Taswan Sutriadi (53) menghidupkan kesenian sintren banyumasan sejak dua tahun terakhir. Di tengah gempuran modernisasi dan tawaran menggiurkan menjadi TKI, dia mengajak anak-anak muda ikut melestarikan atraksi budaya ini.
Sempat meredup sekitar 20 tahun, kesenian sintren di Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kembali hadir dan membara membakar semangat berkesenian warga. Tabuhan calung pengiring atraksi unik di luar nalar dari penari remaja yang kerasukan indang kembali tersaji menyemarakkan desa yang berada 40 kilometer di sebelah barat pusat kota Purwokerto. Hal itu tidak lepas dari upaya Taswan bersama paguyuban kesenian sintren Laras Kinasih untuk melestarikan kesenian sintren.
”Sulitnya adalah mencari anggota dan paling susah adalah mencari penarinya. Syaratnya pertama harus suci dan yang kedua kadang-kadang anaknya mau, tapi orangtua tidak mengizinkan. Kadang orangtuanya silakan, tapi anaknya tidak mau,” kata Taswan, Jumat (25/3/2022).
Selain itu, kendala lain dalam pelestarian kesenian ini adalah minat pemuda-pemudi setempat yang kurang pada kesenian ini dan cenderung menyukai kebudayaan atau musik-musik dari luar negeri. Bahkan, desa ini serta sejumlah desa tetangga di Kecamatan Gumelar ini dikenal sebagai salah satu kantong tenaga kerja Indonesia. ”Banyak anak-anak mudanya merantau ke luar negeri. Ada yang ke Taiwan, Hong Kong, dan lain-lain,” tutur Taswan.
Taswan merasa tergerak untuk membangkitkan kembali kesenian ini lantaran almarhum ayahanda, Casmudi, yang meninggal pada 2002 pada usia 83 tahun adalah pawang atau dukun sintren di desanya. Taswan yang juga bersekolah di SMKI Banyumas jurusan karawitan dan lulus 1990 ini terdorong untuk menerapkan keterampilannya lewat pelestarian kesenian sintren ini.
”Kesenian ini luar biasa karena penari yang semula pakai pakaian biasa, lalu dimasukkan ke dalam kurungan, itu berubah pakaian. Itu yang mendandani, memakaikan pakaian adalah putri-putri dari khayangan,” kata suami dari Suliati (46) ini.
Dalam dua tahun merintis paguyuban kesenian ini, menurut Taswan, anggotanya silih berganti karena berbagai alasan, misalnya bagi penari sintren kaerna masih remaja dan sekolah, pertunjukan di malam hari dianggap mengganggu studinya. Atau juga alasan lain karena secara finansial menjadi seniman sintren dianggap belum menjanjikan kesejahteraan. Setiap kali manggung, per anggota mendapatkan honor Rp 50.000-Rp 150.000 tergantung berapa banyak saweran yang didapat.
”Dari uang saweran atau tole-tole ini juga kami membeli peralatan buat manggung. Tole-tole sebenarnya menggugah masyarakat untuk berbagi atau berbuat sosial,” ujar Taswan, yang juga ketua RT 003 RW 006 Desa Tlaga ini.
Kegigihan
Jumat malam itu, Taswan bersama paguyubannya yang terdiri dari 22 anggota menggelar pertunjukan kesenian sintren dalam rangka hajatan perkawinan anak dari pasangan Sukiman (48) dan Tumirah (46). Taswan bersama beberapa orang tim perlengkapan sudah menata peralatan calung serta menyiapkan panggung sejak sore hari meski pertunjukan baru dimulai pukul 20.30.
Di antara anggota paguyuban hanya tampak tiga pemudi berusia belasan tahun. Mereka adalah penari sintren Noni Serli Lestari (13), penari bodoran atau penari tambahan Nadiya Dwi Afriyani (14), dan Regina Cintya Arumba (18), penabuh kendang yang juga murid Taswan yang sesekali menggantikan Taswan memimpin orkestrasi calung malam itu. Anggota lainnya, antara lain, para sinden atau melandan dan penabuh calung berusia 40-72 tahun. ”Dulu saya penari bodor, tapi karena sintrennya mundur, lalu saya yang diminta jadi sintren,” tutur Noni, yang bercita-cita menjadi guru.
