Siska Nirmala Bertualang Kampanye Nol Sampah
Lebih kurang delapan tahun terakhir Siska Nirmala mempromosikan konsep nol sampah dalam hidup sehari-hari. Jendala promonya dilakukan di rumah hingga gunung-gunung di Indonesia.
Berada di kawasan Jalan Bima, Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, Toko Nol Sampah jauh dari gemerlap tempat niaga masa kini. Diapit pohon mahoni tinggi besar, bahkan tidak ada plang terpasang. Sederhana. Namun, keberadaannya menjadi satu dari banyak harapan besar Siska Nirmala (34), pemiliknya, untuk dunia yang lebih baik kelak.
Masuk ke dalam toko berukuran 6 meter x 4 meter, puluhan stoples tersusun dalam rak kayu tanpa cat yang menempel di dinding putih. Stoples berukuran 1-5 liter itu terisi beragam produk.
Dinding kiri menjadi tempat bumbu masak, mulai dari garam hingga beragam kaldu. Sabun bubuk dan batang yang dijual grosir juga ada di sana.
Di dinding kanan adalah tempat makanan matang hingga bahan makanan. Ada biji-bijian (multigrain), makaroni, hingga kue muesli dipanggang bukan digoreng.
Penempatan ragam produk dalam stoples kaca besar bukan gaya-gayaan. Hal itu sengaja dilakukan untuk meminimalkan pengemasan. Pembeli juga disarankan membawa wadah sendiri.
”Harapannya, semua produk dan aktivitas jual beli ini bisa meminimalkan potensi munculnya sampah,” kata Siska saat ditemui, Jumat (28/1/2022).
Salah satu produk yang menarik perhatian adalah buah lerak. Bentuknya mirip kacang kenari. Namun, tidak untuk dimakan, lerak digunakan untuk bahan pencuci ramah lingkungan. Kuncinya ada di kandungan saponin dalam busa yang dihasilkan. Tidak heran bila lerak dikenal dengan nama biji sabun (soapnuts).
”Cara menggunakannya sederhana. Bisa langsung direndam atau disimpan dalam wadah sebelum masuk ke mesin cuci,” katanya sembari mengeluarkan lerak dari stoples dan menimbangnya. ”Ini salah satu yang banyak pembelinya,” ujar Siska.
Didirikan September 2020, Toko Nol Sampah jauh dari niat Siska mencari untung. Tempat itu menjadi satu dari sekian jendela mempromosikan konsep zero waste atau meminimalkan sampah. Sudah lebih dari 10 tahun Siska menerapkan gaya hidup itu.
Di negeri ini, konsep itu mungkin belum sepenuhnya populer. Kerap hanya dikenal sebagai salah satu cara memilah sampah, artinya lebih dari itu. Bila diselami, kaitannya erat dengan kebiasaan menyusun perencanaan matang, pola makan, kesehatan, hingga membuka celah bisnis ramah lingkungan.
”Dulu, saya sakit-sakitan, kini membuat tubuh ini lebih sehat. Ternyata mengurangi sampah dengan menata apa yang kita makan ikut memberikan kualitas kesehatan lebih baik,” katanya.
Kisah Siska dengan nol sampah dimulai saat ikut pelatihan sehari tentang zero waste di Yayasan Pendidikan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung tahun 2010. Materinya seperti memilah sampah dengan konsep takakura hingga mengurangi penggunaan plastik.
Akan tetapi, bukan perkara mudah langsung menerapkannya. Orang terdekat di rumah masih mencampurkan semua sampah dalam satu wadah. Kebiasaan menggunakan plastik juga tidak bisa berubah begitu saja.
Hati Siksa juga masih luluh saat ditawari kantong plastik di minimarket. Dia juga pernah tidak berdaya akan tawaran plastik di pasar tradisional meski sudah membawa wadah belanjaan sendiri.
”Bagi sebagian pedagang, kantong belanja masih dianggap barang mewah. Perlu praktik langsung seperti memasukkan barang sebelum ditimbang hingga penuturan bahasa kreatif yang tepat sebagai salah satu edukasinya,” katanya.
