Saat jadi Ketua G-20, Indonesia sadar ada rivalitas negara-negara besar. Rivalitas itu kini jauh lebih keras. Perlu upaya level tinggi agar imbasnya ke G-20 diminimalkan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Saat Presiden Joko Widodo menerima palu estafet keketuaan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Roma, Italia, 31 Oktober 2021, Pemerintah Indonesia sadar akan tantangan di depan. Tak hanya kompleksitas upaya pemulihan dunia dari pandemi Covid-19, tetapi juga rivalitas negara kekuatan utama dunia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada November 2021 menyebut rivalitas itu menajam.
Namun, saat itu ada hawa optimisme, rivalitas itu dapat dikelola menjadi dorongan kerja sama. Hingga awal Februari 2022, situasinya tampak terkendali meski sudah ada ketegangan Rusia-Barat di Eropa, ditandai mobilisasi pasukan dan persenjataan oleh kedua pihak. Lalu, meletuslah peristiwa 24 Februari 2022, hari pertama Rusia melancarkan serangan militer—dalam bahasa Presiden Rusia Vladimir Putin disebut ”operasi militer khusus”—ke Ukraina.
Sejumlah pengamat internasional menyebut momen itu sebagai ”titik balik kritis” dalam sejarah dunia. Sebagian menjadikannya penanda ”pasca-akhir Perang Dingin”. Semacam tutup buku dari era pasca-Perang Dingin. Akhir dari Akhir Sejarah (end of The End of History), tulis Francis Fukuyama, mengutip judul buku terkenalnya, di Financial Times.
Melihat skala dampak dan efek global yang ditimbulkannya, krisis di Ukraina merembet ke mana-mana, termasuk terhadap Keketuaan G-20 Indonesia tahun ini. Efek bola liar krisis Ukraina bahkan menjalar ke Jakarta, sebelum serangan Rusia, pada sidang menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20, 17-18 Februari lalu, saat sebagian delegasi ingin memasukkan isu Ukraina dalam komunike bersama.
Seperti diberitakan harian ini, urusan penyelenggaraan G-20 kini mulai pelik, sensitif, dan politis. Indonesia berada di antara tarik-menarik kepentingan negara-negara yang berkonflik. G-20 beranggotakan 19 negara kekuatan dunia, termasuk yang kini berseteru dalam isu Ukraina, yaitu Rusia, Inggris, Amerika Serikat, serta China, plus Uni Eropa.
Di Jakarta, hawa rivalitas terasa lewat perang pernyataan perwakilan negara yang bersitegang. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, menyebut rivalitas mereka memasuki ”permusuhan ideologis”. Ada upaya saling menihilkan di G-20. Jika kubu sebelah diundang, kubu lainnya tak mau datang.
Harus ada upaya tingkat tinggi agar bola liar efek krisis Ukraina terhadap G-20 bisa diminimalkan. Pada tataran diplomasi, sudah waktunya ditangani di level kepala negara. Ini sudah diawali dengan komunikasi Presiden Joko Widodo dengan Presiden China Xi Jinping, Rabu (16/3/2022). Perlu dilanjutkan dengan komunikasi langsung dengan pemimpin G-20 lain, terutama negara-negara yang berkonflik di Ukraina, untuk menjelaskan posisi Indonesia.
Dengan tingkat kerumitan lebih tinggi, inilah saatnya mengelola rivalitas itu, untuk dijadikan dorongan kerja sama. Jika berhasil, Keketuaan G-20 Indonesia akan ditorehkan dalam sejarah dengan tinta emas.