Kadri Syahreza tak ingin ada warga yang kesusahan makanan. Dia berkeliling ke ratusan masjid di Kota Medan dan sekitarnya untuk menyapa sesama dengan membagikan beragam buah.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Kadri Syahreza
Kadri Syahreza ingin semua orang tidak kekurangan makanan. Lewat program Walking Banana Group, dia bersama rekan-rekannya bergerak menyambangi masjid-masjid untuk membagikan makanan, pakaian, dan buku bagi siapa saja yang membutuhkan. Sejauh ini tak kurang dari 600 masjid di Kota Medan, Sumatera Utara, dia sambangi dan gerakan ini terus membesar seiring banyaknya donatur yang terlibat.
Hari-hari ini, pada 10 hari terakhir Ramadhan, Reza, begitu Kadri Syahreza biasa disapa, keluar rumah sebelum azan Subuh berkumandang. Dia menyusuri jalan-jalan Kota Medan dengan mobil Kijang LS-nya menuju masjid demi masjid di pinggiran kota yang sudah dia data. Sesampainya di sana, dia shalat berjemaah, lalu mempersilakan siapa saja untuk mengambil gula pasir yang sudah dia siapkan di pelataran masjid. Setelah sisa gula dia simpan, Reza lalu mengumumkan agar siapa pun yang mengambil gula tadi hati-hati dalam membukanya. ”Sebab, di dalamnya ada emas,” kata Reza yang seketika ikut bahagia melihat ekspresi mereka yang campur aduk antara gembira dan tak percaya.
Reza sengaja menyelipkan emas seberat setengah sampai 1 gram terbungkus rapi di dalam gula. Itu dia lakukan karena ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang selama ini mungkin hanya berangan-angan ingin punya emas. Program ini dia beri tajuk Miracle of Fajr.Selain gula, dia juga membagikan bahan pokok lain, seperti minyak goreng dan sabun mandi. Program ini menyusul setelah Walking Banana and Fruit pada 2014 dan Walking Banana and Bread pada 2015. Seperti namanya, dua program tersebut membagikan buah-buahan ke masjid-masjid.
Reza menjelaskan, dia memilih masjid sebagai pusat pembagian bahan makanan dan kemudian nanti pakaian serta buku lantaran tempat ini amat strategis untuk memupuk persaudaraan. Dia mengamati banyak orang yang setelah shalat langsung pulang. Setelah dia membagi-bagikan buah atau roti, sekarang mereka duduk sembari mengobrol yang dengan begitu terbangun saling pengertian.
Reza sengaja menyelipkan emas seberat setengah sampai satu gram terbungkus rapi di dalam gula. Itu dia lakukan karena ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang selama ini mungkin hanya berangan-angan ingin punya emas. Program ini dia beri tajuk Miracle of Fajr.
Masjid dia pilih juga karena niat utama orang-orang yang datang adalah beribadah, menjernihkan hati. Jadi, mereka relatif tertib, tidak berebut, karena bukan didorong keserakahan. Misalnya ada yang tidak kebagian, dia ikhlas karena rezekinya mungkin ada di jalan lain. Sepanjang Reza menjalankan kegiatan sosial ini, tidak pernah ada yang berebut.
Menghapus muram
Tahun 2003, Reza yang sarjana akuntansi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STIE Swadaya Medan itu bekerja sebagai operator SPBU di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Setiap sore dia memperhatikan orang-orang yang mampir mengisi bahan bakar selalu dengan wajah muram, seolah kebahagiaannya telah direnggut oleh kesibukan sepanjang hari.
Lalu, Reza berinisiatif membeli sekardus besar apel malang dari Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, dan membagi-bagikannya secara gratis kepada setiap pelanggan di SPBU tempat dia bekerja. Setiap orang tersenyum setelah menerima apel itu. Di situ Reza merasa, orang-orang ini butuh disapa agar tak muram. Lambat laun pelanggan mengidentikkan Reza dengan apel dan, entah ada hubungan langsung atau tidak, omzet SPBU naik.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Kadri Syahreza
Ketika bekerja di perusahaan distribusi bahan bakar minyak dan pindah ke Medan tahun 2008, Reza melanjutkan kegiatan sosialnya itu. Kali ini dia memilih membagikan buah pisang lantaran dia melihat banyak sekali pisang di sepanjang jalan di Bagan Deli sampai Medan Belawan.