Menurut Noni, dirinya tertarik menjadi penari sintren karena ingin memberi hiburan bagi masyarakat. Apalagi, kedua orangtuanya mengizinkan dan neneknya dulu juga seorang penari sintren. ”Badan terasa capek, tapi saya tidak sadar karena seperti tidur saat menari,” ujar Noni seusai pentas sintren pada Sabtu (26/3/2022) dini hari.
Taswan mengisahkan, diperlukan kegigihan untuk membujuk sang anak dan orangtuanya supaya mau bergabung dengan paguyuban sintrennya. Dalam sebulan, Taswan mencoba mendekati lima remaja, tapi tiga di antaranya menolak. Salah satu alasannya tidak mendapat restu dari orangtua lantaran khawatir.
Untuk mengajak Noni dan Nadia sebagai penari dibutuhkan waktu setidaknya tiga kali bertandang ke rumahnya. ”Saya bertemu bapak dan ibunya Noni sampai tiga kali. Intinya saya sebagai ketua rombongan bertanggung jawab atas anaknya,” kata Taswan.
Menurut Taswan, umumnya orangtua khawatir jika terjadi hal-hal tidak baik pada anaknya, seperti larut dalam hiburan dunia malam sehingga sekolahnya terganggu. Adapun untuk menjadi penari sintren tidak diperlukan latihan khusus karena penari akan kerasukan roh saat menari. Untuk itu, diperlukan waktu tiga malam untuk menjalankan ritual khusus di tempat yang dikeramatkan.
Selain menampilkan atraksi unik seperti menari di atas sandaran kursi dan tangga, kesenian sintren juga menjadi wadah untuk mengembangkan nilai budaya dan religius di mana terdapat doa-doa memohon keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka. Tidak hanya itu, pelestarian kebijaksanaan hidup juga tersirat dari tembang-tembang yang dilantunkan.
Syair ”Sambel Kemangi” yang dinyanyikan dalam pertunjukan sintren malam itu, misalnya, mengandung wujud syukur atas rezeki kehidupan meski dalam menu makanan yang sederhana.
Enake jangan asem, kecut, sambele kemangi/ mangane bubar nyambut gawe/ senadyan lawuh tempe ning sehat awake/ segere ngombe banyu kendi/ rokok nglinting dewe/ nadyan mung mangan ana desa/ nyatane ayem tentrem kumpul sakeluarga/ Aku nrimo wetone/ pokok seger waras/ kayamu lumpuno kanggo ngragati sawah/ ugo tuku bibit lan rebuke/ mangan saben dinane seoja sambel kemangi.
Demikian terjemahan bebasnya: lezatnya sayur asem, asam, sambal kemangi/ makannya setelah selesai bekerja/ meskipun hanya lauk tempe, tapi badan sehat/ segarnya minum air dari kendi/ rokok melinting sendiri/ meskipun hanya makan di desa, nyatanya hati tenteram kumpul bersama keluarga/ Aku menerima segalanya/ yang penting sehat sentosa/ jerih payahmu dikumpulkan untuk membiayai sawah/ untuk membeli bibit dan pupuk/ makan setiap hari dengan sambel kemangi.
Taswan menyebutkan, sejatinya sintren dulu digelar untuk ritual memohon hujan. Akan tetapi, kini sintren banyak dipakai sebagai seni hiburan untuk memeriahkan hajatan, mulai dari sunatan hingga perkawinan atau ada juga orang yang memiliki nadar tertentu. ”Kami berharap kesenian ini bisa terus diuri-uri supaya anak-cucu kita bisa melihat dan menyaksikannya,” kata bapak dua anak ini.