Banjir Rob Berpotensi Terjadi Lagi, Masyarakat Pantura Jateng Diminta Siaga
Pasang air laut pada 30 Mei-7 Juni dikhawatirkan memicu banjir rob di pesisir utara Jateng. Masyarakat diminta waspada. Pemerintah setempat menyiapkan upaya konkret menyelesaikan persoalan rob.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Masyarakat di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah diminta mewaspadai banjir rob yang berpotensi terjadi pada 30 Mei-7 Juni 2022. Sementara itu, pemerintah berupaya menyiapkan solusi jangka pendek hingga panjang untuk mengatasi banjir rob yang kerap melanda.
Pusat Meteorologi Maritim mengeluarkan peringatan dini terkait adanya peningkatan ketinggian air laut yang dipicu oleh adanya fase bulan baru pada 30 Mei-7 Juni. Akibat peristiwa tersebut, banjir rob berpotensi terjadi di sejumlah wilayah, salah satunya pesisir utara Jateng.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Maritim Semarang, Ganis Eru Tjahjo, menyampaikan, kondisi gelombang hingga sepekan mendatang relatif tenang. Ketinggian air pada puncak pasang diperkirakan 0,1-0,5 meter dengan kecepatan angin 2-10 knot. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian gelombang pada puncak pasang, 23-24 Mei lalu, yakni 1,25-2,5 meter, dengan kecepatan angin mencapai 20 knot.
Meski kemungkinan tinggi gelombang tidak seperti pada awal pekan lalu, menurut Ganis, masyarakat pesisir tetap perlu waspada. Sebab, pasang air laut itu biasanya terjadi pada bulan baru dan bulan purnama.
”Ditambah lagi, saat ini ada peristiwa Perigee atau jarak terdekat antara Bumi dan Bulan yang dikhawatirkan berdampak pada peningkatan muka air laut,” ujar Ganis, Senin (30/5/2022), di Semarang.
Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Heri Andreas menyebut, banjir rob parah yang terjadi di pesisir utara Jateng dipicu oleh adanya penurunan muka tanah yang dibarengi dengan kenaikan muka laut. Adapun faktor lain, seperti pasang surut laut, gelombang tinggi, dan Perigee, merupakan faktor penambah.
”Land subsidence atau penurunan muka tanah merupakan faktor utama pemicu banjir rob, yang kemudian diamplifikasi oleh gelombang tinggi, serta diperparah oleh tanggul yang jebol,” katanya.
Laju penurunan muka tanah di Semarang, Pekalongan, dan Demak berkisar 10-20 sentimeter per tahun. Adapun peta Sea Level Rise atau peningkatan muka laut yang diperoleh dari Satelit Altimetry menunjukkan adanya kenaikan sekitar 6 milimeter per tahun. Menurut Heri, hal ini sangat mengkhawatirkan.
Heri menyarankan pemerintah di wilayah pesisir untuk mengaudit tanggul-tanggul laut di wilayahnya. Selain itu, perlu juga adanya upaya menekan laju penurunan muka tanah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menghentikan penggunaan air tanah yang berlebihan.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui, tingkat penggunaan air tanah oleh masyarakat dan industri di wilayahnya masih sangat tinggi. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap air tanah, pihaknya berkomitmen untuk terus menyosialisasikan penggunaan air dari perusahaan air minum daerah (PDAM).
”Secepatnya kami akan menggelar rapat koordinasi dengan berbagai pihak untuk mengatasi hal ini. Pemerintah Provinsi Jateng akan kami libatkan karena kewenangan penindakan penggunaan air tanah ada di mereka. Kemudian, PDAM juga akan kami libatkan karena yang menyuplai air adalah mereka,” tutur Hendrar.
Hendrar menambahkan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah upaya, baik jangka panjang maupun jangka pendek, untuk mengatasi banjir rob di wilayahnya. Upaya jangka pendek adalah mengingatkan masyarakat di kawasan pesisir untuk selalu memperbarui informasi cuaca dari BMKG dan mengikuti saran yang dianjurkan dalam peringatan tersebut.
Penurunan muka tanah merupakan faktor utama pemicu banjir rob, yang kemudian diamplifikasi oleh gelombang tinggi, serta diperparah oleh tanggul yang jebol. (Heri Andreas)
Selain itu, Hendrar juga meminta perusahaan atau lembaga yang memiliki tanggul-tanggul laut untuk memastikan ketahanan tanggul mereka. ”Kalau ada kerusakan, mumpung sekarang gelombang pasang sedang tidak tinggi, bisa dilakukan perbaikan atau diperkuat supaya tidak kejadian seperti pekan lalu,” ucapnya.
Adapun upaya jangka panjang yang dimaksud Hendrar adalah pembangunan tanggul laut yang ditargetkan selesai pada 2023. Pengerjaan tanggul laut yang memerlukan anggaran hingga Rp 300 miliar itu akan dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana.
Pembangunan tanggul laut itu, disebut Hendrar, akan seiring dengan pembangunan tol yang membentang dari Demak hingga ke Kendal. Selain itu, Hendrar juga berharap penanaman mangrove di kawasan pesisir digencarkan. Sebab, mangrove mampu menahan limpasan air laut ke daratan.