Semula Reza meletakkan lima tandan pisang itu di sebuah masjid setiap Jumat. Rupanya banyak orang yang mengambilnya, tapi per sisir. Jumat berikutnya, Reza menyiasatinya dengan memotong menjadi per buah agar lebih merata. Dia senang melihat orang-orang tersenyum dan berterima kasih saat mengambil pisang itu.
Ketika menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 2014, dia menyaksikan betapa jutaan orang di Mekkah itu tak ada yang kehausan ataupun kelaparan. Pemandangan itu menumbuhkan tekad di hati Reza untuk lebih serius berbagi. Setibanya di Tanah Air, dia resmi bergerak di bawah tajuk Walking Banana. Ini bukan organisasi, hanya sebuah gerakan yang sangat cair. Belakangan dia menginsafi mengapa pisang, bukan manggis atau kurma, misalnya. Rupanya karena itulah buah yang paling mudah dia dapat. Ada aspek lokalitas.
Setiap kegiatan sosial itu, Reza foto atau rekam dengan ponsel, lalu membagikannya ke media sosial. Ini bukan untuk pamer, melainkan menyebarkan getaran positif agar yang lain tergerak. Benar saja, dalam waktu singkat, banyak yang menitip dana untuk dibelikan buah dan disalurkan kepada jemaah masjid. Sekarang ini buah yang dibagikan bisa sampai 1 kuintal. Ada juga yang turut turun ke jalan. Mereka juga lalu membuat gerakan serupa di tempat lain. Reza mengibaratkan dia sebagai imam shalat dan diikuti beberapa makmum, lalu para makmum tersebut kini menjadi imam di tempat lain. Ini analogi kebaikan berbuah kebaikan yang lain.
Reza ingin meningkatkan gerakan ini. Dia lalu memilih pakaian bekas yang ada di rumah. Ada baju, celana, topi, tas, yang semuanya tak kurang dari 50 potong. Dia bawah ke sebuah masjid di pinggiran Medan, persisnya di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Dalam 15 menit, semua ludes diambil jemaah yang sebagian besar kaum miskin.
”Senang tapi sedih karena ingin membagi pakaian lagi, tapi tak ada lagi,” kata Reza yang saat itu kemudian mengumumkan kepada beberapa teman yang selama ini aktif bergerak di Walking Banana.
Gayung bersambut. Bantuan mengalir. Reza kini bahkan membuka tempat penampungan di 10 masjid di Kota Medan. Tidak hanya pakaian, dia juga mempersilakan warga menyumbang buku, peralatan dapur, ataupun mainan anak-anak. Semua bantuan itu dia distribusikan sesuai pemetaan karena ada masjid yang jemaahnya lebih berminat dengan buku atau mainan anak-anak. Namun, ada juga yang cenderung memilih bahan pokok dan makanan.
Gerakan yang dilakukan Reza ini juga sebagai kritik terhadap rumah-rumah ibadah yang selama ini membiarkan uang kasnya disimpan di bank, sementara di sekelilingnya banyak orang butuh bantuan. Walking Banana mengajak untuk lebih aktif memakmurkan masjid dengan menyejahterakan jemaahnya.
Kadri Syahreza
Lahir: Medan, 20 Agustus 1979
Pendidikan:
- SD Taman Muda Tamansiswa
- SMP Taman Dewasa Tamansiswa
- SMU Taman Madya
- Jurusan Akuntansi STIE Swadaya Medan
Pekerjaan:
- Staf SPBU di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan (2003-2005)
- PT Elnusa Petrofin, bidang transportasi (2006-sekarang)