Ali Zum Mashar, petani wirausaha sekaligus peneliti, bersuara semakin lantang di tengah kenaikan harga kedelai impor, bahan baku industri tempe dan tahu.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Orang yang paling meyakini Indonesia dapat memenuhi sebagian besar atau bahkan seluruh kebutuhan kedelai dari dalam negeri adalah Ali Zum Mashar, petani wirausaha sekaligus peneliti. Suaranya semakin lantang di tengah kenaikan harga kedelai impor, bahan baku industri tempe dan tahu.
Di Pusat Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Bioteknologi Mikroba ”Google” di Kampung Cikutu, Desa Rancasanggal, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, seluas 60 hektar miliknya, pada Minggu (6/3/2022) Ali memamerkan tanaman kedelai setinggi hampir empat meter. ”Ini untuk menunjukkan kedelai lokal bisa tumbuh subur dengan produktivitas tinggi. Supaya tidak ada alasan kedelai di Indonesia tidak bisa memberi hasil tinggi,” kata Ali.
Dengan menggunakan pupuk hayati Miroba ”Google” (Migo) temuannya, Ali menyebut produksi mencapai 3,5 ton kedelai per hektar, tiga kali lipat dari produktivitas umumnya yang rata-rata sekitar satu ton. Hasil itu bahkan lebih tinggi dari produksi rata-rata di salah satu produsen terbesar kedelai dunia, Amerika Serikat, yaitu 2,7 ton.
Ali tanpa tedeng aling-aling mengkritik para intelektual dan tokoh pertanian yang meragukan kemampuan Indonesia memproduksi kedelai. Wakil Ketua Umum Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia ini menyayangkan orang-orang yang masih berpandangan Indonesia tak dapat memproduksi cukup kedelai karena itu tanaman subtropis. Dia membuktikan di kebun penelitiannya di Cikutu, ukuran biji kedelainya bahkan lebih besar dari kedelai impor.
Sejak menemukan Migo yang bernama asli Bio P2000 Z, Ali terus berinovasi dan meneliti. Bio adalah singkatan bioperforasi yang dia ibaratkan membuka celah kehidupan, P dari pupuk, 2000 adalah tahun dia mendapatkan paten dari World Intellectual Property Organization (WIPO) di Swiss, sedangkan Z dari Zum.
Sebagai petani wirausaha, Ali sudah mendapatkan lima paten nasional dan tiga paten internasional melalui WIPO. Dia juga menyebut sudah 21 galur kedelai dan 8 varietas padi lahir dari tangannya beserta tim. Di lahan sawah di Cikutu, hamparan padi Trisakti dengan kemampuan produksi dua kali rata-rata produksi nasional tampak siap dipanen. Padi Trisakti sudah didaftarkan dalam Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dan diserahkan kepada Kementerian Pertanian untuk disebarkan kepada petani.
Mikroba pencari
Dalam percakapan di Cikutu, Ali yang adalah peneliti bioteknologi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengatakan, sejak kecil sudah tertarik pada pertanian dan kehidupan renik yang menyertai. Tempat kelahirannya yang dikelilingi sawah dan kehidupan petani yang belum sejahtera ikut memicu minatnya.
Selepas menyelesaikan pendidikan S-1 pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, dan bergabung di Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH), Ali mendapat lahan subur untuk mengembangkan minatnya.
Saat ditugasi mengawal 600 keluarga petani bertanam padi di lahan gambut seluas 65 hektar sebagai bagian dari Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1997, dia melihat hasil tanaman petani lebih rendah dari potensinya. Sambil menyelesaikan pendidikan doktor dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Institut Pertanian Bogor, naluri Ali terusik melihat ada tanaman dapat tumbuh subur di PLG. Dia kumpulkan tanah di sekitar perakaran tumbuhan itu dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis jenis mikroba di dalam tanahnya.
Perburuan mikroba dilakukan di lahan gambut di Kalimantan hingga lahan dengan kandungan aluminium tinggi di Sumatera Barat. Ada 18 mikroba terdapat di dalam Migo. Dia juga meyakinkan mikroba itu tidak membahayakan lingkungan. “Cara kerjanya seperti mesin pencari Google. Mikroba ini mencari mineral yang tersembunyi di tanah, mengolahnya secara hayati sehingga dapat dimanfaatkan tanaman. Seperti bioaktivator,” papar Ali Zum.
