Puluhan tahun hidup di daerah banjir membuat DJ Hidayat tergerak hatinya untuk menjadi sukarelawan bencana. Setiap hujan datang, dia selalu waspada untuk mengantisipasi banjir.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·6 menit baca
Sejak 34 tahun lalu, DJ Hidayat (57) alias Abah Hidayat selalu bergelut dengan banjir saat musim hujan. Namun, tinggal di tanah bencana tidak membuatnya menyerah meratapi hidup. Ia beradaptasi untuk bertahan sekaligus menjadi sukarelawan mitigasi bencana bagi orang di sekitarnya.Gerimis turun di Balendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (29/10/2020) sore. Meskipun intensitas hujan rendah, hal itu tetap menjadi sinyal waspada bagi Hidayat untuk mengantisipasi banjir. Sebab, banjir di kawasan itu sering kali disebabkan air kiriman dari hulu.
Pandangan matanya yang semula menatap langit beralih ke layar telepon pintar di tangan kananya. Ia membuka aplikasi Citarum River Flood Forecasting and Warning System untuk mengetahui tinggi muka air (TMA) Sungai Citarum di beberapa lokasi.
Ia juga memantau grup WhatsApp untuk mendapatkan informasi curah hujan di Majalaya, Banjaran (Kabupaten Bandung), dan Kota Bandung. Grup ini beranggotakan sukarelawan mitigasi bencana di beberapa lokasi langganan banjir.
“Masih aman. Rata-rata TMA di bawah 1,5 meter. Selain itu, hanya di Kota Bandung yang hujan,” ujarnya.
Pengalaman puluhan tahun menjadi sukarelawan membuatnya bisa memprediksi kapan banjir tiba di Balendah dan sekitarnya lewat berbagai indikator. Satu di antaranya adalah jika TMA di sejumlah lokasi, seperti Majalaya dan Banjaran, sudah di atas 2 meter.
Potensi banjir juga akan semakin besar ketika hujan mengguyur kawasan hulu Citarum, Cisangkuy, dan Cikapundung, secara bersamaan. Ketiga sungai itu melintasi Balendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang. Hal inilah yang menyebabkan kawasan tersebut menjadi langganan banjir.
Saat TMA di atas normal, Hidayat segera menginformasikannya kepada warga melalui grup WhatsApp. “Dari pengalaman selama ini, butuh waktu 3-3,5 jam untuk banjir sampai di sini. Dengan begitu, warga punya waktu mengevakuasi diri dan barang-barang ke lantai dua atau mengungsi,” ujarnya.
Memantau TMA lewat aplikasi dan curah hujan di grup WhatsApp kerap kali tidak cukup. Saat hujan lebat, dia skeptis dan memilih berkeliling memantau arus sungai.
“Kalau arusnya deras relatif lebih aman karena daya tampung di hilir masih mencukupi. Namun, jika arusnya melambat, ini pertanda di hilir (air) juga tinggi sehingga semakin waspada sungai akan meluap,” ujarnya.
Tak hanya menyampaikan informasi, bersama warga lainnya, ia juga kerap menelusuri gang-gang sempit mengecek jalur evakuasi. Sebab, ketika banjir, perahu tidak dapat melalui gang selebar kurang dari satu meter. Imbasnya, warga terancam terjebak dan sulit dievakuasi.
Sejak lima tahun lalu, Hidayat mengajak warga di gang-gang sempit untuk memasang tambang yang dikaitkan di tembok rumah. Tali tambang itu menjadi pegangan warga saat menerobos banjir dengan berenang atau berjalan kaki.
“Sekarang, sudah banyak yang pasang tali tambang di gang-gang. Namun, saat malam hari, warga yang bertahan di rumah dianjurkan tidak keluar karena berisiko tidak terpantau jika terseret banjir,” ucapnya.
Selain memitigasi, dia juga kerap terlibat mengevakuasi warga yang terjebak banjir. Oleh sebab itu, saat banjir datang, ia dan sejumlah sukarelawan Forum Pengurangan Risiko Bencana akan bersiaga di Posko Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung di Gedung Inkanas, Balendah.
Biasanya mereka mengevakuasi balita dan lansia. Waktunya tak menentu, dari pagi, siang, dan malam. Bahkan, jika kondisi darurat, seperti ada warga yang sakit, evakuasi dapat dilakukan dini hari.
Di rumahnya, Abah Hidayat juga tetap waspada. Dia menyiapkan perahu mini berbahan gabus padat selebar 75 sentimeter dan panjang 1,5 meter. Di atasnya terdapat ember yang diikatkan di kedua sisi badan perahu.
“Perahu ini biasanya digunakan mengevakuasi bayi. Sangat berisiko kalau menerobos banjir sambil membawa bayi,” ujarnya.
