Dihqon Nadaamist, Bersih-bersih Menyambung Harapan
Demi membantu anak putus sekolah, Dihqon Nadaamist (24) membuat usaha pembersihan rumah. Lewat perusahaannya, Clean Sheet, ia membiayai 30 karyawannya bersekolah SMA atau kuliah untuk memperbaiki masa depan mereka.

Dihqon Nadaamist, pendiri Clean Sheet, usaha jasa pembersihan rumah dan kantor di Bogor, Jawa Barat.
Demi membantu anak putus sekolah atau drop out (DO), Dihqon Nadaamist (24) membuat usaha pembersihan rumah. Lewat perusahaannya, Clean Sheet, ia membiayai 30 karyawannya bersekolah SMA atau kuliah untuk memperbaiki masa depan mereka.
Awalnya, usaha bersih-bersih itu untuk menambal biaya hidup Dihqon. Saat itu, tahun 2018, ia kuliah semester tujuh di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Bogor, Jawa Barat. Penerima Bidikmisi (bea siswa dari pemerintah untuk siswa tak mampu) itu sudah kehabisan uang, sementara uang dari Bidikmisi sebesar Rp 600.000 baru cair dua minggu lagi. Untuk mencari uang, ia menawarkan jasa pembersihan rumah. Dengan sisa uang di kantong sebesar Rp 100.000, Dihqon membuat rencana usaha pembersihan rumah yang ia tulis di atas karton manila, serta membeli sikat, lap, alat pel, dan sabun.
Orang pertama yang ia datangi adalah Prof Dr Iis Diatin, dosen wirausaha IPB. Iis mau memperkerjakan Dihqon dan memberi saran untuk pembuatan poster usaha jasa pembersihan yang ia bawa. ”Selain mendapat masukan usaha itu, saya mendapat uang jasa membersihkan rumah beliau, Rp 300.000-Rp 400.000. Lupa persisnya,” tutur Dihqon, akhir Maret lalu, di Bogor.
Saat menerima honor, Dihqon bergumam, kok enak ya. Bekerja sekitar empat jam, mendapat makan, uang honor, dikenalkan ke relasi, mendapat masukan soal bisnis. ”Dari situ saya berpikir, mengapa tak buka bisnis pembersihan rumah,” ujarnya. Tak ingin mendapat rezeki sendirian, ia mengajak mahasiswa IPB sesama penerima Bidikmisi ikut dengannya. Pembersihan mulai dari halaman, membuang sampah, membersihkan lampu sampai dapur dan kamar mandi.
Awalnya, ia bekerja empat hingga lima hari per minggu, tetapi jadwal kuliah makin padat. Sementara para dosen yang sibuk mengajar sehingga kerap tak sempat membersihkan rumah secara tuntas makin butuh jasanya. Ia pun makin banyak mengajak kawan mahasiswa. Di sisi lain, untuk menambah keterampilan dalam pembersihan rumah, anak bungsu dari dua bersaudara itu mulai belajar dari Youtube. Perkenalannya dengan seorang karyawan perusahaan jasa pembersihan kantor makin menambah pengetahuan tentang bisnis tersebut. Tahun 2019, ia resmi mendirikan Clean Sheet.

Dihqon Nadaamist pendiri Clean Sheet, usaha jasa pembersihan rumah dan kantor, saat ditemui di Bogor, Jabar, akhir Maret lalu.
Tak mudah bagi Dihqon membesarkan usaha, apalagi setelah lulus sarjana ia langsung melanjutkan studi di Magister (S-2) Jurusan Ilmu Ekonomi IPB University. Nasib baik berpihak kepadanya. Di awal pandemi, ia melihat unggahan presenter Shahnaz Haque di akun Instagramnya yang mau mengiklankan UMKM secara gratis. Berkat unggahan Shahnaz, kliennya bertambah banyak. Shahnaz juga mengenalkan Clean Sheet ke pemilik rumah berukuran besar sehingga usaha Dihqon justru tumbuh pesat di masa pandemi. Kini Clean Sheet konsentrasi ke pembersihan rumah dan kantor.
