Nanda Fauzy Matondang, Menangkal Narkoba lewat Rumah Baca
Lahir dan besar di lingkungan bandar dan pencandu narkoba mendorong Nanda Fauzy Matondang untuk melakukan perubahan. Lewat Rumah Baca Rambutan, dia mengajak anak-anak dan remaja untuk lebih sibuk mengembangkan diri.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Tak ingin anak-anak terjebak dalam kubangan narkoba, Nanda Fauzy Matondang membuka Rumah Baca Rambutan. Dia mempersilakan anak-anak untuk membaca dan belajar bersama. Nanda juga mengajar mengaji anak-anak tersebut setiap selepas maghrib, sebuah kebiasaan yang sudah lama hilang di kampung itu.
Malam itu, Rabu (13/4/2022), Nanda tak bisa lebih lama mengobrol lantaran aharus segera balik ke Rumah Baca Rambutan di Gang Rambutan, Kelurahan Bandar Selamat, Medang Tembung, Kota Medan, Sumatera Utara. Sebab, anak-anak sudah menunggu untuk tadarus bersama. ”Setiap Ramadhan inilah kami menggalakkan baca Al Quran bersama,” ujarnya.
Rumah Baca Rambutan sebenarnya rumah tinggal Nanda. Selepas ayahnya berpulang pada Maret 2018, Nanda tinggal sendirian di rumah itu. Ibunya telah berpulang ketika Nanda masih berumur lima tahun. Di rumah baca ini terdapat sedikitnya 400 buku berbagai jenis, mulai dari buku pelajaran sekolah, dongeng, gambar, novel, cerpen, hingga buku puisi. Kehadiran rumah baca ini menjadi amat kontras dengan kondisi lingkungan di sana.
Kelurahan Bandar Selamat, termasuk di dalamnya Gang Rambutan, dihuni oleh orang-orang yang berada dalam kelas ekonomi menengah ke bawah. Banyak warganya yang bekerja serabutan atau pengayuh becak. Ayah Nanda seorang pengayuh becak.
Tempat ini juga terkenal sebagai sarang bandar narkoba. Anak-anak sekolah dasar sudah mulai merokok bahkan narkoba dari jenis ganja lalu mereka yang berusia remaja mulai bersentuhan dengan sabu. Polanya sama dengan yang terjadi di banyak tempat lain.
Mulanya mereka penasaran lalu mencoba karena melihat yang lain melakukan itu. Pelan tapi pasti, mereka terjerat. Dari mana mereka bisa mendapat uang untuk membeli narkoba yang harganya ratusan ribu? Biasanya mereka berperan sebagai perantara antara pembeli dan bandar lalu mendapat komisi entah berubah sabu atau uang yang bisa digunakan untuk membeli sabu.
Nanda mengamati para remaja dan anak muda di sana sulit terhindar dari narkoba jika tidak mencari lingkungan pergaulan di luar. Kebetulan Nanda diasuh bibinya dan bisa sekolah di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan yang memungkinkan dia bisa lebih banyak bermain di luar kampung sehingga selamat dari rayuan narkoba. Tapi itu tetap menyisakan kegelisahan dalam diri mahasiswa hukum Universitas Medan Area itu. Dia ingin, anak-anak yang belum mengenal narkoba mendapat benteng yang kuat sehingga bisa selamat.
Namun, dia belum menemukan jawabannya, hingga tahun 2017 ketika ikut kegiatan Indonesia Membaca di Kabupaten Karo. Di sana dia dan teman-temannya membuat rumah baca di empat titik di pelosok Kabupaten Karo seperti di Juhar, Tiganderket, Sibolangit, dan Sukandebi. Empat daerah ini sulit dan bahkan ada yang sama sekali tidak bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat saking pelosoknya. Meskipun tidak diurus maksimal karena para penggeraknya adalah mahasiswa yang sibuk dengan jadwal kuliah, Nanda melihat rumah baca itu berdampak signifikan bagi anak-anak di pelosok. Mereka jadi suka membaca dan mempunyai kegiatan lain yang positif.
