Dedi Irwanto Muhammad Santun, Pemberi Makna Sejarah Sumsel
Dari buku ini, warga Sumsel bisa belajar dari konsep pembangunan Belanda yang lebih dulu memperkuat ideologi masyarakat sebelum membangun ruang kota secara fisik.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Prihatin pada terbatasnya sumber literatur sejarah Sumatera Selatan (Sumsel), Dedi Irwanto Muhammad Santun (48) memutuskan untuk menembus batas. Bukan sekadar menarasikan situasi masa lampau di ”Bumi Sriwijaya” melalui tulisan atau buku sejarahnya, tetapi juga menggali makna di balik setiap peristiwa. Sebab, pada hakikatnya, kisah masa lalu merupakan bahan refleksi bagi setiap orang untuk melangkah di masa kini dan masa depan.
Kegelisahan itu dia sampaikan di teras rumahnya di Palembang, Rabu (10/11/2021), sembari sesekali menyeruput segelas kopi hangat yang kemudian ia letakkan di atas meja kayu. Teringat ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Negeri I Pedamaran Ogan Komering Ilir, Sumsel, Dedi kerap ke perpustakaan sekolah untuk mencari buku sejarah.
Namun, ia harus kecewa karena buku yang ia dapatkan tidak memuaskan dahaganya terhadap sejarah Bumi Sriwijaya. ”Akhirnya, saya menyadari, tidak banyak buku sejarah Sumsel yang bermutu,” kata Dedi.
Kalaupun ada, buku itu ditulis oleh peneliti dari daerah lain, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Pulau Jawa. Beberapa karya dari peneliti sejarah di Sumsel terbilang sangat terbatas, sebut saja milik Raden Muhammad Akib atau Djohan Hanafiah. Sebuah ironi ketika Palembang yang berstatus kota tertua di Nusantara ternyata miskin peneliti sejarah.
Kebanyakan buku sejarah Sumsel ditulis oleh penulis yang tidak memahami dasar penulisan sejarah. ”Alhasil, buku yang mereka buat hanya sekadar mengulang narasi tanpa ada hasil pengembangan,” kata Dedi yang sejak kecil terinspirasi pada sosok sejarawan nasional Raden Panji Nugroho Notosusanto.
Karena itulah, ia memutuskan untuk mengentaskan permasalahan itu dengan melanjutkan pendidikan di Jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan meraih gelar sarjana hingga doktor di sana. Menurut dia, ”Kota Pelajar” itu merupakan tempat yang tepat untuk menggali ilmu sejarah karena di sana telah terbentuk ekosistem yang cukup baik.
Mulai dari banyaknya komunitas sejarah yang bertumbuh dan berkembang, serta kesadaran masyarakatnya untuk menjaga kelestarian cagar budaya. ”Suasana inilah yang ingin saya bawa ke Sumsel,” ujar Dedi.
Sebagai langkah awal, ia menjadikan Sumsel sebagai obyek penelitian tesis dan disertasinya. Hasil tesisnya itu kemudian ia kemas dalam buku berjudul Venesia dari Timur ; Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial Sampai Pascakolonial dan Ulu.
Buku yang banyak dijadikan sumber referensi di sejumlah karya ilmiah ini menggambarkan tentang konsep pembangunan Kota Palembang. Dengan periode dari masa kolonial antara tahun 1930, tepatnya setelah masa Malaise di mana terjadi penurunan tingkat ekonomi secara global, sampai masa pascakolonial di tahun 1960-an yang ditandai dengan pembangunan Jembatan Ampera.
Dari buku ini, warga Sumsel bisa belajar dari konsep pembangunan Belanda yang lebih dulu memperkuat ideologi masyarakat sebelum membangun ruang kota secara fisik. ”Kenapa bangunan Belanda bisa bertahan begitu lama? Sebab, rasa memiliki yang tertanam di masyarakat cukup kuat,” katanya.
Berbeda dengan konsep pembangunan di masa pascakolonial yang tidak didahului oleh penguatan ideologi masyarakatnya. Semisal, pembangunan Jembatan Ampera yang semestinya menjadi kebanggaan masyarakat Palembang kala itu, ternodai dengan aksi pencurian bagian jembatan yang membuatnya tidak lagi berfungsi baik.
”Kala itu, masyarakat berpikir jika mencuri merupakan bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah,” kata Dedi. Analisis seperti inilah yang sebenarnya bisa menjadi bahan refleksi bagi pengambil kebijakan di masa kini untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Walau pada kenyataannya, hingga kini masih ada pemimpin lokal di Sumsel yang tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang sejarah tentang daerahnya sendiri karena mereka tidak memiliki referensi yang memadai. ”Kebanyakan tulisan sejarah berakhir di rak buku kantor dinas karena tidak laik dipublikasikan,” ujar Dedi yang pernah berprofesi sebagai jurnalis.
