Prawoto Indarto, Referensi Kopi dan Teh di Tanah Air
Prawoto Indarto, peneliti mandiri serta penulis buku soal kopi dan teh. Buku-buku karyanya menjadi referensi bagi mereka yang ingin tahu mengenai perkembangan kedua komoditas.
Minimnya literatur soal teh dan kopi di tahun 2000-an membuat Prawoto Indarto (62) bertanya-tanya. Negeri yang memiliki jutaan hektar kebun ini justru tak memiliki buku yang memadai sebagai referensi. Oleh sebab itu, sejak 2007 sudah tujuh buku dia hasilkan, empat buku soal kopi dan tiga buku seputar teh. Karyanya kini menjadi referensi bagi mereka yang ingin tahu seluk-beluk perkembangan kedua minuman itu.
Awal Ramadhan 1443 H, Prawoto Indarto kembali menjejakkan kaki di Malang, Jawa Timur. Beberapa kegiatan terkait kopi ia hadiri, termasuk bedah buku keempatnya, Absolute Coffee. Kegiatan yang berlangsung di salah satu kafe itu diinisiasi oleh pegiat kopi setempat dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Malang.
Pria yang akrab disapa Pak Indarto itu memaparkan isi bukunya. Bagaimana pascapenyakit karat daun, Malang menjadi titik tolak salah satu evolusi perkembangan kopi robusta di Tanah Air, menggantikan arabika dan liberika di pasar dunia pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat internasional.
Berbeda dengan tiga buku sebelumnya, kali ini Indarto lebih banyak berbicara tentang ketelusuran kopi di Jawa Timur (Jatim). Adapun tiga buku lain lebih fokus di Jawa Barat (Jabar), yakni Reborn to Java Preanger Coffee (2012), yang menjadi literatur utama kopi Jabar memperoleh Indikasi Geografi.
Selain itu, ada The Road to Java Coffee (2014) yang diinisiasi oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (Specialty Coffee Association of Indonesia/SCAI)—yang membuka ”penghalang” Jabar sebagai cikal bakal kopi jawa (java coffee). Sementara buku ketiga, Preanger the Land of Coffee (2017), merupakan permintaan Pemerintah Provinsi Jabar.
”Sekarang saya sedang mempersiapkan satu buku lagi soal teh, Java Dance of the Tea. Ini lebih rumit proses pengumpulan datanya dan hampir sama dengan The Road to Java Coffee karena ada beberapa fakta di luar dugaan yang ternyata sudah ada di Indonesia,” katanya dari Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/4/2022).
Sebelumnya, Indarto telah menulis Teh Minuman Bangsa-bangsa di Dunia (2007) dan Real Tea Real Health (2009). Lelaki kelahiran Yogyakarta, 26 Desember 1959, itu juga membantu penulisan buku Kedamaian di Dalam Semangkuk Teh di Chado Urasenke Indonesia (2012).
Di luar tema teh dan kopi, Indarto juga menulis buku Sri Sultan HB IX: Bapak Pramuka Indonesia atas permintaan Ketua Kwartir Daerah Pramuka DI Yogyakarta GKR Mangkubumi dan Jamu: Warisan Budaya Indonesia atas permintaan Indonesia Gastronomy Network.
Masih di tahun 2012, Indarto ditunjuk sebagai kontributor penelitian oleh INRIS dengan topik Understanding Wages in Tea Industry, The Indonesian Case Study. Penelitian ini dilakukan serentak di India, Malawi, dan Indonesia dengan koordinator Oxfam dan Ethical Tea Partnership. Pendanaan berasal dari Unilever, Oxfam Novib, ETP, dan IDH-The Sustainable Trade Initiative.
Menurut Indarto, buku soal teh lahir lebih dulu dari kopi. Ini terjadi bukan tanpa sebab. Sebelum menulis buku, lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta—yang kala itu bekerja di sebuah industri periklanan di Jakarta— itu merasa kesulitan mencari referensi saat ada klien datang.
”Tahun 2003-2004 ada klien yang minta dibuatkan iklan teh. Biasanya, kalau mau presentasi ke klien, kita musti tahu dulu detail product knowledge. Ternyata saya cari literatur soal teh sangat sedikit,” ucapnya. Di perusahaan iklan itu, Indarto memiliki posisi mulai dari membuat story board hingga sutradara dari iklan berwujud film yang dibuat,
Indarto kemudian melakukan eksplorasi dan mengetahui bahwa kondisi teh dalam negeri sedang terpuruk. Pergeseran pasar ke arah teh celup membuat harga komoditas turun. Bahkan, 2000-2007, Indonesia kehilangan lahan teh 8 hektar per hari lantaran harga jual tidak kompetitif, ditambah kenaikan harga bahan bakar minyak kala itu.
Baca juga : Malang Titik Awal Penyebaran Kopi Robusta di Indonesia
Kegiatan eksplorasi ternyata membawa Indarto bertemu dengan sejumlah teman yang kemudian turut mendirikan komunitas Indonesia Teh Lover’s. Buku yang dia buat pun menjadi referensi komunitas sekaligus representasi industri teh Indonesia. ”Sebelumnya, belum pernah ada buku tebal seperti itu,” katanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Indarto berupaya ikut mengangkat citra teh Indonesia. Melalui buku kedua, Real Tea Real Health, dia menyinggung bagaimana teh juga memiliki khasiat terhadap kesehatan. Termasuk juga teh hitam yang mendominasi ekspor teh dari Indonesia.
