Pertikaian Isu Ukraina di Sidang G-20, Ujian Awal Indonesia Mengelola Rivalitas
Sidang Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20, yang digelar Indonesia, pekan ini, diwarnai pertikaian soal isu konflik Ukraina. Ini menjadi ujian awal atas kemampuan Indonesia mengelola rivalitas di G-20.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertikaian soal ancaman invasi Rusia ke Ukraina mewarnai sidang para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20, yang digelar Indonesia secara daring maupun luring di Jakarta, Kamis dan Jumat (18/2/2022). Hal itu menjadi ujian awal atas kemampuan Indonesia dalam mengelola rivalitas negara-negara anggota G-20 selama menjalankan peran keketuaan G-20 sepanjang tahun ini.
Seperti dilansir kantor berita Reuters, Sabtu (19/2/2022) pagi, isu tentang ancaman invasi Rusia itu diangkat Menteri Keuangan Kanada Chrystia Freeland. Ia hadir secara daring dari Ottawa, Kanada. Rusia dan China menghadang upaya sebagian delegasi memasukkan isu konflik Ukraina dalam komunike bersama.
Beberapa sumber dalam Pertemuan Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G-20 mengungkapkan, Rusia dan China keberatan dengan penyebutan ”ketegangan-ketegangan saat ini” dalam draf awal komunike. Komunike final hanya menyatakan, ”Kami juga akan terus memantau risiko-risiko utama global, termasuk dari ketegangan-ketegangan geopolitik yang muncul serta kerentanan-kerentanan ekonomi makro dan keuangan.”
Setelah sidang berakhir, sejumlah bursa saham di Eropa jatuh, dipicu oleh kekhawatiran bahwa invasi Rusia ke Ukraina semakin dekat. Kekhawatiran itu muncul setelah kelompok separatis dukungan Rusia mengumumkan evakuasi warga secara besar-besaran dari wilayah yang memisahkan diri di Ukraina timur.
Isu Ukraina sempat diangkat Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan sidang, Kamis. Isu tersebut disampaikan Presiden guna mengingatkan negara-negara anggota G-20 lainnya untuk menghentikan rivalitas. ”Dalam situasi ini, bukan saatnya untuk rivalitas. Bukan saatnya membuat ketegangan baru yang membahayakan keselamatan dunia, sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini,” kata Presiden.
”Kita harus fokus untuk bersinergi dan berkolaborasi menyelamatkan dan membangkitkan dunia tempat kita hidup untuk segera bangkit kembali, pulih kembali,” lanjut Presiden dalam pidatonya.
Ketegangan di Ukraina meningkat sejak November 2021 saat Amerika Serikat dan Ukraina mengungkapkan adanya pengerahan pasukan Rusia ke perbatasan Ukraina. Lebih dari 100.000 anggota pasukan Rusia disiagakan di perbatasan dengan Ukraina. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga menyiagakan pasukan dan persenjataannya di negara-negara dekat Ukraina dan Rusia.
AS dan NATO menuding Moskwa tengah menyiapkan invasi ke Ukraina. Rusia membantah tudingan itu dan mengklaim haknya untuk menggerakkan pasukan di mana pun di wilayah negaranya. Ketegangan meningkat sejak Kamis (17/2/2022) saat baku tembak artileri antara pasukan Ukraina dan separatis pro-Rusia semakin intens di Ukraina timur. Pasukan separatis mengumumkan evakuasi hingga 700.000 warga sipil ke Ukraina.
Peringatan keras Kanada
Dalam sidang Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G-20, menurut dua sumber Reuters, Menteri Keuangan (Menkeu) Kanada Chrystia Freeland menyampaikan peringatan dengan penuh semangat kepada koleganya dari Rusia agar Rusia tidak menginvasi Ukraina. Perempuan yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri Kanada itu mengarahkan secara langsung pernyataannya kepada Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov dan Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina.