Baca juga : Ondik Rindu Panggung yang Hilang
Tidak hanya di rumah dan pasar, kegelisahannya juga ditemukan saat berada di puncak gunung. Aktivitas olahraga luar ruang adalah salah satu hobi Siska.
Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat yang didaki tahun 2010 memberi kesan tidak terlupa. Disuguhi indahnya biru langit Rinjani, Siska juga melihat banyak sampah bekas pendaki. ”Kemasan makanan yang tercecer menjadi sasaran monyet-monyet,” katanya.
Semeru yang didatangi tahun 2011 juga memperlihatkan hal serupa. Pengalaman menawan di Mahameru dan Ranukumbolo diganggu tumpukan sampah di Pos Kalimati.
Semua membuat hatinya tidak tenang. Hingga akhirnya diskusi dengan seorang temannya, Indra Andriadi, di Bandung, menuntunnya pada pencerahan baru.
”Mengapa tidak coba zero waste saat naik gunung?” kata Indra.
”Ya, mungkin itu jawabannya, zero waste adventure,” kata Siska.
Inti dari zero waste adventure sebagai pergerakan pribadi (individual movement) adalah bertualang menyenangkan dengan sampah seminimal mungkin. Aplikasinya membawa bekal tanpa kemasan plastik atau yang berpotensi menjadi sampah baru. Selain itu, membawa sayur atau buah sebagai pengganti kudapan hingga tidak membawa botol minum dan makanan dalam kemasan.
”Sejak awal tidak membeli makanan kemasan. Bukan memindahkan makanan instan ke dalam wadah,” ujarnya, yang ingat benar pengalaman hidup barunya ini dilakukan mulai tahun 2012 secara bertahap.
Konsep ini pun semakin menjadi kenyataan lewat Ekspedisi Nol Sampah yang dilakukan pertama di Gunung Gede, bagian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pendakian dilakukan akhir September 2013.
Gunung Gede dipilih dengan beberapa alasan. Kala itu TNGGP tengah merancang registrasi pendaki secara daring. Hanya 600 orang yang diizinkan mendaki dari tiap jalur setiap hari. Bertujuan menjaga eksosistem kawasan, hal itu sejalan dengan konsep Ekspedisi Nol Sampah.
Semua itu dilatarbelakangi tingginya jumlah pengunjung. Banyak orang, bisa jadi banyak sampah. Kajian TNGGP tahun 2015, tercatat sekitar 5 kilogram sampah muncul setiap harinya. Selain itu, waktu pendakian tidak memakan waktu lama, dua hari satu malam. Perbekalan dalam jumlah tentu banyak bisa ditekan.
Ekspedisi pertama itu berjalan lancar. Makanan dibawa dengan wadah. Sampah organik dari kulit jeruk, bawang, dan telur lantas dikubur. Sesuai saran penjaga di pos pendakian, Siska membawa pulang biji jeruk dan biji melon agar tidak mengganggu ekosistem kawasan.
Untuk minum, mereka mengandalkan botol minum bukan dalam kemasan. Dari pemetaan awal, banyak mata air yang bisa diambil airnya di sekitar Gunung Gede.
Gede bukan yang pertama. Ekspedisi selanjutnya berlanjut ke Papandayan dan Tambora pada tahun 2014. Selanjutnya ada Lawu dan Argopuro pada tahun 2015. Keberadaan sampah, cara dan pola pendakian lebih kurang sama dengan Gede.
Semua rekaman perjalanannya lantas ditulis dan dimuat di media massa tempat ia bekerja kala itu. Selain perjalanan, isinya ditambah tips mendaki minim sampah.
Berharap bisa dinikmati semakin banyak orang, tulisan-tulisan itu dikumpulkan lalu diterbitkan secara mandiri di tahun 2017. Cetakan pertama buku berjudul Zero Waste Adventure itu mencapai 2.000 eksemplar. Dua tahun kemudian, buku itu dilirik Elex Media Komputindo yang mencetaknya kembali hingga 1.500 eksemplar dengan judul Zero Waste Adventure (Ekspedisi Pendakian Lima Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah).