”Rumor negatif di masyarakat soal teh, misalnya tidak baik minum teh setelah makan, kita tutup dengan data penelitan bahwa itu hanya rumor. Kita naikkan brand-nya,” ujarnya.
Seperti halnya teh, buku mengenai kopi juga lahir dipicu oleh minimnya referensi. Pada tahun 2011/2012, Indarto bertemu pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII di Surabaya yang kemudian meminta dirinya membuat buku terkait kopi.
Namun, setelah melakukan riset dan penelusuran, Indarto mendapati bahwa Jabar merupakan salah satu lokasi awal kebun kopi arabika di dunia. Karena materi buku lebih banyak berbicara tentang Jabar, sponsorship pun bergeser dari PTPN XII ke SCAI. Pada saat yang sama, SCAI memang tengah melakukan pemetaan kopi arabika.
”Buku itu dipakai juga untuk mapping dan gaungnya kemudian luar biasa. ’Geger’ tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga internasional. Pada 2014, kopi Jabar naik daun dan 2016 boleh dibilang menjadi golnya. Di Amerika, Australia, kopi Jabar menang kompetisi dan mulai terkenal,” kenangnya.
Membuat buku soal teh dan kopi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat riset untuk buku The Road of Java Coffee, misalnya, banyak kawan tidak percaya bahwa java coffee adalah legenda dan ikon kopi dunia. Riset dan pengumpulan data sampai lengkap untuk buku itu butuh waktu tiga tahun.
Baca juga : Kala Petani Angkat Pamor Kopi yang Tersembunyi
”Sempat saya diketawain juga sama teman-teman. Mereka menilai saya serius sekali. Referensinya memang sulit. Untuk teh, misalnya, kita hanya punya satu referensi di Gambung (Pusat Penelitian Teh dan Kina). Sumber di sana sekarang juga sudah tidak selengkap dulu karena sudah ada beberapa buku yang rusak,” ujar pria yang suka dengan arabika ini.
Mengingat penelitian yang dilakukan mandiri, Indarto pun harus merogoh kocek sendiri. Bank yang biasanya memberikan bantuan kredit kepada petani belum bisa menjadi solusi. Meminjam dana ke perbankan untuk penelitian sulit terwujud dengan alasan tidak ada skema untuk kegiatan itu.
”Saya sedih, kita sebenarnya riset hulu-hilir kopi jadi satu bagian. Cuma di riset selalu tidak ada dana pendidikan, tidak ada orang yang concern ke penelitian. Contohnya, untuk memanggil fotografer saja deleg-geleg (berat) karena tidak ada dana,” ucapnya.
Oleh karena itu, Indarto bermaksud mengusulkan kepada pemangku kepentingan agar bisa menyisihkan sebagian kecil dari hasil ekspor kopi Indonesia untuk kegiatan penelitian terkait komoditas tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata juga untuk perkembangan dunia kopi dan teh di Indonesia.
Kini, di tengah industri kopi di Tanah Air yang terus menggeliat, jumlah referensi terkait juga terus bertambah. Namun, menurut Indarto, literatur yang ada lebih banyak berbicara soal keterampilan mengolah produk, bukan pada sisi kesejarahan.
Pria yang suka minum teh dan kopi setiap hari ini berharap ke depan kita mesti percaya bahwa Indonesia, terutama Jawa, merupakan penyedia sumber bahan baku, baik teh, kopi, maupun cokelat, kualitas dunia. Jika dikelola dengan bagus, bukan tidak mungkin bahan dari Indonesia menjadi yang terbaik.
”Tahun 2018, beberapa teh kita memenangi lomba di tingkat Internasional. Hampir 30 tahun lebih industri teh kita banyak diarahkan ke komoditas sebagai bahan baku teh celup. Kualitas turun kita, lupa membuat satu specialty. Akhir-akhir ini beberapa teman dari pihak swasta coba buat specialty dan ternyata kita banyak juaranya,” ucapnya.
Baginya, kopi dan teh punya nilai lebih. Keduanya merupakan aset bangsa yang perlu dikomunikasikan lebih masif agar menimbulkan kebangaan terhadap produk Indonesia.
Sebelum menekuni kopi dan teh, Indarto telah banyak mengenyam asam garam di beberapa bidang. Selain membuat film iklan, Indarto muda pernah bermain teater selama duduk di bangku SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan, Yogyakarta.
Bersama kelompoknya, dia sempat keluar sebagai juara, baik di Yogyakarta maupun tingkat nasional, hingga tiga kali di masa Orde Baru. Bahkan, ada beberapa kawan Indarto yang kemudian mendirikan Teater Gandrik.
Tidak hanya itu, dia juga sempat bergabung dengan kesenian musik slendro bersama Didik Nini Thowok dan rekan lain mewakili Yogyakarta dalam ajang Yang Muda Yang Bercanda.
Prawoto Indarto
Lahir: Yogyakarta, 26 Desember 1959
Istri: Sri Wahyuningtyas
Anak: Sekar Arum Romadhani dan Bening Larasati
Pendidikan: S-1 Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta
Pekerjaan: Peneliti mandiri teh dan kopi