Sejak berdiri, pemuda asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu sudah merekrut 200 anak putus sekolah dan mahasiswa penerima program Bidikmisi usia 18-25 tahun menjadi mitra kerja (karyawan). Sesuai niatnya, ia tak hanya mencari uang dan memberi pekerjaan anak putus sekolah. Mitra yang berniat melanjutkan sekolah, ia seleksi dan beri bea siswa untuk biaya sekolah atau kuliah sampai lulus. Tiga tahun ini 30 mitranya ia beri beasiswa untuk meningkatkan pendidikan.
Selain disekolahkan di kejar paket C (setara SMA), para mitra ada yang kuliah di IPB University Bogor, Universitas Ibnu Chaldun, Universitas Pakuan Bogor, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Pamulang, BSI, sampai Universitas Tujuh Belas Agustus Bekasi.
Selain itu, ada juga mitra yang menempuh pendidikan manajemen, kepemimpinan dari Clean Sheet. Besaran bea siswa yang mereka terima dari Rp 1 juta sampai Rp 8 juta per tahun, di luar gaji sebagai karyawan. Guna mendukung para mitra bisa tetap sekolah dengan baik, Dihqon mengatur cara kerja mereka lebih fleksibel. Bahkan, bila diantara mitra yang masih sekolah atau kuliah harus mengadapi ujian, perusahaan memberikan masa cuti selama seminggu agar mereka bisa konsentrasi ke ujian.
Tak ingin mendapat rezeki sendirian, ia lalu mengajak mahasiswa IPB sesama penerima Bidikmisi ikut dengannya. Pembersihan mulai dari halaman, membuang sampah, membersihkan lampu sampai dapur dan kamar mandi.
Jatuh bangun
Dorongan terbesar Dihqon untuk serius mendirikan Clean Sheet sesungguhnya datang saat ia bertemu temannya saat SMP di Pekalongan. Kawannya itu bersekolah sampai lulus SMP. Ia tak bisa melanjutkan sekolah karena orangtuanya amat miskin. ”Sampai sekarang ia masih tetap menjadi buruh di perusahaan batik. Penghasilannya tak seberapa. Itu membuat saya sedih. Seandainya ia melanjutkan sekolah seperti saya, mungkin kehidupan dia bisa lebih baik,” tuturnya.
Nasib kawan itu jadi perenungannya. Apalagi, ia sendiri sudah merasakan perubahan besar dalam hidupnya sesudah bisa kuliah. Pengalaman jatuh bangun, belajar, dan bekerja keras sampai meraih kesuksesan membulatkan tekadnya mendirikan perusahaan untuk menampung anak kurang beruntung seperti kawan sekolahnya.
”Saya tak ingin melihat orang lain tetap miskin karena tak bisa melanjutkan sekolah,” katanya. Jika bisa membantu anak putus sekolah dengan memberi pekerjaan dan membayar uang sekolahnya, ia berharap bisa membuat keterampilan dan tingkat pendidikan anak-anak yang putus sekolah meningkat sehingga kehidupan mereka akan lebih baik.
Baca juga: Kadri Syahreza, Menyapa Sesama lewat Buah
Perjuangan Dihqon bersekolah juga tidak mudah. Ia lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara dengan ayah seorang buruh pabrik batik dan ibu menjadi guru TK yang bergaji ala kadarnya. Berkat nilai ujian yang selalu bagus, sejak SD sampai SMA ia bersekolah dengan biaya dari bea siswa. Dihqon kuliah di IPB lewat jalur undangan, kemudian mendapat bea siswa Bidikmisi yang menanggung seluruh uang kuliah ditambah uang biaya hidup Rp 600.000 per bulan.