Kepada keduanya, Freeland memperingatkan bahwa Rusia akan menghadapi sanksi-sanksi yang berat jika menyerang Ukraina. ”Jika Ukraina diserang, keseluruhan ekonomi dan seluruh warga kami akan menderita,” ujarnya. ”Sanksi-sanksi ekonomi terhadap Rusia bakal dijatuhkan secara cepat. Negara-negara yang berpikiran sama telah sepakat mengenai tindakan ini. Kami bersatu dan bersikap tegas.”
Jubir Freeland, Adrienne Vaupshas, tidak memberikan respons saat akan dimintai komentar oleh kantor berita Reuters mengenai pernyataan Freeland dalam sidang Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G-20. ”Jangan melukai diri sendiri dengan melakukan hal (invasi) itu,” kata Freeland, seperti diungkapkan beberapa sumber Reuters. ”Jangan membahayakan kami semua di sini, termasuk secara ekonomi.”
Delegasi Rusia, menurut sumber tersebut, merespons pernyataan Freeland dengan mengatakan bahwa berbagai laporan tentang ancaman invasi Rusia itu sebagai ”kabar bohong”. Pertikaian mengenai isu krisis Ukraina, ditambah perbedaan pandangan mengenai isu utang negara-negara miskin, menyebabkan penyelesaian komunike molor beberapa jam.
Freeland disebutkan menyampaikan salah satu penggalan pernyataannya dalam bahasa Rusia. Lahir di Ukraina, perempuan berusia 53 tahun itu fasih berbahasa Rusia. Ia pernah menjadi wartawan Financial Times, menjabat Kepala Biro Moskwa.
”Anda mungkin berpikir bahwa sebagian dari kami di sini, negara-negara demokrasi yang berpikiran sama. Anda mungkin berpikir bahwa negara-negara demokrasi itu lemah. Tetapi, jangan meragukan kami dan jangan meragukan langkah kami,” tegas Freeland dalam bahasa Inggris.
Berkat penolakan Rusia dan China, isu Ukraina tidak masuk dalam komunike. Seperti diberitakan, para delegasi pemangku kebijakan moneter dan fiskal negara-negara anggota G-20 sepakat bahwa selain kebijakan pemulihan yang terkalibrasi dengan baik, peringanan utang negara miskin menjadi kunci ketahanan dan stabilitas dunia menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Sebagai pemegang tampuk presidensi, Indonesia menjembatani kesepakatan yang terbentuk pada hari kedua pertemuan pertama tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Seusai pertemuan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, dalam rangka mendukung stabilitas ekonomi makro, G-20 berkomitmen menerapkan kebijakan moneter yang terkalibrasi, terencana, dan terkomunikasikan dengan baik.
Kelola rivalitas
Potensi rivalitas di kalangan negara-negara G-20 telah diperkirakan jauh-jauh hari oleh Pemerintah Indonesia. Dalam wawancara dengan Kompas, November 2021, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan, menjelang Indonesia memulai tugas sebagai Ketua G-20, rivalitas kekuatan-kekuatan utama dunia semakin menajam.
Sejumlah pihak mengungkapkan kekhawatiran atas dampak rivalitas tersebut. Selain rivalitas AS-China, ketegangan kawasan yang meningkat akibat sengketa di Laut China Selatan, konflik China-Taiwan, kemunculan aliansi militer AUKUS, dan ketegangan di Semenanjung Korea, akhir-akhir rivalitas itu bertambah dengan meningkatnya ketegangan di Ukraina antara Rusia dan negara-negara Barat.
Retno dalam wawancara tersebut melihat, rivalitas kekuatan besar akan tetap terlihat di antara anggota G-20, organisasi negara pengendali 85 persen produk domestik bruto (PDB) global. Menurut Retno, sebagai Ketua G-20, Indonesia mencoba mengelola berbagai rivalitas itu dengan mendorong kerja sama. (REUTERS)