Dia lalu berpikir untuk mendirikan rumah baca di kampungnya agar anak-anak mempunyai pengetahuan yang luas dan bisa bersikap untuk menolak narkoba. Dia juga ingin rumah warisan orangtuanya itu berguna. Dalam bahasa Nanda, menjadi amal jariyah bagi kedua orangtuanya yang sudah tiada. Nanda pun berdiskusi dengan rekan-rekannya yang kemudian mendukung rencana itu. Lewat media sosial, Nanda menjaring donatur buku. ”Kadang ada kawan yang punya buku tapi tak sempat kirim, awaklah yang nyamperin ke rumah dia,” kata Nanda tentang cara dia mengumpulkan buku-buku untuk Rumah Baca Rambutan.
Ingin jadi polisi
Nanda sebenarnya ingin jadi polisi. Dengan tinggi badan 174 sentimeter dan berat badan 77 kilogram, dia merasa memenuhi syarat. Bagi dia, menjadi polisi itu keren karena bisa menolong banyak orang, termasuk orang-orang di kampung dia. Tapi sering kali keinginan tidak datang secepat yang diharapkan. Dua kali mendaftar, Nanda gagal. Untuk sementara, dia memendam keinginan itu sembari menuntaskan kuliah. ”Masih ingin mencoba lagi,” kata Nanda yang berencana mendaftar menjadi polisi ketika lulus kuliah nanti.
Selain fokus kuliah, sekarang dia fokus membesarkan Rumah Baca Rambutan. Setidaknya sudah ada 75 anak-anak usia sekolah dasar hingga usia sekolah menengah pertama yang rajin bergabung di Rumah Baca Rambutan. Ini amat menggembirakan, bukan hanya bagi Nanda, melainkan bagi banyak orangtua dan bandar narkoba di sana. Mereka tidak pernah mengganggu kegiatan di Rumah Baca Rambutan. Bahkan, ada bandar yang beberapa kali menyumbang dana untuk kegiatan tertentu di Rumah Baca Rambutan. Beberapa remaja pengguna narkoba pun kadang ikut bermain dan membaca di sana.
Rumah baca ini juga yang Nanda jadikan pengobat rindu terhadap tradisi mengaji di malam hari selepas maghrib. Sudah lama dia tidak melihat anak-anak berkumpul di mushala untuk mengaji bersama sebagaimana yang dia alami ketika masih belia. Dia lantas mengumpulkan anak-anak untuk mengaji bersama surat-surat pendek Al Quran. ”Kami ajari yang besar nanti mereka ngajari adik-adiknya,” ujar Nanda menjelaskan tentang cara dia dan kawan-kawannya mengader pegiat Rumah Baca Rambutan.
Tidak mudah untuk menarik minat anak-anak membaca atau mengaji karena godaan tontonan di ponsel demikian. Nanda lalu mengiming-iming mereka dengan makanan ringan. Anak-anak yang bersedia datang dan mengaji dia kasih makanan ringan. ”Murah, cuma gopek harganya. Tapi kalau kami yang kasih, mereka senang meskipun mereka bisa beli sendiri,” ujar Nanda. Ada rasa kebersamaan ketika anak-anak itu makan makanan yang sama di tempat dan waktu yang sama.
Nanda paham, banyak orangtua tidak mampu menyekolahkan anak mereka dengan layak lantaran mereka pun kesulitan finansial. Misalnya, ada seorang anak yang ibunya hanya buruh cuci dengan upah Rp 30.000 per hari, sementara ayahnya lebih senang menghabiskan uang untuk narkoba. Padahal, dia punya empat anak yang harus dihidupi. Nanda lalu membantu anak tadi untuk mendapat keringanan uang sekolah dengan mendatangi pengelola sekolah. Akhirnya, dia bisa bebas uang SPP. Setidaknya sudah tiga anak yang Nanda bantu.
Rumah Baca Rambutan masih belia. Nanda berharap aktivitas sosial yang dia rintis ini berumur panjang dan bisa mengubah wajah murah kampungnya. Dia memerangi narkoba dengan memperkuat karakter dan memperbanyak bekal ilmu anak-anak di sana.
Nanda Fauzy Matondang
Lahir: Medan, 23 Januari 1996
Pendidikan: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Medan Pendiri Rumah Baca Rambutan
Penghargaan:
Pemuda paling Inspiratif dan Berpengaruh se-Kecamatan Medan Tembung 2021 yang dinobatkan oleh Camat Kecamatan Medan Tembung.