Sisca Soewitomo bermimpi menjadikan para perempuan Indonesia sebagai koki bagi keluarganya. Mari siapkan bahan makanan, bumbu, tekad, serta cinta. Bu Sisca akan menuntun kita memasak dengan mudah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
”...Ini mungkin saat yang tepat untuk gantung panci,” kata Sisca Soewitomo (71) di media sosialnya pada awal Agustus 2020. Reaksi warganet setelah itu sangat cepat dan luas. Tidak ada yang sadar bahwa mereka sedang dikerjai pesohor boga Nusantara tersebut.
Istilah gantung panci dikira publik sebagai tanda pensiun. Warganet lantas berbondong-bondong berterima kasih pada Sisca atas jasa-jasanya di dunia kuliner. Ia bahkan sempat jadi topik terpopuler di Twitter. Rupanya, itu gimmick promosi belaka bersama sebuah perusahaan teknologi.
”Gantung panci itu pekerjaan rutin sehari-hari. Setelah pakai peralatan masak, kan, otomatis dicuci. Agar cepat kering, saya gantung pancinya. Saya tidak ada pikiran pensiun. Respons orang-orang itu kejutan buat saya,” kata Sisca di Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Notifikasi pesan singkat di ponsel Sisca dan anaknya tidak berhenti berdenyut. Semuanya minta konfirmasi. Walau pusing dengan reaksi tidak terduga ini, diam-diam Sisca senang. Ternyata masih banyak yang menggemari resep-resepnya.
Sisca Soewitomo dikenal publik sebagai pemandu acara masak televisi Aroma pada 1996. Gayanya khas, rambut bob pendek, celemek, dan ujaran ”Bagaimana pemirsa? Mudah bukan membuatnya?”. Jangan lupakan musik latar legendarisnya.
Ia memandu acara Aroma selama delapan tahun, lalu menyudahi peran sebagai pembawa acara pada 2008. Hingga kini ia aktif mengajar sejumlah kursus kuliner, menjadi narasumber dan juri lomba memasak, serta menulis 150 buku resep.
”Kejadian kemarin menunjukkan bahwa resep-resep saya dipakai orang di dapur sehingga semua orang bisa masak. Saya senang sekali karena yang saya kerjakan bermanfaat untuk orang lain,” kata Sisca.
Nenek panutan
Ketertarikan Sisca di dunia kuliner tidak lepas dari pengaruh ibu dan neneknya. Sisca kecil kerap memasak bersama mereka karena tidak banyak restoran di kampung halamannya, Surabaya, zaman dulu. Kue kastengel untuk Lebaran pun dibuat sendiri.
Ia masih ingat keju edam khas Belanda yang harus diparut sebelum dicampur ke adonan kastengel. Rasanya gurih dan asin, lebih asin dari keju cheddar di pasaran.
Kejadian kemarin menunjukkan bahwa resep-resep saya dipakai orang di dapur sehingga semua orang bisa masak. Saya senang sekali karena yang saya kerjakan bermanfaat untuk orang lain.
Ia juga ingat oven sederhana kreasi neneknya untuk memanggang kastengel. Di dalam oven ada rak-rak untuk menaruh loyang. Rak itu terbuat dari seng. Agar kue matang merata, bara api diletakkan di atas dan bawah seng.
”Zaman itu belum ada oven secanggih sekarang. Mengukur suhu pun tidak pakai termometer. Nenek saya memasukkan tangan ke oven dan mengira-ngira suhu yang tepat untuk memanggang kue. Itulah kepandaian dia dan saya salut karenanya,” ucapnya.
Selanjutnya, memasak jadi keseharian Sisca. Pengetahuan akan fungsi bumbu, cita rasa bahan makanan, serta cara memasak menjadi kesadaran yang tertanam di benak sejak belia. Bertahun-tahun kemudian, hal itu membuat tangan, otak, dan lidahnya bekerja otomatis saat meracik makanan.
Bermanfaat
Setelah menikah, Sisca memutuskan untuk belajar di Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, tahun 1970-an. Keputusan ini berangkat dari keinginan untuk menambah penghasilan keluarga. Itu sebabnya, ia memilih studi yang ia kuasai dan bermanfaat kelak.
