiga, IKN sebagai simbol identitas nasional.
Ketiga tujuan itu kemudian dikembangkan dalam delapan asas yang tampak ideal dalam sebuah kota. Kedelapannya yakni asas kesetaraan ekonomi, keseimbangan ekologis, ketahanan, berkelanjutan atau ramah lingkungan, kelayakan hidup (keamanan), konektivitas, kota cerdas, dan asas kebhinekaan. Semua asas ini sebenarnya dapat terwujud di sebuah kota yang baru tanpa harus memindahkan pusat pemerintahan.
Dalam bagian awal Naskah Akademik UU IKN, tepatnya di Kajian Teoretis dan Praktik Empiris, gagasan utama dalam ibu kota baru adalah kota yang modern dan berkelanjutan. Dijelaskan, arti modern dalam konteks ini ialah beralihnya sektor pertanian ke industri, pemanfaatan teknologi dalam berbagai hal, dan akhirnya berdaya saing secara ekonomi. Lagi-lagi, gagasan utama yang diangkat lebih memperlihatkan urgensi kota ekonomi yang baru, memindahkan ibu kota.
Penulisan naskah akademik ini secara teoretis lebih banyak mencuplik keunggulan-keunggulan dari negara yang berhasil memindahkan ibu kotanya sepanjang sejarah dunia. Bersamaan dengan itu, dicupliklah istilah-istilah canggih yang diharapkan juga termuat dalam ibu kota baru nanti. Misalnya, konsep radiant city, garden city, green city, eco-city, smart city, dan intelligent city yang semuanya itu guna menunjang pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan.
Naskah akademik ini selanjutnya menyoroti segudang permasalahan di DKI Jakarta yang dianggap terlalu padat karena pemusatan pemerintahan, ekonomi, dan politik. Permasalahan DKI Jakarta yang diangkat seperti banjir, kemacetan, infrastruktur yang tidak lagi memadai, keterbatasan suplai air baku, hingga ancaman gempa. Ketidakmampuan Jakarta untuk menanggung semua beban itu akhirnya menjadi pemicu untuk didirikannya ibu kota yang baru.
Permasalahan yang ditarik bukan terkait kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, seperti persoalan pemerataan kesejahteraan penduduk, penumpasan kemiskinan, perihal kesehatan, maupun pendidikan. Persoalan yang menjadi fokus dalam Naskah Akademik UU IKN ini ialah tidak leluasanya lagi pemerintah dalam mengatur tata kelola ibu kota negara secara ideal (halaman 7). Maka, jelaslah kepentingan pemindahan ibu kota bukan serta merta menyangkut hajat hidup seluruh penduduk Indonesia, melainkan pihak pusat pemerintahan.
Kendati pembahasan UU IKN ini sudah disahkan 18 Januari 2022 lalu, sebenarnya masih ada alternatif guna menjawab persoalan bangsa. Membangun kota ekonomi baru sehingga tidak memusatkannya pada Jakarta adalah salah satunya. Berbagai konsep seperti green city, smart city, dan sebagainya itu tentu juga dapat diimplementasikan dengan baik di kota yang baru berdiri.
Belajar dari Shenzhen
Tidak ada yang menduga sebelumnya, Kota Shenzhen di Guangdong, China dapat menjadi kota masyhur seperti saat ini. Kota ini resmi didapuk oleh PBB sebagai kota masa depan dengan kemajuan ekonomi, sosial, dan berwawasan lingkungan. Kota dengan sebutan The Silicon Valley of Asia atau The Silicon Valley of the East ini justru awalnya dibangun di tengah keterpurukan ekonomi China saat itu.
Kembali pada era 1950-an di China, rezim pemerintahan Mao Zedong saat itu mencanangkan kebijakan Lompatan Hebat ke Depan (The Great Leap Forward) yang berakhir dengan kegagalan total. Mao Zedong bermaksud mengurangi produktivitas pertanian dan berfokus pada sektor industri dengan mengirim para petani ke pusat-pusat industri, tapi kebijakan ini justru membuat rakyat kelaparan.
Beralih ke 1966, Mao Zedong justru mengeluarkan wacana Revolusi Kebudayaan. Bukan memulihkan ekonomi, tapi ia justru menjalankan pemerintahan yang berbasis militer dan menghancurkan sekolah, perpustakaan, tempat ibadah, dan rumah-rumah warga yang dicurigai sebagai pihak oposisi pemerintahan. Sektor ekonomi pun terpuruk dan puluhan ribu warga sipil meninggal di tangan pemerintahan yang berbasis militer.
Setelah Mao Zedong meninggal, tampilah Deng Xiaoping sebagai sosok pembaru pemerintahan dan ekonomi China. Deng memulai Reformasi dan Keterbukaan pada 1978. Dua tahun kemudian, melalui Surat Edaran No. 41 tanggal 16 Mei 1980. Deng merencanakan empat zona khusus yang menerapkan sistem yang berbeda dari daerah lainnya atau yang biasa disebut special economic zone/SEZ (Kawasan Ekonomi Khusus).
