Muhammad Sarip Memverifikasi Narasi Sejarah Lokal
Melalui riset, penulisan buku, dan artikel, Muhammad Sarip memperkaya narasi sejarah lokal di Kalimantan Timur. Dengan metode penulisan sejarah yang ketat, ia turut memverifikasi narasi-narasi mapan, tetapi simpang siur.
Melalui riset, penulisan buku, dan artikel, Muhammad Sarip memperkaya narasi sejarah lokal di Kalimantan Timur. Dengan metode penulisan sejarah yang ketat, ia ikut merayakan sejarah dengan memverifikasi narasi-narasi yang mapan, tetapi simpang siur.
Lelaki kelahiran Samarinda itu tak memiliki latar belakang akademis sejarah. Ia lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur. Pertanyaan mengenai asal-usul tempat tinggalnya yang membawa Sarip menelusuri teks-teks sejarah.
Selepas kuliah, ia bekerja di perusahaan tambang batubara di Kalimantan Tengah dan nikel di Sulawesi Tenggara. Saat itu, masa kerjanya adalah delapan minggu bekerja dan dua minggu cuti. Di tengah rutinitas kerja itu, waktu luangnya ia gunakan untuk berselancar di media sosial dan internet.
Saat itu, pembicaraan di media sosial sedang ramai tentang nostalgia, seperti sejarah lokal, benda antik, atau foto-foto klasik. Sarip yang jauh di tanah rantau jadi bertanya asal-usul Samarinda, tempat lahir dan tumbuhnya. Saat itu, keingintahuannya baru tersalurkan melalui internet. Banyak versi mengenai sejarah Samarinda. Sejumlah sumber yang ia baca juga simpang siur.
Ia kumpulkan saja sumber-sumber itu. Baru pada tahun 2016, setelah tak bekerja lagi di industri pertambangan, ia bisa lebih leluasa mencari sumber-sumber sejarah. Ia kemudian bekerja sebagai editor di sebuah penerbit lokal di Samarinda dan memiliki banyak waktu serta jaringan pertemanan untuk mengakses berbagai naskah klasik, penelitian, dan arsip-arsip sejarah lokal.
Sampai pada satu momen ia menemukan kekeliruan penulisan sejarah lokal yang sangat fatal. Selama ini, hari jadi Kota Samarinda ditetapkan pada 21 Januari 1668. Itu ditetapkan pula dalam Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 Tahun 1988. Tanggal itu ditetapkan dengan patokan kedatangan orang dari Sulawesi yang bermukim tahun 1668.
Dalam buku Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda terbitan Pemerintah Kota Samarinda tahun 2004, di halaman 5 disebutkan salah satu rombongan itu dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona yang disebut pengikut La Maddukelleng putra Arung Paneki dari daerah Wajo, Sulawesi. Bukti kedatangan rombongan itu dilandaskan pada buku Kroniek der Zuider En Oosterafdeeling van Borneo karya Dr J Eisenberger di halaman 9.
Sarip mencari dan membaca sumber itu. Namun, di halaman 9 buku berbahasa Belanda itu tak ditemukan nama tokoh La Mohang Daeng Mangkona. Buku itu hanya menyebutkan tahun 1668 adalah dimulainya pemukiman suku Bugis di Samarinda.
Bahkan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur di dalam situs resminya mencatat, La Mohang Daeng Mangkona merupakan seorang tokoh yang dianggap sebagai salah satu pendiri awal Samarinda.
Tak hanya itu, melalui catatan-catatan klasik, Sarip menemukan bahwa La Maddukelleng baru lahir tahun 1700. Dengan bukti itu, kedatangan rombongan La Mohang Daeng Mangkona, pengikut La Maddukelleng, pada 1668 menjadi tidak logis.
Itu ia tulis dalam buku Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999 yang terbit tahun 2017. Ia juga berkomunikasi dengan Pemkot Samarinda yang mencantumkan sejarah lokal Samarinda di situs resmi Pemkot Samarinda.
Meski perda mengenai hari jadi Kota Samarinda belum diubah, Sarip terus mendorong revisi perda tersebut. Berkat berbagai bukti yang Sarip tunjukkan, setidaknya saat ini tak ada narasi tunggal asal mula Samarinda di situs resmi Pemkot Samarinda. Pemkot menuliskan beragam versi mengenai sejarah Samarinda.
Sejak menggeluti sejarah, Sarip semakin yakin bahwa kesalahan atau kebohongan akan terungkap cepat atau lambat. Itu, katanya, amat berharga untuk pelajaran masa kini.
