Andhy dan Dandhy, Meniti Jalan Pedang Watchdoc
Setiap film membuat kami punya teman baru, tapi setiap film juga membuat kami punya musuh-musuh baru.
Layaknya kisah Silicon Valley, rumah produksi Watchdoc Documentary juga dirintis dari garasi sewaan. Mereka sempat berkantor di rumah, lalu patungan membayar listrik untuk ngantor di indekos teman. Itu menjadi titik tolak perjalanan mereka hingga kemarin dapat meraih penghargaan Ramon Magsaysay.
Wacana membuat Watchdoc terjadi di depan kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2008. Idenya lahir dari Andhy Panca Kurniawan (45) dan Dandhy Dwi Laksono (45). Keduanya wartawan.
Andhy pernah jadi wartawan Istana Kepresidenan di era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri. Sementara itu, Dandhy mengawali karier sebagai wartawan ekonomi, lalu pernah menjadi wartawan televisi.
Keduanya idealis. Jadi wartawan harus berpihak kepada kepentingan masyarakat. Idealisme mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh aktivis HAM Munir. Andhy merupakan teman Munir di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Adapun Dandhy pernah melakukan menginvestigasi kasus pembunuhan Munir.
Setiap film membuat kami punya teman baru, tapi setiap film juga membuat kami punya musuh-musuh baru.
Idealisme mereka kemudian diuji. Kerja jurnalistik kerap bertabrakan dengan berbagai kepentingan, baik dari pemilik media maupun pemodal. Dalam beberapa kasus, nilai berita tidak selalu yang utama.
Berita soal perjuangan warga akar rumput dinilai kurang seksi. Katanya, itu tidak sesuai selera pasar. Penontonnya bakal sedikit dan memengaruhi rating.
”Itu klaim yang absurd karena pasar juga diciptakan oleh pembuat konten. Selera itu dibentuk,” kata Dandhy pada wawancara daring, Jumat (3/9/2021).
Terlepas dari ”selera pasar”, berita perjuangan akar rumput layak mendapat atensi publik karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Lagipula, dunia sedang tidak baik-baik saja. Ini kerap terlupakan saat Andhy dan Dandhy meliput di pos masing-masing.
”Dunia yang kami liput seolah baik-baik saja, tapi ada soal serius di dunia lain. Misalnya, saat kami sudah membahas pertumbuhan (ekonomi), warga di daerah konflik masih mengalami kemiskinan,” kata Dandhy.
Watchdoc kemudian dibentuk untuk menyalurkan kegelisahan itu. Setelah digagas pada 2008, Watchdoc mulai bergerak pada 2009 sebagai organisasi tanpa badan hukum. Pada 2011, barulah Andhy dan Dandhy mengurus badan hukumnya. Watchdoc kini berupa perusahaan.
Watchdoc memulai semua dari nol, mulai dari mengumpulkan honor demi honor untuk membeli kamera bekas, hingga akhirnya kini bisa berkantor di Bekasi, Jawa Barat, dan punya 18-20 karyawan.
”Jalan pedang”
Mereka membuat produk audiovisual yang mengangkat sejumlah isu penting, seperti isu sosial, hukum, sejarah, lingkungan, dan HAM. Sedikitnya ada 300 judul film dokumenter yang sudah diproduksi selama 12 tahun. Beberapa di antaranya Kiri Hijau Kanan Merah, Samin Vs Semen, The Endgame, dan Sexy Killers.
Pada 2019, Sexy Killers disorot publik. Isinya tentang pertambangan batubara yang berkelindan dengan politik. Film itu bikin heboh negara yang sebentar lagi menggelar pilpres.
Baca juga: Penangkapan Dandhy Dwi Laksono Pembungkaman bagi Pegiat Informasi
Kendati diapresiasi, ada konsekuensi di balik film itu. Watchdoc punya citra baru sebagai pihak yang keras mengkritik pemerintah. Mitra bisnis jadi ada yang mundur teratur. Sebagai entitas bisnis, hal itu memukul Watchdoc.
Keamanan pun jadi isu lain yang dihadapi. ”Setiap film membuat kami punya teman baru, tapi setiap film juga membuat kami punya musuh-musuh baru,” ucap Dandhy.
Walau berat, sikap sudah ditentukan. Kerja jurnalistik yang berpihak pada kemanusiaan tetap yang utama. Dapat dikatakan bahwa ini ”jalan pedang” Watchdoc.
Di sisi lain, Watchdoc punya modal sosial yang kuat. Dukungan publik mengalir dalam berbagai bentuk. Organisasi dan komunitas akar rumput menjadi kawan, sementara audiens berupaya tidak melewati iklan yang lewat di kanal Youtube Watchdoc.
