Yahya Ado: Memandirikan Anak Kurang Mampu Melalui Sekolah Alam
Mencari ilmu tidak hanya sebagai pencapaian gelar akademik, tetapi kumpulan pengalaman di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar untuk menjadi mandiri. Ini harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini di alam terbuka.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Belajar tidak sekadar demi pencapaian gelar akademik, tetapi juga mengumpulkan pengalaman di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar untuk menjadi mandiri. Ini harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini di alam terbuka. Yahya Ado melakukan itu secara intens bagi puluhan anak pendidikan usia dini di Desa Manusak, Kabupaten Kupang. Ia mendirikan sekolah alam, mengajari anak-anak belajar mandiri dengan memanfaatkan potensi alam sambil membangun nilai-nilai kehidupan.
Yahya Ado (43) saat ditemui di Kupang, Senin (21/6/2021), mengatakan, ia membuka sekolah alam di Desa Manurak, Kabupaten Kupang, pada 2019 yang dia sebut Sekolah Alam Manusak (SAM). Ini merupakan sekolah alam pertama di Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa Manusak mayoritas dihuni warga eks Timor Timur.
Ketertarikan dia mendirikan sekolah alam berawal dari pemantauan, begitu banyak anak usia dini kurang menghargai lingkungan. Mereka meniru perilaku orang dewasa yang kerap menebang dan merusak hutan. Selain itu, anak-anak juga cenderung mewarisi perilaku emosional orang dewasa.
”Saya lebih memilih anak-anak dari keluarga kurang mampu, termasuk warga lokal. Ini sekolah gratis. Nasib anak-anak ini terabaikan dari berbagai aspek karena ketidakmampuan ekonomi orangtua. Sekolah ini ingin membekali sikap kemandirian anak-anak ini di kemudian hari dengan berbagai kegiatan,” tutur Ado.
Anak-anak itu masih dalam masa tumbuh kembang dan masa belajar. Mereka perlu memahami banyak hal di sekitar mereka untuk memaknai nilai-nilai kehidupan, seperti lingkungan alam, hewan, dan sesama teman atau orang yang lebih dewasa. Jika menghayati dan melaksanakan, mereka tentu mencintai.
Biaya operasional kegiatan belajar mengajar di Sekolah Alam Manusak bersumber dari hasil penjualan ternak, jagung, kacang-kacangan, buah-buahan, dan penyewaan aula di sekolah itu. Kebun dan ternak ini hasil karya anak-anak di bawah bimbingan Ado dibantu dua guru.
Anak-anak diajari menanam, memupuk, membabat rerumputan, menyiram, memanen, dan menjual. Mereka didampingi Ado saat berjualan di pasar. Mereka dia ajak mengalami proses permintaan dan penawaran yang berlangsung di pasar.
Masalah utama adalah air, tetapi kebetulan di samping sekolah ada Sungai Manusak yang airnya mudah dialirkan ke sekolah. Mereka diajari bagaimana memanfaatkan air secara efisien dan menjaga kebersihan air.
”Mereka belajar hidup mandiri dari alam sejak dini. Anak-anak diajari bergaul dengan alam dan mengenal potensi-potensi alam, mengolah tanah, menyingkirkan batu-batuan, dan memahami alam sebagai pemberi hidup. Tanpa kerja, menyatu, dan bersahabat dengan alam dan orang sekitar, orang tidak bisa hidup mandiri, bahagia, dan memberi makna pada hidup,” kata Pendiri dan Direktur Yayasan Rumah Solusi Beta Indonesia Kupang ini.
Sekolah Alam Manusak diikuti anak-anak beragama Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Mereka belajar tentang keberagaman, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. ”Doa memulai kegiatan belajar mengajar dipimpin secara bergilir oleh anak-anak yang berbeda agama, dan yang lain menyesuaikan,” kata Ado.
Lokasi seluas 7.600 meter persegi itu layaknya sebuah wilayah alam terbuka. Halaman yang cukup luas berukuran sekitar 50 x 30 meter persegi. Di samping halaman itu ada dua kolam ikan, yang satu untuk memancing bagi warga sekitar, satu lagi untuk tempat belajar anak-anak. Ada pula kebun jagung, kacang hijau dan kacang tanah, taman bunga, pepaya, nanas, dan tebu.
Putra Adonara ini membimbing 32 anak PAUD. Mereka beternak ayam, itik, merpati, nuri, dan beberapa burung khas Timor. Beternak sekaligus belajar tentang sifat masing-masing binatang. Binatang-binatang ini sebagian disumbangkan orangtua siswa dan sebagian diadakan Yahya.