Perjuangan berat Dihqon saat ia diterima masuk IPB dimulai ketika daftar ulang. Dari Pekalongan ke Bogor ia hanya mendapat bekal uang Rp 200.000 dari orangtuanya. Padahal, ongkos naik bus ke Bogor tahun 2015 sudah Rp 90.000. Ia butuh beberapa hari tinggal di Bogor untuk ikut tes Bidikmisi. ”Agar irit, saya tinggal di rumah mahasiswa asal Pekalongan. Untuk naik bus pulang saya bawa baju batik buat dijual,” kata Dihqon. Baju batik itu ia jual kepada dosen IPB yang bertugas pada daftar ulang mahasiswa baru. Salah satunya, Prof Iis.
Berjualan baju batik sempat menjadi pekerjaan Dihqon di awal kuliah. Usaha itu tak bertahan lama sebab ia hanya bisa memasarkan barang kepada para dosen IPB, tak bisa memperluas pemasaran keluar dari lingkaran dosen. Malah kemudian di sekitar kampusnnya banyak orang berjualan batik, membuatnya makin susah menjual dagangan.

Dihqon Nadaamist, pendiri Clean Sheet, usaha jasa pembersihan rumah dan kantor di Bogor, Jabar.
Ia berganti-ganti usaha untuk menambah dana dari Bidikmisi yang tak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, sementara ia tak pernah meminta kiriman uang dari orangtuanya. ”Saya tahu beban hidup orangtua saya sudah berat. Bila ibu menawari mengirimkan uang, saya selalu bilang tidak usah. Uang saya sudah cukup,” kata Dihqon.
Ia kemudian membuka usaha pesanan kaus bersablon dari kawan mahasiswa, tetapi kurang sukses. Ketika melihat teman-temannya di kampus suka jajan, ia lantas menawarkan jasa menerima pesanan kue-kue dan aneka minuman kegemaran mereka. Sehari sebelumnya ia mengirim tawaran ke kawan-kawannya. Ada yang memesan aneka kue, ada juga yang memesan bermacam minuman. Pemuda yang gemar menyanyi itu membelikan pesanan dari luar kampus lalu jalan kaki untuk membawa dagangannya ke para pemesan.
Usaha itu tak berjalan lama sebab banyak pemesan yang kemudian tak membayar pesanannya sehingga menggerus modal Dihqon. ”Awalnya saya tak sadar, tapi suatu hari saya hitung semua yang harus saya bayar ke penjual kue dan minuman, kok uangnya kurang. Saya nombok, ternyata banyak yang tidak membayar. Ya sudah, usaha saya tutup,” katanya.
Gagal dengan tiga usaha, ia tak berhenti berupaya membuka usaha yang lain. Kebetulan ia senang berjalan-jalan ke tempat wisata, terutama curug (air terjun) di wilayah Bogor. Muncul ide, membuat jasa melayani tur tempat tempat wisata dan berbagai curug untuk mahasiswa. Ternyata banyak mahasiswa tertarik. Ia membuka tur untuk seorang tamu sampai rombongan. Jika tamunya hanya satu orang, ia menyewa sepeda motor kawan kosnya untuk mengantar sekaligus menjadi pemandu wisata berbekal pengalamannya datang ke tempat-tempat wisata itu.
Untuk tamu rombongan, ia menyewa angkot untuk membawa para tamu ke tempat yang mereka pilih. ”Rata-rata tarif wisata per orang Rp 500.000 dari pagi sampai sore. Uang itu sudah termasuk transpor dan tiket masuk tempat wisata dan tips buat pemandu. Peminatnya lumayan terutama mahasiswa kaya yang butuh refreshing dari perkualiahan yang padat,” kata Dihqon. Usaha itu amat membantu dirinya menutup biaya hidup, tetapi kewajiban konsentrasi ke kuliah membuat Dihqon menutup usaha.
Ikut lomba
Setelah mendirikan Clean Sheet, kemudian lulus sarjana, Dihqon mulai konsentrasi membangun usahanya itu. Modal awal berupa uang Rp 100.000 ia tambah dari pendapatan yang ia peroleh. Sadar mau tak mau harus terus menambah alat modern yang harganya mahal, ia rajin ikut berbagai lomba kewirausahaan, mulai dari tingkat mahasiswa sampai umum. Ia sering menang dan mendapat hadiah uang dari Rp 10 juta sampai puluhan juta. Semua untuk menambah modal perusahaan.