Sama halnya untuk hasil disertasi yang juga dia bukukan dengan judul Iliran dan Uluan: Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang. Buku ini membahas tentang proses mendominasinya orang-orang ulu di ruang ilir ketika transformasi sosio-kultural berjalan dalam pembentukan kewargaan budaya di Kota Palembang sebagai salah satu simbol modernitas pada masa kolonial di paruh pada abad ke-20. Sejumlah artikel sejarah pun sudah dia tulis di sejumlah media massa.
Sejarah publik
Berbekal dari pendidikannya di UGM Yogyakarta, Dedi menciptakan Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) Batanghari Sembilan Institute yang berisikan para akademisi ilmu sejarah yang memiliki visi yang sama, yakni mengumpulkan puing-puing sejarah yang berserak dan membungkusnya dalam produk sejarah publik yang dapat dinikmati semua kalangan.
Terbaru, komunitas ini mencari data arsip. Di sana, mereka menemukan majalah Soeloeh Marga yang ditulis pada rentang tahun 1930-1941 oleh pemerintahan desa, termasuk pesirah (kepala pemerintahan marga di masa Hindia Belanda). Majalah itu berisi tentang kondisi masyarakat Sumsel dalam sistem pemerintahan marga.
Kemampuan para pesirah dalam menulis diperoleh dari kebiasaan mereka yang gemar membaca, termasuk sejarah masyarakatnya. Buku tersebut mereka peroleh dari sebuah toko buku yang cukup besar berdiri di Palembang sekitar tahun 1920. Namun, toko buku itu harus lenyap tergerus pembangunan Jembatan Ampera.
Dari majalah itu, tergambar kehidupan marga dari sejumlah suku di Sumsel pada masa lalu. Hasil penelitian itu akan dikemas dalam metodologi penulisan deskriptif naratif-analisis yang diperkaya dengan hasil pencarian dari berbagai sumber sejarah di bank data. Mulai dari arsip, koran lama, dan naskah kuno sehingga tercipta bacaan sejarah yang benar-benar bermutu.
Tahun ini, komunitas ini membuat buku yang menggambarkan kehidupan masyarakat di suku Komering. Suku ini dinilai memiliki cara hidup bermasyarakat yang patut ditiru.
Pada masa itu, pesirah tidak hanya menjadi pemimpin marganya, tetapi juga bertindak sebagai penyeimbang marga. Mereka memberikan perhatian kepada warganya dengan mengangkatnya sebagai bagian dari keluarga. Tujuannya agar warga itu dapat bersekolah di Palembang.
”Sebab, pada zaman itu, hanya keluarga pesirah yang boleh menempuh pendidikan di Palembang. Dengan harapan sekembalinya dari Palembang, mereka dapat menularkan ilmu tersebut kepada keluarganya agar tidak lagi terpuruk,” kata Dedi.
Dengan diterbitkannya buku ini, para pemimpin masa kini dapat belajar untuk tidak hanya mementingkan keluarganya semata, tetapi juga warga yang mereka pimpin.
Generasi muda
Tidak hanya berfokus pada peneliti sejarah yang sebaya dengannya, Dedi juga menularkan visi ini kepada generasi muda dimulai dari mahasiswa yang ia bimbing. ”Harapannya, mereka tidak hanya puas menjadi guru yang mengajar di kelas, tetapi lebih dari itu menjadi peneliti sejarah yang bisa menghasilkan produk sejarah yang bisa dinikmati semua kalangan,” ujar Dedi.
Menurut dia, kaum milenial saat ini sudah memiliki kesadaran yang cukup baik tentang sejarah. Ditambah lagi, banyaknya platform yang dapat dijadikan wadah untuk berkreasi. ”Tinggal bagaimana kita bisa mengarahkan mereka agar tetap berjalan dalam koridor penelitian yang tepat,” katanya.
Untuk mewujudkan visi itu, dirinya telah merancang sebuah platform daring bernama Musi.id yang di dalamnya akan menciptakan produk sejarah yang menarik sehingga membuat banyak orang tertarik. ”Semoga identitas warga Sumsel tidak tercerabut dari akarnya,” ujar Dedi.
Dedi Irwanto Muhammad Santun
Lahir : Pedamaran, 25 Mei 1973
Pekerjaan : Dosen di FKIP Sejarah Universitas Sriwijaya
Istri : Agustina Bidarti (42)
Anak :
Bhagawan Fitriradjasa (15)
Poedjangga Sastraradjasa (13)
Choennienk Chierrannaratoeaoera (12)
Poetieh Chienantieratoeaoera (9)
Buku :
”Iliran dan Uluan: Dikotomi dan Dinamika Dalam Sejarah Kultural Palembang” (2010)
”Venesia dari Timur; Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial Sampai Pascakolonial dan Ulu” (2011)
”Oedjan Mas di Bumi Siriwijaya: Bank Indonesia dan Heritage di Sumatera Selatan” (2020)
Organisasi
Masyarakat sejarawan indonesia (MSI) (2008-Sekarang)
Direktur Pusat Kajian Sejarah Sumsel (Puskass) Batanghari Sembilan Institute (2018- Sekarang)