Hasilnya, pupuk hayati itu membantu menaikkan aktivitas sel-sel tanaman, termasuk fotosintesis, dan menyediakan unsur hara yang diperlukan. Produktivitas tanaman meningkat dan penggunaan pupuk buatan dapat dikurangi sehingga membantu menjaga lingkungan. Pupuk hayati itu sudah dicoba di banyak lokasi, antara lain, lahan gambut; bekas pertambangan emas di Kerengpangi, Kalimantan Tengah; di sebagian lahan lumpur Lapindo, Jawa Timur; bahkan di lahan pasir di Arab Saudi dan Qatar. “Setiap tanah mengandung mineral yang dapat diubah oleh mikroba yang tepat menjadi unsur hara bagi tanaman,” kata Ali.
Meneliti dan berbagi
”Sejak dulu tempe adalah makanan rakyat, sumber protein. Kedelai diproduksi di dalam negeri. Saya sudah membuktikan butir-butir kedelai lokal bisa lebih besar, jumlah polong lebih banyak sehingga produktivitas tinggi,” katanya.
Ali pantang berkeluh kesah mnghadapi tantangan pertanian nasional. Tahun 2008 dia menghasilkan 21 galur murni kedelai lokal dengan potensi hasil 3,5 ton per hektar. Tahun 2014 dia menghasilkan padi genjah nonhibrida Trisakti Migo generasi pertama dengan potensi hasil 11 ton per hektar. Dua tahun kemudian lahir 6 galur padi Trisakti Migo generasi kedua yang hasilnya tinggi dan usianya pendek, 60 hari-75 hari.
Cara kerjanya seperti mesin pencari Google. Mikroba ini mencari mineral yang tersembunyi di tanah, mengolahnya secara hayati sehingga dapat dimanfaatkan tanaman. Seperti bioaktivator.
Untuk mendapatkan padi Trisakti generasi kedua, itu, Ali belajar langsung dari Bapak Padi Hibrida Dunia asal China, Yuan Longping, yang datang ke Indonesia menguji coba padi hibrida. Ali mendapat bahan indukan padi steril jantan dari Yuan yang kemudian dia kawinkan dengan padi lokal.
Ali yang tidak pernah berhenti meneliti ini membagikan ilmu bertani ke sejumlah komunitas petani, antara lain, mengajak masyarakat Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara bertumpang sari jagung, nanas dan kopi; di Sumba Timur yang kering memakai padi Trisakti dan Migo. Sebagai peneliti di Kementerian Desa dan PDT, Ali ikut mengupayakan agar masyarakat Kampung Usku dan Molof di Distrik Senggi, Kabupaten Keerom, Papua, yang masih hidup berburu dan meramu untuk menetap dan bertani. “Warga Usku merasa senang karena hasil bertani memenuhi kebutuhan pangan. Mereka mengatakan ingin tetap bersama Indonesia karena hidupnya sudah jauh lebih sejahtera. Ini pendekatan damai,” tambah Ali.
Dia seperti Mikroba ”Google”-nya, akan terus mencari dengan suka cita, menemukan hal-hal baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Tahun 2022 dia menghasilkan kedelai organik setinggi tiga meter dan padi organik penghasil beras merah Trisakti Golden dengan produktvitas 11 ton per hektar. Hidup ini, demikian Ali, penuh keajaiban.
Ali Zum Mashar
Lahir: Demak, 19 Mei 1972
Istri: Nur Kamaliyah
Anak: tiga orang
Pendidikan: S-1 dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; S-2 dan S-3 dari Institut Pertanian Bogor
Penghargaan, antara lain :
- Kalyana Kretya Utama sebagai peneliti terunggul dan terterapkan dari Presiden Megawati Soekarnoputri (2004)
- Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa (2009) dalam bidang teknologi yang dilindungi paten subbidang pangan dengan hasil karya ”Proses Pembuatan Pupuk Bioperforasi dan Proses Yang Diperoleh Dari Proses Tersebut”; Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia Award dan ICMI Award (2021)