Godefridus Meko SVD, Peduli Literasi Anak Pedalaman di Kalimantan Barat
Pastor Fritz Meko SVD mengajar anak-anak di pedalaman Kalimantan dengan cara menulis di tanah, lalu menulis di buku, dan membagikan buku kepada anak-anak. Ia juga menulis 13 buku yang sudah terbit dan 4 buku siap terbit.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Godefridus Meko SVD memiliki kepedulian yang besar terhadap literasi untuk anak-anak di pedalaman Sanggau, Kalimantan Barat. Tak ada pena dan kertas, tanah pun bermanfaat untuk berliterasi. Dia mengajar menulis dengan jari di tanah kepada lebih dari seribu anak yang tersebar di 67 kampung pedalaman.
Sebatang lilin menyala di depan kamar kerja sekaligus tempat tidur Godefridus Meko SVD, yang lebih akrab disapa Pastor Fritz, saat ditemui di Biara Soverdi SVD, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (13/4/2022). Fritz tengah sibuk menyusun buku-buku di rak setelah selesai membaca lima buku siang itu. ”Ya, ini kebiasaan saya. Lilin ini harus tetap nyala sebagai penunjuk jalan hidup,” kata Fritz tersenyum.
Kehadiran Fritz di Kupang untuk menyelesaikan studi doktoral di Institut Agama Kristen Negeri Kupang. Sebelumnya ia bertugas di Kalimantan dan Malang, Jawa Timur. Baginya, karya misi paling terkesan adalah saat melayani masyarakat di pedalaman Sanggau, Kalimantan Barat.
Dalam kurun waktu lima tahun di sana, Fritz menyaksikan cukup banyak warga pedalaman masih buta huruf, termasuk anak-anak usia sekolah. Wilayah tempat tinggal mereka berbatasan dengan Malaysia.
Ia prihatin dengan kondisi itu, kemudian mencari cara paling sederhana, menyelamatkan generasi muda di sana. ”Cara paling sederhana adalah mengajar mereka menulis langsung di tanah dengan jari, memperkenalkan abjad A sampai Z. Salah menulis langsung dihapus. Ternyata mereka cepat hafal setiap bentuk abjad yang dipelajari. Bahkan, mereka cepat merangkai huruf-huruf itu menjadi kata-kata,” cerita Fritz.
Sedikitnya ada 67 kampung di Kabupaten Sanggau yang ia kunjungi, di mana ia mengajar baca tulis. Untuk menjangkau kampung-kampung di pedalaman, Fritz menggunakan sepeda motor trail selama lebih dari empat jam. Perjalanan yang cukup sulit. Apalagi jika cuaca buruk, perjalanan bisa lebih lama lagi.
Anak-anak usia sekolah itu belum menikmati pendidikan dengan baik dan layak. Fritz tergerak hatinya mendampingi mereka yang akan menjadi penerus dan penentu pembangunan di Kalimantan.
Lebih dari 1.000 anak mengikuti kegiatan literasi menulis di tanah. Di satu kampung ada sekitar 20 anak dan remaja berusia 6-17 tahun. Sayangnya, tidak semua anak bisa mengikuti pelajaran karena harus mengikuti orangtuanya di kebun atau berburu ke hutan. Setelah beberapa kali pertemuan, Fritz membawa beberapa kertas berisi tulisan abjad berukuran 40 sentimeter x 30 sentimeter. Tulisan itu digantung di salah satu rumah warga, tempat anak-anak belajar kelompok.
Setelah melihat perkembangan anak-anak, Fritz mulai membawa buku tulis dan pena pada kunjungan berikutnya. Setiap anak diberi dua buku tulis dan dua pena. ”Saya minta mereka mengajarkan juga kepada adik mereka di rumah. Saya juga minta orangtua turut mendorong anak-anak ini agar bisa membaca, menulis, dan menghitung meski sebagian dari orangtua saat itu belum bisa baca dan tulis,” kata Fritz.