Diskusi
Watchdoc bisa dibilang punya penonton setia yang haus informasi. Namun, advokasi isu publik tidak cukup dengan menonton film dokumenter. Isu tersebut baru bisa punya gema bila dibicarakan publik. Agenda nonton bareng pun digelar serta diikuti diskusi kelompok.
Andhy mengatakan, mereka menawarkan film mereka agar diputar di komunitas. Salah satu syaratnya, komunitas harus menggelar diskusi dengan minimal sepuluh orang. Tawaran ini disambut antusias.
”Film The Endgame diputar di 1.500 komunitas dalam seminggu. Mereka berinisiatif mengorganisasi sendiri (diskusi dan nonton bareng) hingga membentangkan layar. Kami hanya jadi fasilitator untuk meningkatkan kapasitas publik,” ucap Andhy.
Hal ini dilirik Ramon Magsaysay Award Foundation, salah satunya karena pola penyebaran informasi yang dinamis. Watchdoc kemudian diberi penghargaan Ramon Magsaysay pada akhir Agustus 2021.
Sementara itu, Ramon Magsaysay merupakan anugerah tahunan yang disebut sebagai ”Nobel versi Asia”. Judul penghargaan ini mengambil nama Presiden Filipina terdahulu, Ramon Magsaysay. Mendiang Ramon dianggap berjasa membawa negaranya ke masa jaya melalui iklim demokrasi yang baik dan bebas korupsi.
Penghargaan ini diberikan sejak 1957 kepada individu atau organisasi yang dinilai unggul di bidangnya masing-masing. Beberapa tokoh besar yang menerima penghargaan ini adalah Dalai Lama dari Tibet (1958) dan Bunda Teresa dari India (1962).
Baca juga: Penghargaan sebagai Kontrak Sosial bagi Watchdoc Documentary
Ada pula Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1971), Presiden Indonesia Keempat Abdurrahman Wahid (1993), sastrawan Pramoedya Ananta Toer (1995), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (2013). Sebelumnya, Watchdoc memperoleh penghargaan Gwangju Prize for Human Rights pada Januari 2021.
”Sepertinya kami belum sejauh itu. Masih ada yang lebih layak (menerima penghargaan). Tapi, penghargaan ini harus diterima,” kata Andhy.
Bagi Watchdoc, penghargaan tersebut merupakan beban moral yang tidak ringan. Itu menjadi kontrak sosial yang mengikat mereka untuk terus berkarya dan teguh di ”jalan pedang” mereka.
Untuk itu, Watchdoc akan memperkuat posisinya sebagai perusahaan yang berkelanjutan agar bisa terus bekerja. Kerja sama dengan sejumlah pihak akan dijalin. Mereka juga merumuskan rencana untuk membuat konten berbayar.
”Dengan demikian, kami jadi ada tanggung jawab untuk memberikan konten yang lebih baik dan premium. Berarti kami juga ditantang untuk meningkatkan standar produksi, menajamkan riset, dan memperluas audiens,” ucap Dandhy.
Profil Dandhy Dwi Laksono
Lahir: Lumajang, Jawa Timur, 29 Juni 1976
Pendidikan: S-1 Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung
Pengalaman:
- Pengurus Aliansi Jurnalis Independen
- Dewan Pengawas LBH Pers (2008-2012)
- Pernah bekerja sebagai wartawan media cetak, televisi, radio sejak 1998
- Menulis buku, di antaranya Jurnalisme Investigasi (2010), Indonesia for Sale (2009), dan Menyingkap Fakta: Panduan Liputan Investigasi (2009)
Penghargaan, di antaranya:
- Jurnalis ”Penggerak Perubahan”, Bukalapak, 2016.
- People Choice Award for ”Alkinemokiye”, Screen Below the Wind, Southeast Asia Documentary Festival, 2012
- Juara 1 British Council Broadcast Competition: ”Ranger di Tepian Leuser”, (2008).
- Juara 1 The Best Journalist Jakarta: Laporan Investigasi ”Pembunuhan Munir” oleh AJI (2008)
- Juara 1 for Jakarta Stock Exchange Journalist Writing Competition: ”Anjing Penjaga di Lantai Bursa” (2002).
Profil Andhy Panca Kurniawan
Lahir: 1976
Pendidikan:
- Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), Jakarta
- Berbagai pelatihan jurnalistik di dalam dan luar negeri
Pengalaman, di antaranya:
- Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio Voice of Human Rights (2002-2007)
- Koordinator Manajemen Konten Saluran Informasi Akar Rumput (2005-2007)
- Pendiri Kontras NTT (2010)
- Pendiri Bakubae Media, Ambon (2006)
- Pendiri Noordeen Foundation (2005)
Penghargaan untuk Watchdoc, antara lain:
- Ramon Magsaysay (2021)
- Gwangju Prize for Human Rights (2021)