Tarsono bisa jadi adalah salah satu harapan bangsa ini menghadapi dampak perubahan iklim. Dia muda, tekun, berilmu, dan tidak pelit berbagi kemampuan kepada siapa saja yang mau belajar.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tarsono, petani muda.
Lebih dari satu dekade Tarsono (35) mengukur curah hujan dan mengamati hama di sawah. Petani Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ini menempa diri untuk tanggap perubahan iklim. Sempat diremehkan, ia kini menjadi salah satu rujukan petani menentukan musim tanam. Sejumlah perguruan tinggi pun melirik kemampuan lelaki lulusan paket C (setaraf SMA) ini.
Membawa modul pembelajaran, Tarsono berangkat ke sawah di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Indramayu, Rabu (29/12/2021). Ia menunjukkan enam calon varietas padi yang akan ditanam. Program percobaan uji multilokasi itu merupakan kerja sama Tani Center IPB University dan Gerakan Petani Nusantara (GPN) 2021.
”Ada 12 tempat uji multi lokasi se-Indonesia. Dua di antaranya di Indramayu,” ujar aktivis GPN itu. Cara tanamnya harus sesuai petunjuk teknis di modul. Jarak tanamnya, misalnya, 20 sentimeter x 25 sentimeter. Jika berhasil, varietas karya petani itu bisa dimanfaatkan, bahkan disebarkan sesuai ketentuan.
”Hari ini juga rencananya mahasiswa Unwir (Universitas Wiralodra Indramayu) datang untuk belajar,” kata Tarsono yang siang itu mengenakan topi rimba dan kaus bertuliskan ”Pusaka, Kampus Sawah Merdeka”.
Ia menjelma ”dosen” bagi mahasiswa. Ruang kelas berganti sawah dengan bising kendaraan lalu lalang. Ilmunya terlalu berharga untuk disimpan begitu saja.
Tarsono, misalnya, tak pernah luput mengukur curah hujan dan mengamati hama di sawah selama sebelas tahun terakhir. Ia menghitung intensitas hujan dengan alat sederhana berbentuk silinder dan penggaris. Petani menamainya omplong, seperti bunyi rintik hujan yang jatuh di kaleng.
Hasilnya dicatat dalam buku besar yang terdiri atas beberapa kolom, seperti jumlah curah hujan, hama, dan musuh alaminya. Jika musim hujan, misalnya, padi diserang keong. Musuh alami keong itu katak. Membasmi katak sama saja membunuh predator keong. Begitu cara petani memahami kaitan iklim dan hama.
Agar catatan itu tidak hilang, ia menyimpannya di komputer. ”Saya sudah beli komputer. Harganya dulu sekitar Rp 1,5 juta. Itu uang hasil tanam padi sendiri,” ungkapnya.
Tarsono (35), petani muda di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, saat diwawancarai, Rabu (29/12/2021).
Sekolah lapangan
Petani muda ini mulai melakukan aktivitas ”membaca iklim” sejak usia 20-an tahun ketika bergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan (KPCH) Indramayu pada 2009. Pertemuan dengan KPCH Indramayu terjadi setelah Tarsono mengikuti sekolah lapang Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indramayu.
Belakangan, KPCH berubah menjadi Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Indramayu. Meski berganti nama, wadah ini tetap bertujuan membantu petani membaca perubahan iklim beserta dampak ikutannya. Dengan mengetahui curah hujan, misalnya, petani dapat menentukan waktu menanam.
Apalagi, pranata mangsa yang menjadi panduan petani menanam padi tidak lagi seirama dengan perubahan alam. Kemarau dan hujan tak lagi jelas. Laporan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tidak cukup. Sebab, dalam satu kecamatan saja, curah hujan dan jenis tanahnya bisa berbeda.
”Waktu itu banyak yang nanya, ngapain repot-repot ngukur hujan setiap hari?” kata Tarsono menirukan ungkapan warga.
Tanpa mengamati iklim, petani sudah dipusingkan dengan harga pupuk, pestisida, dan sewa lahan yang naik, sedangkan harga gabah acap kali anjlok. Begitu kira-kira pemikiran petani pada umumnya.
KOMPAS/KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tarsono (33) menunjukkan buku catatan pengamatan cuaca di rumahnya di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu(21/8/2019). Pengamatan itu menjadi bahan petani untuk menentukan waktu tanam.