”Memahami masa lalu untuk kebaikan masa kini, untuk proyeksi masa depan. Yang buruk di masa lalu jangan diulang, yang baiknya dipertahankan atau ditingkatkan,” katanya saat ditemui di Samarinda, Senin (8/11/2021).
Sertifikasi
Pada mulanya Sarip menulis sejarah secara otodidak. Ia mempelajarinya dari membaca buku sejarah dan buku modul mata kuliah sejarah yang ia buru sendiri. Kesempatan mendalami penulisan sejarah datang pada 2020. Saat itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat bimbingan teknis penulis sejarah berbasis kompetensi.
Syarat administrasinya ialah membuat proposal penelitian dan punya bukti telah menerbitkan dua buku sejarah. Dari sekitar 277 orang yang mendaftar, 60 orang lolos seleksi termasuk Sarip. Selama sebulan, Sarip mengikuti semacam perkuliahan daring. Pematerinya mayoritas pengajar sejarah Universitas Indonesia.
Dari bimbingan teknis itu, ia mengembangkan proposal penelitiannya dengan masukan dari ahli sejarah. Tulisan itu akhirnya menjadi buku Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635 yang terbit tahun 2021. Di buku itu ia memaparkan bukti-bukti bahwa kerajaan Hindu pertama di Nusantara adalah Kerajaan Martapura, yang kerap disebut Kerajaan Kutai di buku-buku sejarah.
Banyak hal yang Sarip dapat dari pelatihan itu. Salah satunya terkait metode penelitian yang ketat. Ia juga jadi memiliki legitimasi sebagai penulis sejarah. Sebab, dari bimbingan teknis itu, penyelenggara menyeleksi lagi sebanyak 17 orang untuk mengikuti Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah di Jakarta pada 14-15 Desember 2020.
Ia pun dinyatakan kompeten oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah untuk dirinya kemudian diterbitkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Ia adalah orang pertama di Kaltim yang mendapat sertifikasi itu.
Baca juga: Dedi Irwanto Muhammad Santun Pemberi Makna Peristiwa Sejarah
Sampai saat ini, ia sudah menulis empat buku yang ia tulis sendiri dan dua buku yang ditulis bersama koleganya. Semuanya berkaitan dengan sejarah lokal. Karena aktif menulis buku, menulis di media sosial, dan media massa, Sarip kerap menjadi narasumber seminar sejarah yang diselenggarakan kementerian hingga pemerintah daerah.
Dari aktivitas menulis itu pun sumber-sumber sejarah tak terduga ”datang” kepada Sarip. Misalnya, suatu ketika seorang berdarah Belanda yang sudah menjadi warga negara Indonesia datang tiba-tiba ke tempat kerja Sarip. Pria itu bilang punya ketertarikan dengan sejarah, memiliki banyak naskah kuno, dan senang mengarsip. Ia berkenan jika koleksi arsip-arsip itu digunakan Sarip untuk menulis sejarah lokal Kalimantan Timur.
Sejumlah arsip dan naskah kuno itu juga menjadi pelengkap untuk penyusunan buku Kerajaan Martapura. Menulis sejarah yang semula hanya untuk memenuhi keingintahuan Sarip kini tempat bermainnya semakin luas dengan bertambahnya jaringan pertemanan dengan peneliti, pegiat sejarah, petugas perpustakaan, hingga pengarsip.
Itu menjadi kekayaannya untuk menulis apa saja tentang Kaltim. ”Kalau ada pertanyaan tentang sesuatu yang belum saya temukan jawabannya, itu jadi ide menulis. Sekarang sudah enak dapat sumber-sumber literatur,” katanya.
Temuan-temuan Sarip adalah satu contoh kecil bahwa narasi sejarah yang digelorakan penguasa tak melulu akurat. Buku diktat dan terbitan pemerintah yang mencantumkan sumber primer juga perlu diverifikasi dan dicari pembandingnya. Apa yang dilakukan Sarip bisa menjadi inspirasi untuk menyajikan narasi alternatif dari narasi tunggal yang sudah mapan.
Muhammad Sarip
Lahir: Samarinda, 20 Desember 1980
Profesi: Editor penerbitan
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (lulus 2005)
Organisasi:
- Pengurus Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (2014-kini)
- Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kalimantan Timur (2020-2025)
Buku:
- Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda (2016)
- Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200-1999 (2017)
- Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara (2018)
- Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur Sebuah Biografi (ditulis bersama Nabila Nandini, 2018)
- Perempuan di Kalimantan Timur Tempo Doeloe (ditulis bersama Nabila Nandini, 2019)
- Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635 (2021)