Panggilan jiwa
Kini, usia Abah Hidayat tidak muda lagi, lebih dari setengah abad. Kekuatan fisiknya sudah berkurang. Namun, ia belum berpikir berhenti menjadi sukarelawan penanggulangan bencana.
Pengalaman menjadi penyintas banjir membuatnya selalu tergerak untuk menolang orang yang senasib dengannya. Ia berprinsip, penyintas mesti berdaya menghadapi bencana dan berupaya mengurangi risikonya.
“Ini seperti panggilan jiwa. Kami sama-sama susah karena dilanda banjir hampir setiap tahun. Jadi, harus saling membantu untuk saling menguatkan,” ujar kakek tiga cucu itu.
Dia masih ingat saat banjir besar menerjang Balendah dan sekitarnya pada 1986. Saat itu, banjir menggenangi ribuan rumah dengan ketinggian di atas empat meter.
Imbasnya, banyak warga terjebak di atas rumah. Banjir baru surut total setelah lebih dari seminggu. Kejadian tersebut menyadarkan Hidayat tentang pentingnya mitigasi. Sejak saat itu, dia mengabdikan dirinya menjadi sukarelawan bencana. Ia menjalin komunikasi dengan sukarelawan lain di hulu-hulu sungai.
Jaringan sukarelawan ini memberikannya banyak pengetahuan. Salah satunya tentang kondisi lahan kritis di kawasan hulu sehingga dampak banjir semakin parah. Selain itu, masifnya pembangunan perumahan membuat area parkir air, seperti sawah, kian menyusut.
“Masalahnya semakin kompleks karena fungsi sungai tak optimal akibat sedimentasi. Belum lagi banyak kebocoran di tanggul sungai sehingga air cepat masuk ke permukiman,” ujarnya.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengatasi banjir di Kabupaten Bandung. Dalam pembangunan infrastruktur, misalnya, pemerintah telah mengoperasikan kolam retensi Cieunteung seluas 8,7 hektar di Balendah pada Desember 2018.
Ratusan kepala keluarga di Kampung Cieunteung direlokasi demi pembangunan kolam retensi itu. Namun, hingga dua tahun berselang, infrastruktur itu belum berdampak signifikan mengurangi banjir.
Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan terowongan air Nanjung pada Januari 2020. Dua terowongan sepanjang 230 meter dengan diameter 8 meter tersebut diyakini meningkatkan kapasitas debit Citarum di kawasan itu, dari 570 meter kubik per detik menjadi 700 meter kubik per detik.
Abah Hidayat mengatakan, pembangunan infrastruktur tidak cukup untuk mengatasi banjir. Menurut dia, dibutuhkan komitmen kuat semua pihak untuk memperbaiki daya dukung lingkungan sehingga risiko bencana bisa dikurangi.
Adaptasi
Meskipun kerap dilanda banjir, Abah Hidayat juga belum berniat pindah dari Balendah. Lokasinya itu adalah tanah kelahirannya yang ingin terus ia tinggali.
Oleh karena itu, Abah Hidayat belajar mengenal potensi bahaya bencana di sana. Pada 2016, ia membangun rumah panggung setinggi 2 meter. Rumah ini dibangun setelah rumah sebelumnya direndam banjir setinggi 1,2 meter pada 2015.
“Alhamdulillah, setelah tinggal di rumah panggung, air enggak pernah masuk ke rumah. Jadi, meskipun musim banjir, kami tidak perlu mengungsi,” ujarnya.
Di masa pandemi Covid-19, ancaman bagi penyintas banjir juga bertambah. Hal ini mendorong Abah tergerak menjadi sukarelawan satuan tugas penanganan Covid-19.
Ia menyosialisasikan pentingnya penggunaan masker untuk mencegah penyebaran virus korona baru. Selain itu, warga diminta menjaga jarak dan tidak berkerumun.
“Memang tidak mudah. Harapannya, saat banjir datang dan warga dievakuasi, mereka sudah paham pencegahan penyebaran Covid-19 di lokasi pengungsian,” ujarnya.
Ketika pemerintah belum juga menghadirkan solusi mengatasi banjir di Bandung selatan, Abah tak mau sekadar mengutuk keadaan. Meskipun usianya tak lagi muda, ia tetap bergairah dalam mengedukasi warga hidup beradaptasi di tanah bencana.
Ini seperti panggilan jiwa. Kami sama-sama susah karena dilanda banjir hampir setiap tahun. Jadi, harus saling membantu untuk saling menguatkan.
DJ Hidayat
Lahir: Balendah, 8 November 1963
Istri: Lela Sari (52)
Pendidikan terakhir : SMA Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia, Balendah (lulus 1982)
Kegiatan: Sukarelawan Forum Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Bandung