Tak didengar
”Satu-dua tahun, jujur saya enggak ngerti apa-apa. Saya cuma catat curah hujan, hama, dan ikut evaluasinya,” katanya. Ia lalu teringat pesan mendiang Cornelis (Kees) Johan Stigter, pakar agroklimatologi pada Organisasi Meteorologi Dunia. Katanya, yang namanya belajar lama kelamaan akan bisa, termasuk soal iklim.
Saat La Nina atau kemarau basah melanda 2016, Tarsono mulai memberanikan menyampaikan skenario musiman. Berdasarkan pengamatannya, intensitas hujan cukup tinggi saat musim tanam jeda, sebelum Oktober. Ia pun menyarankan petani di desanya agar menanam semangka dalam jumlah kecil atau tidak tanam sama sekali.
Curah hujan tinggi dapat merusak semangka dan merugikan petani. Namun, hampir tak ada orang yang mendengarnya. ”Enggak cukup 3 persen yang percaya. Banyak yang meragukan. Saya ini siapa, masih muda. Belajarnya di mana juga enggak jelas. Padahal, saya dan petani itu kurikulumnya di alam,” kata lulusan sekolah dasar ini.
Tak dinyana, perkiraan Tarsono benar adanya. Sebagian besar petani merugi karena menanam semangka, termasuk keluarganya. Hal itu membuat dia terus mendekatkan petani dengan pengetahuan soal iklim. Bersama anggota PPTPI Indramayu, ia mengusulkan agar Pemerintah Desa Nunuk mengadopsi pengamatan curah hujan dalam penentuan musim tanam.
Sebelumnya, keputusan waktu tanam hanya berfokus pada pranata mangsa dan jadwal gilir air irigasi. Padahal, iklim juga menjadi kunci. Jangan sampai petani yang sawahnya tadah hujan menanam saat kemarau. Tarsono juga memasukkan indikator pengamatan hama dalam penentuan musim tanam.
Ketika La Nina kembali muncul tahun 2020, petani menantikan usulan Tarsono terkait waktu tanam. ”Setelah kejadian 2016 itu, petani lebih hati-hati. Kalau saya mider (keliling) jualan, petani bertanya soal prediksi musim tanam. Tahun lalu, yang nanam semangka sedikit,” ujarnya diiringi senyum.
Petani yang getol menulis di media dengan isu pangan ini juga pernah menolak program percepatan tanam padi hingga tiga kali setahun. Rencana pemerintah itu bisa memicu ledakan hama. Sebab, padi yang menjadi makanan hama tersedia terus-menerus. ”Tentara dan KSP (Kantor Staf Presiden) mengajak diskusi tentang itu,” ungkapnya.
Pengetahuan Tarsono soal pertanian dan iklim membuatnya kerap diundang sejumlah perguruan tinggi. Pada Maret lalu, misalnya, ia didaulat sebagai narasumber dalam Kuliah Tani Agrometeorologi yang digelar Tani Center IPB-LPPM IPB University. Pesertanya mahasiswa hingga dosen.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tarsono, petani muda.
Kepala Tani Center IPB University Hermanu Triwidodo menilai, pakar atau narasumber tidak hanya dari perguruan tinggi, tetapi juga oleh praktisi, seperti petani. ”Sosok Mas Tarsono ini masih muda. Namun, kalau dari pengalamannya, kita (harus) banyak berguru. Kami berupaya mendorong munculnya Tarsono-Tarsono yang lain,” ujarnya.
Tarsono bukan hanya petani, melainkan juga peneliti. Bahkan, ia punya cita-cita aplikasi pengukur curah hujan dan pengamatan hama. ”Saya punya data curah hujan lebih dari sepuluh tahun. Data ini kekayaan pribadi. Namun, ini belum bisa dikategorikan bagus karena belum 30 tahun. Semoga saya bisa terus berbagi informasi soal iklim,” ujarnya.
Dengan segala ketekunan dan keahliannya, jelas bukan rupiah yang dia cari. Dia bahkan harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Rabu pagi sebelum menjadi pengajar bagi mahasiswa Unwir, dia memacu sepeda motor butut untuk berjualan bubur kacang hijau keliling kampung.
Pendapatannya yang tak seberapa dari jualan bubur dibelanjakan untuk popok anaknya. Jika tak libur, Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah Al-Amin ini sibuk mengurus sekolah. Kira-kira sebesar itu dedikasi bapak dua anak ini. Dia memilih berbagi demi masa depan petani dan alam yang lebih baik.