Perlahan Siska dan zero waste adventure semakin dikenal. Pertemuan membahas konsep ini lantas digagas tahun 2019. Total, ada 10 pertemuan di delapan daerah di Jawa dan Bali. Dalam setiap pertemuan, pesertanya ada 30 orang.
Ujung dari pertemuan ini adalah acara bertajuk ”Zero Waste Adventure Camp” di Curug Layung, Bandung, 28-29 September 2019. Di sana, peserta mempraktikkan beragam ilmu yang sudah didiskusikan. Tidak ada produk dalam kemasan yang dibawa.
Rokok yang rentan memicu polusi udara hingga sampah lewat filternya juga dilarang ikut serta. Bahkan, sponsor pun bersedia tidak memasang baliho berbahan plastik untuk memuluskan tujuan acara ini.
Hasilnya 125 peserta konsisten dengan materi pelatihan. Tidak ada sampah plastik dan hanya menyisakan 21,3 kg sampah organik. ”Inginnya memperbanyak hal serupa, tapi ada sejumlah keterbatasan karena kemudian datang pandemi Covid-19,” katanya.
Kini, ketika Covid-19 melandai di tahun ini, Siska mulai kembali menyusun kembali gairahnya. Petualangannya dimulai di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Cicendo. Beberapa tetangganya mulai penasaran dengan konsep nol sampah, seperti memilih sampah.
”Kalau ada yang bertanya dan hendak mempraktikkannya, saya dengan senang hati membantu,” kata Siska yang pernah menerapkan tidak membeli apa pun selama tahun 2016, kecuali bahan makanan dan buku, demi meminimalkan sampah baru.
Toko Nol Sampah juga akan terus ada. Bagi dia, toko itu adalah ”gunung-gunung” yang lain. Tidak hanya ramah pada alam, tapi juga berbagi sejahtera dengan sesama.
Dia mencontohkan, keberadaannya sedikit banyak bisa memudahkan sebagian kalangan yang ingin menerapkan konsep serupa. Kini dia memiliki sedikitnya 50 pelanggan di sekitar Bandung yang bisa datang 4-5 kali dalam seminggu.
Konsep toko nol sampah juga bisa memberikan peluang pasar lain bagi penyuplai barang. Bila sebelumnya hanya untuk mengirimkan ke pedagang dengan kemasan, ada toko nol sampah yang menjual barang tanpa kemasan.
Akan tetapi, petualangan di gunung sebenarnya juga tidak dilupakan. Dia tengah menyusun lanjutan Ekspedisi Nol Sampah. Kali ini, dia hendak menyasar gunung yang butuh pendakian lebih lama dari sebelumnya.
”Ada Leuseur di Aceh dan Patah di Bengkulu. Butuh waktu sekitar 14 hari untuk menuju puncak gunung-gunung itu,” kata Siska.
Dia mengatakan, zero waste adventure di gunung-gunung perlu terus digaungkan. Rinjani yang pernah membuatnya jatuh hati pada nol sampah, misalnya, ternyata masih butuh perhatian.
Kembali ke Rinjani Desember 2020 atau sekitar 10 tahun setelah kunjungan terakhirnya, Siska masih saja melihat sampah berserakan. Bahkan, yang paling membuatnya miris adalah monyet-monyet yang semakin agresif mengincar bekal pendaki. Dia menduga, salah satu pemicunya adalah kebiasaan satwa itu merasakan makanan manusia yang menempel di sampah kemasan.
”Jangan sampai hal yang mungkin kecil buat kita justru menjadi paling berbahaya bagi masa depan kehidupan lainnya di dunia ini,” katanya.
Baca juga : Tarsono, Petani Muda Tanggap Perubahan Iklim
Siska Nirmala
Lahir : Bandung, 6 Mei 1987
Pendidikan terakhir : Jurusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (Lulus 2009)