Setelah enam bulan, anak-anak ini dibuatkan semacam ujian, yang kemudian diberikan sertifikat ”lulus” berliterasi dasar. Ada yang dinyatakan lulus tiga kategori, yakni menulis, membaca, dan menghitung, tetapi ada pula yang hanya bisa menulis atau menulis dan membaca. Semua anak diberi sertifikat. Sertifikat ini sekadar memacu semangat belajar anak-anak.
Kini, Fritz bisa tersenyum lega apabila melihat ada anak didiknya yang berhasil. Beberapa dari mereka bekerja di perkebunan kelapa sawi, dan perusahaan kayu. Saat itu, mereka tidak mendapatkan pendidikan formal karena sekolah dasar dan menengah belum ada. Mereka yang sempat mengikuti pendidikan formal setelah sekolah hadir kini sudah berhasil menjadi guru, perawat, kepala desa, dan bahkan anggota DPRD.
”Saat itu juga saya ke dinas pendidikan setempat, mendorong mereka membangun sekolah dasar di pedalaman untuk menyelamatkan ribuan anak itu. Setelah sekolah berdiri, saya cari guru-guru kontrak mengajar di sana,” katanya.
Semangat mengajar
Fritz yang sudah lama berkarya di wilayah Kalimantan selalu mendorong semua orang untuk belajar menulis. Selama 14 tahun Fritz menjadi dosen di Institut Pastoral Indonesia Filial Malang Cabang Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Saat itu pula ia mendorong dan melatih sejumlah dosen, biarawan, biarawati, dan anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) untuk menulis dan membaca. Ia membentuk komunitas menulis Palangkaraya, khusus para dosen untuk menulis opini di media massa, sebagai syarat akreditasi jenjang kepangkatan atau golongan kedinasan.
”Saya selalu mengingatkan para dosen, mahasiswa, biarawan, dan biarawati untuk membaca. Lewat membaca, mereka bisa mendapatkan pengetahuan baru untuk disampaikan kepada orang yang dipimpin, dibina, atau diajarkan. Dengan ini, orang tidak bosan mendengar informasi yang disampaikan karena mereka selalu disegarkan dengan informasi baru. Selain itu, otak para pembina atau pemimpin itu pun terus diisi,” kata Fritz.
Alumnus STFK Ledalero Maumere ini mengatakan, tahun 1992 Romo Mangunwijaya (almarhum) ke Maumere, beberapa hari setelah tsunami. Romo Mangun mengingatkan Fritz agar menemukan karakter berkarya; membaca roman, novel, puisi; dan bagaimana berbicara yang berdaya di hadapan orang lain. ”Otonomi pikiran perlu dibentuk dan dibangun,” ujar putra Timor ini.
Orang-orang kreatif bisa menciptakan banyak hal dalam satu jam. Fritz sudah membuktikan itu. Selain melayani umat, dia juga bisa mengajar sekaligus menulis buku. Penulis 13 buku berbagai judul ini mengatakan saat ini sedang menyiapkan satu taman bacaan di Desa Manamas, Kecamatan Naibenu, Timor Tengah Utara, NTT. Taman bacaan ini berada di perbatasan antara perbatasan Wini, Indonesia, dan Timor Leste. Warga di perbatasan Timor Leste akan diusahakan agar bisa mengakses taman bacaan itu.
Bukan hanya mengajar dan menulis buku, Fritz juga menghasilkan rekaman album bersama Ricky Pangkerego. Lima album berupa lagu-lagu rohani dan dua lainnya berisi tentang kritik terhadap masalah sosial dan kemanusiaan. Salah satu lagu karyanya berjudul ”Kembara”. Lagu ini terinspirasi saat menyaksikan langsung konflik antarsuku antara suku Dayak dan Madura pada 2001.
Penulis puisi ”Sang Mesias” ini menyadari, khotbah di mimbar gereja belum bisa menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Di sekitarnya, umat memiliki banyak masalah. ”Ini cara saya berliteras, sekaligus mengajak mereka, termasuk anak-anak, keluar dari keterpurukan. Memang tidak mudah, tetapi harus dimulai. Semoga apa yang saya tanamkan di sana berkembang sesuai harapan,” kata Fritz.