”Saya mau lakukan sesuatu yang saya pahami dan kuasai. Tidak perlu hafalan dan repot-repot, tidak perlu banyak berpikir, tapi bisa menghasilkan produk yang bagus,” katanya.
Keterampilan dasar Sisca soal kuliner semakin terasah di sekolah. Ia pun menerima beasiswa untuk belajar mengolah roti di Taiwan selama enam bulan. Dua tahun kemudian, ia mendapat beasiswa ke Kansas, Amerika Serikat, untuk belajar diversifikasi pangan.
Pulang ke Tanah Air, Sisca langsung menjadi pengajar di akademinya terdahulu selama 17 tahun. Dia juga mengajar kuliner di lembaga kursus. Beberapa muridnya berhasil menjadi koki tersohor, seperti Rudy Choirudin, Haryanto Makmoer, Haryo Pramoe, dan Deddy Rustandi. Setelahnya, Sisca ditawari menjadi pemandu acara Aroma dan beralih menjadi pengajar di layar televisi.
”Saya mau membuat perempuan Indonesia sebagai koki bagi keluarganya. Biar keluarga mengenal masakan ibunya yang enak dan yang tidak akan pernah hilang dari ingatan anaknya. Biar masakan ibu jadi makanan favorit di rumah,” tuturnya.
Saya mau membuat perempuan Indonesia sebagai koki bagi keluarganya. Biar keluarga mengenal masakan ibunya yang enak dan yang tidak akan pernah hilang dari ingatan anaknya. Biar masakan ibu jadi makanan favorit di rumah.
Tak jarang Sisca mendapat cerita ibu-ibu yang sukses menjadi koki di rumahnya. Baik ibu-ibu maupun anak-anak berterima kasih kepadanya. Ia bersyukur sekaligus terharu.
Palet rasa
Palet rasa di lidah Sisca tergolong kaya. Sebab, ia kerap jajan saat berkunjung di luar ataupun dalam negeri. Ia juga mencicipi makanan dari mana saja, baik restoran kelas atas maupun makanan pinggir jalan.
Menurut dia, nasi goreng mahal dan murah, ya, sama-sama nasi goreng. Lalu, apa yang disebut makanan enak?
”Yang enak adalah makanan yang tidak mengandung bau khusus dari bahan makanan, misalnya bau amis ikan dan ayam. Makanan enak ialah yang menggunakan bumbu yang segar, seperti serai dan daun jeruk, serta yang menggunakan bumbu padat, seperti cengkeh, pala, dan kayu manis,” ucapnya.
Kayanya rempah dalam negeri membuat Sisca ingin menduniakan masakan Nusantara. Berkali-kali ia demo memasak di luar negeri, antara lain China, Jerman, dan Amerika Serikat. Sambutan para warga asing selalu hangat. Kata mereka, masakan Indonesia enak-enak.
Segala masakan Indonesia, menurut Sisca, selalu berangkat dari tiga bumbu utama; bumbu merah, putih, dan kuning. Bumbu merah terdiri dari bawang merah, bawang putih, dan cabai yang dihaluskan. Bumbu putih dari bawang merah, bawang putih, dan kemiri. Bumbu kuning dari bawang merah, bawang putih, dan kunyit.
Bumbu merah bisa dikreasikan untuk membuat segala sambal goreng. Bumbu putih bisa untuk memasak lodeh dan opor, sementara bumbu kunyit untuk gulai.
Masih banyak makanan Indonesia yang bisa dibuat dari ketiga bumbu dasar ini. Sang koki tinggal menambahkan bahan dan rempah lain yang diperlukan. Sisca mengatakan, memasak sama dengan meracik formula di dapur.
Tidak ada rahasia untuk menjadi koki yang andal. Sang koki hanya perlu berusaha sebaik mungkin untuk menghidangkan makanan bagi keluarga. Jangan lupa membubuhkan cinta di tiap hidangan.
Bagaimana pembaca? Mudah bukan membuatnya?
Biodata
Nama: Sis Cartica Soewitomo
Tempat, tanggal lahir: Surabaya, 8 April 1949
Pendidikan: Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta (kini Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti), lulus pada 1973