Selain belajar menulis, membaca, menghitung, dan bernyanyi, mereka juga belajar mengenal tumbuhan satu per satu dan manfaatnya di sekitar dengan keunikan masing-masing. ”Pameo tua menyebutkan, tak kenal maka tak sayang. Inilah mendorong saya membuka sekolah alam ini bagi generasi muda yang akan datang,” katanya.
Penulis buku empat seri tentang ”Wasiat Jalan” ini mengatakan, anak-anak diajari pola hidup bersih, jujur, sopan, dan bertanggung jawab atas setiap tugas yang diberikan sekolah. Ternyata hal ini tidak hanya dipraktikkan di sekolah, tetapi juga di rumah masing-masing. Ini sesuai penuturan orangtua saat pertemuan.
Setelah beberapa bulan dididik di PAUD itu, anak-anak coba menerapkan pola hidup bersih di rumah masing-masing. Mereka tidak mau jamban atau ruang WC di rumah kotor, barang-barang disimpan di sembarang tempat, daun-daun dan sampah berserakan di halaman rumah. Ini sesuai kesaksian dari orangtua.
”Apa yang mereka dapatkan di PAUD itu ternyata mereka terapkan di rumah juga. Mereka meminta orangtua dan anggota keluarga lain menjaga kebersihan di rumah. Mereka menanam bunga dan buah-buahan di pekarangan rumah, memelihara ayam dan ternak lain,” tutur Ado.
Bagi mantan karyawan PLAN Internasional Indonesia 11 tahun itu, anak -anak harus berkarakter kebangsaan. Perbedaan agama, adat, dan budaya pun diajarkan di sekolah itu. Lagu daerah dan kekhasan masing-masing suku di Indonesia diajarkan juga.
Menurut Ado, anak-anak sejak dini harus diajari selalu berkata jujur, apa adanya, menghormati teman dan guru. Barang-barang milik teman atau sekolah dijaga atau dikembalikan ke pemilik jika jatuh atau tertinggal di sekolah.
Dalam pertemuan dengan orangtua, Ado meminta mereka mendukung perkembangan anak di sekolah dengan menerapkan hal yang sama selama di rumah. ”Jangan sampai di sekolah anak-anak diajari kemandirian hidup, di rumah mereka terus dimanjakan atau mengalami kekerasan fisik,” katanya.
Agar pendidikan sekolah alam itu tidak sia-sia, Ado pun menyempatkan waktu berkunjung ke rumah siswa secara bergilir. Ia ingin memastikan bahwa apa yang diajarkan di sekolah alam juga dipraktikkan anak-anak di rumah dan orangtua pun melanjutkan hal baik serupa di rumah.
”Konsep belajar PAUD ini adalah alam sehingga tema-tema yang diajarkan pun sesuai situasi dan kondisi alam sekitar. Ini sangat erat dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara, yakni merdeka belajar. Anak-anak bermain, belajar bahagia, dan mengekspresikan segala kemampuan yang mereka miliki bersama alam,” kata Ado.
Anak-anak bebas bermain untuk mengeksplorasi segala kemampuan yang mereka miliki. Tolok ukurnya, anak-anak harus merasa bahagia dan nyaman di sekolah itu. Ketika mereka pulang ke rumah, selalu berhasrat kembali lagi ke sekolah untuk bermain dan belajar bersama alam dan teman-teman.
Beberapa anak coba melanjutkan apa yang dipelajari di sekolah, seperti memelihara itik, merpati, kucing, menaman sayur, buah-buahan, dan bunga jenis tertentu yang mereka sukai di halaman rumah. Namun, masalah air di rumah sering menghambat kreativitas mereka.
Hanya tenggat belajar di sekolah alam itu bervariasi antara setiap anak, tergantung usia. Ada yang satu tahun, dua tahun, dan ada pula yang tiga tahun karena mereka harus masuk sekolah dasar setelah memasuki usia enam atau tujuh tahun.
Sarjana Sastra Inggris Universitas Muslim Indonesia Makassar ini ingin membuka sekolah alam serupa di Lembata, Kota Kupang, dan Nagekeo, tetapi ia masih mencari sponsor. Meski alam NTT gersang, jika para penghuni menjaga dan merawat, alam pun bakal kembali menyejahterahkan mereka, bukan menghukum.
”Semoga apa yang mereka pelajari di sekolah alam juga dilanjutkan di sekolah dasar dan sekolah menengah,” kata Ado.