La Nina seyogianya menjadi isu politik yang tak kalah mendesak dari isu lain, seperti pemilu. Kalau La Nina menguat, potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, berada di depan mata.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pemilihan fenomena La Nina sebagai berita utama Kompas, Senin (30/5/2022), mengirim pesan, ada agenda tak kalah penting dari topik politik aktual.
La Nina dengan segala potensi dampaknya sudah seharusnya mendapat perhatian lebih serius. Beberapa bulan silam, La Nina diprediksi muncul pada 2022. Saat itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, La Nina, seiring dengan beranjaknya 2022, akan surut dan musim hujan usai pada bulan Mei. Kini, Mei sudah berakhir, tetapi, seperti ditulis Kompas, La Nina justru menguat, membuat cuaca tak menentu.
Kita menyaksikan, beberapa pekan terakhir, hujan turun dengan curah tinggi di beberapa wilayah, termasuk Jabodetabek. Di satu sisi, kita mengapresiasi sejumlah daerah telah meningkatkan kewaspadaan dengan mengikuti arahan BMKG. Selain itu, di Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Barito Selatan menetapkan status tanggap darurat bencana banjir, tanah longsor, dan puting beliung selama 14 hari.
Meski sudah baik, boleh jadi pemantauan harus dilakukan lebih saksama, mengingat La Nina kemungkinan berlangsung hingga akhir tahun. Hal ini akan membuat La Nina terjadi selama tiga tahun.
Menanggapi situasi dan kondisi tersebut, kita perlu mengulangi catatan yang telah kita buat sebelumnya. Pertama, kita mengapresiasi kinerja BMKG yang telah melaksanakan fungsi literasi cuaca dan iklim kepada masyarakat serta otoritas pemerintahan sehingga sejumlah pemerintah daerah meresponsnya dengan sigap.
Pada sisi lain, fenomena seperti La Nina berskala luas, yang boleh jadi intensitasnya meningkat seiring dengan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Dibutuhkan kesigapan dan tekad pemerintah pusat untuk mencurahkan lebih banyak lagi sumber daya guna mengurangi potensi La Nina serta ekstremitas cuaca lainnya.
Sayangnya, kita masih sering mendengar ungkapan, apa yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan masih ”terlalu sedikit” dan juga ”terlalu terlambat”. Tak mengherankan, prediksi bukan bertambah baik, melainkan bertambah buruk. Misalnya, prakiraan kenaikan suhu muka bumi 1,5-1,6 derajat celsius bukan tercapai pada 2040, melainkan pada 2030. Kita bahkan mendengar prakiraan suhu bumi akan meningkat 3,2 derajat celsius pada 2100. Jika hal itu terjadi, hampir 4 miliar orang terpapar pada kondisi lingkungan yang sangat rentan. Para pakar lingkungan menegaskan, ”waktu hampir habis”.
La Nina seyogianya menjadi isu politik yang tak kalah mendesak dari isu lain, seperti pemilu. Kita dari waktu ke waktu, tentu bersama negara lain, secara konsisten mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk meredam potensi dampak bencana. Kalau La Nina menguat, potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, berada di depan mata. Sebagai bangsa pembelajar, kita buktikan komitmen dan kesungguhan kita.