”Makin besar usaha, kami juga harus terus memperbarui dan mengganti modal kerja sebab ada alat spesialis yang harus kami punya. Misalnya mesin sedot tungau seperti ini, harganya puluhan juta,” kata Dihqon sembari menunjuk ke mesin yang dimaksud. Tampak beberapa alat untuk membersihkan rumah dan kantor tertata di rak penyimpanan peralatan yang berada di kantornya di Kebun Pedes, Bogor.
Makin besar usaha, kami juga harus terus memperbarui dan mengganti modal kerja sebab ada alat spesialis yang harus kami punya. Misalnya mesin sedot tungau seperti ini, harganya puluhan juta.
Pada awal usaha, Dihqon benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya agar bisnis berjalan. Pada awalnya, selain menerima order membersihkan rumah dosen, ia juga menawarkan membersihkan kamar kos para mahasiswa agar tetap mendapat masukan. Belakangan ia sadar, membersihkan kamar kos tak terlalu memberi keuntungan. Mulailah ia memperluas usahanya ke pembersihan rumah saja dan berjalan baik. Saat pandemi, ia dan timnya kesulitan masuk ke perumahan tempat klien tinggal sebab banyak pengurus perumahan menutup pintu dari orang luar guna mencegah penularan virus korona kepada penghuni.
Untuk menembus izin, Dihqon sampai mengaku sebagai pengantar buah dan sayur pesanan kliennya sehingga petugas keamanan perumahan mengizinkan dia masuk. ”Jadi di bagian depan kami bawa aneka sayur dan buah, tetapi di belakang kami taruh alat kerja kami, he-he-he,” katanya sambil tertawa.
Baca juga: Arief Setiawan, Menjadikan Hutan Sumber Penghidupan
Sulitnya mengembangkan usaha jasa pembersihan rumah sempat membuat Dihqon tak bisa konsentrasi ke kuliah. Masa kuliah di program magister mundur dari targetnya dua tahun, tetapi upayanya konsentrasi ke Clean Sheet tak sia-sia. Untuk memikirkan cara pemasaran baru untuk membesarkan usaha, ia sering harus begadang sampai dini hari. Tak hanya itu, demi usaha stabil, ia rela tak menggaji dirinya sendiri selama 1,5 tahun.
”Yang penting mitra bisa gajian. Ketika sedang tak punya duit, saya sering puasa kebetulan sudah biasa berpuasa, he-he-he. Baru pada pertengahan 2020, saya gajian,” ujar Dihqon berterus terang.
Perlahan tetapi pasti keberadaan Clean Sheet makin stabil. Pengorbanan pemuda berkulit sawo matang itu tak sia-sia. Saat ini, Clean Sheet sudah melayani klien pemilik rumah berukuran besar dan perkantoran di seluruh Jabodetabek, bahkan bersiap merambah ke kota-kota besar lain di Pulau Jawa.
Dengan omzet usaha terus bertambah, ia amat berharap bisa mewujudkan mimpinya menyekolahkan 1.000 anak putus sekolah sebelum dirinya berusia 30 tahun.
Dihqon Nadaamist
Lahir : Pekalongan, November 1997
Pendidikan:
- Sarjana Fakultas Ekonomi IPB University
- Alumnus Jurusan Ekonomi Magister IPB University (2022)
Penghargaan (antara lain):
- Best of The Best The Next Dev Tallent Scouting (2021)
- Juara 3 Program Wirausaha Muda Berprestasi Pemula Kemenpora (2021)
- Pemenang Santripreneur Award Katagori Industri, Jasa dan Perdagangan (2020)
- Top 25 Akselerasi Startup Mahasiswa Indonesia Kemenristekdikti (2019)