Keempat zona itu akan diberi keleluasaan bereksperimen dengan berbagai cara seturut kebutuhan pasar, dua diantaranya ialah Guangdong dan Fujian. Deng melihat daerah-daerah tersebut, daripada sekadar tempat pemrosesan impor, dibangun sebagai pusat metropolitan yang lengkap dengan industri, perdagangan, pertanian, peternakan, properti, atau industri pariwisata. Ide Deng Xiaoping ini mendapat kecaman dari pihak konservatif karena dengan program tersebut China membuka pintu yang lebar bagi investasi asing.
Pada 1979, 12 persen ekspor Tiongkok berasal dari Guangdong, lalu sejak SEZ berlaku, lebih dari sepertiga ekspor China berasal dari sana. Deng meyakini orang-orang di Guangdong dan Fujian mungkin akan lebih cepat kaya dibandingkan orang di daerah lain.
Merujuk data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi China di akhir 1980-an memang meningkat pesat. Sebagai perbandingan, rentang 1975 hingga 1985 pertumbuhan ekonomi China mengalami naik turun, namun di rentang 1980 hingga 1985 pertumbuhannya konstan naik. Salah satu daerah yang hingga kini disorot kemajuannya berkat SEZ ialah Shenzhen yang merupakan kota dari Provinsi Guangdong.
Kota Shenzhen awalnya daratan rawa seluas 2.020 km persegi atau lima kali Pulau Batam atau sepertiganya Pulau Bali. Para penduduk di sana awalnya hanya bekerja sebagai nelayan dan jumlahnya tidak lebih dari 25 ribu jiwa. Berkat kebijakan Deng, pembangunan masif di sana telah mengubah kota tersebut sebagai kota masa depan yang menopang ekonomi China.
Kota ini dibangun dalam empat tahap. Pertama (1978-1992), menjadi pembangunan padat karya yang didukung oleh keterbukaan dan reformasi kelembagaan. Kedua (1992-2003), masih berfokus pada pembangunan industri padat modal yang mengandalkan investasi asing. Ketiga (2003-2013), dimulailah transformasi ekonomi yang memanfaatkan kenaikan harga tanah di sana dan meningkatkan daya tarik kota bagi investor. Terakhir pada 2013-2018, Shenzhen berhasil mencapai pengembangan berbasis inovasi dan menjadi daya tarik bisnis di mata global.
Nilai ekonomi yang dihasilkan pun tidak main-main. Dari 1979 hingga 2017, total volume ekspor Shenzhen tumbuh dari 9,3 juta dolar AS menjadi 244,221 miliar dolar AS atau naik sebesar 9.565 kali lipat dengan tingkat pertumbuhan tahunan 27,3 per persen selama 38 tahun terakhir. Pada 2018, kota Shenzhen menjadi pusat keuangan daerah, pusat ekonomi, dan pusat inovasi teknologi China.
Keberhasilan Deng dan pemerintahan China untuk membangun Shenzhen telah dilirik banyak negara. Salah satu kunci yang sering dibeberkan ialah terkait pembangunan tata kota yang diperhitungkan sejak awal (terkait lokasi-lokasi bisnis, manufaktur, dan tempat tinggal penduduk) dan yang paling penting ialah pendapatan daerah yang juga disalurkan sebagai pendapatan tiap pekerja di sana. Selain produktivitas daerahnya maju, penduduk yang bekerja di sana turut mendapatkan manfaat dan meningkatkan kesejahteraannya.
Memang, posisi Shenzhen saat ini sudah masuk menjadi kota yang padat dan memiliki biaya yang hidup bagi penduduknya. Namun semua itu diimbangi dengan kemajuan teknologi yang mempermudah sektor bisnis dan hidup penduduknya. Belum lagi, udara yang bersih dan kesehatan penduduk sudah terjamin di sana.
Harapan
Kota Shenzhen di Guangdong, China hanyalah salah satu contoh pembangunan kota ekonomi yang berhasil. Tidak menutup kemungkinan jika pemerintah Indonesia melakukan hal serupa mengingat relasi antara China dan Indonesia yang sejauh ini saling mendukung. Keterbukaan investasi dan kemauan untuk imitasi tentu dapat terlaksana seiring transfer pengetahuan yang terjadi.
Kendati keputusan untuk memindahkan ibu kota sudah menjadi hal mutlak, maka setidaknya masyarakat masih dapat mengawal semua proses, terutama biaya pembangunan. Selain itu, merujuk pada rancangan kota modern yang digadang-gadang dalam IKN, sebenarnya ada faktor-faktor penting dalam sebuah kota modern masa depan.
Baca juga: Isu Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Perdebatan hingga Pengalihan
Menyadur National Geographic, ada sepuluh kunci utama dalam kota modern masa depan. Tiga diantaranya ialah memperhatikan ekologi, sumber energi terbarukan yang menopang pemanfaatan teknologi, dan ketahanan pangan (olahan maupun dihasilkan sendiri). Jika dibandingkan dengan Naskah Akademik RUU IKN, yang melulu disebutkan ialah soal infrastruktur dan pemanfaatan teknologi.
Terlepas dari semua itu, IKN adalah megaproyek yang ditanggung oleh seluruh penduduk Indonesia melalui pajak yang dibayarkan tiap tahunnya. Maka, diharapkan hasilnya pun dapat berimbas pada peningkatan taraf hidup masyarakat dan kepentingan bersama lainnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ibu Kota Negara Berkelanjutan