Uni Rubiyah dan Bang Kundat
Perkataannya tentang ia akan memotong burung Bang Kandar, kalau kawin lagi, bagiku bukan gurauan.
Kulihat dia semakin tak gairah bekerja. Tapi itu dia. Istrinya lain lagi, tambah semangat bekerja. Kuduga-duga, ada sesuatu agaknya. Namun sikap diamnya ini tak berani kutelisik lebih jauh. Nanti marah lagi dia. Seperti kejadian dua hari lalu. Aku dimarahkannya hanya gara-gara sepele. Terlambat mengantar nasi ramas (nasi-padang) pesanannya.
Sudah setahun ini kulihat sorot matanya memudar. Tak tajam lagi. Cahaya matanya yang selalu bening dengan sorot mata yang ”khusuk” sewaktu menjahit tak ada lagi. Yang kulihat, seperti hari kemarin mata itu seperti mata ikan tongkol yang jual dilapak. Pucat, karena sudah lama dipendam di dalam peti.
”Uni, mengapa abang seperti itu sekarang? Seperti tak semangat dia. Apa dia jadi kawin dengan... ?” Tak kulanjutkan lagi ocehanku. Rubiyah diam saja. Dia hanya melihatku dengan ujung matanya. Sementara tangannya tetap memegang celana panjang. Sepertinya, celana warna krem itu ingin dipotongnya. Tapi, tanpa kuduga, tiba-tiba suaranya meninggi. Tertuju ke arahku.
”Kalau sempat abang mau kawin lagi, Den potong buruangnyo (Ku potong burungnya)!” Uni Rubiyah marah mendengar candaku. Kuperhatikan, antara suami dan istri, sebelas dua belas saja. Sudah enam bulan ini sumbu mereka berdua semakin pendek.
”Kalau sempat abang mau kawin lagi, Den potong buruangnyo (Ku potong burungnya)!” Uni Rubiyah marah mendengar candaku.
Nasi bungkus itu kuulurkan kepada Bang Kundat. Dia tersenyum kecil. Bungkus nasi dihidunya. Sepertinya ia sangat menikmati ”aroma” yang menguar. Satu bungkus diserahkannya pada Uni Rubiyah. Satu bungkus lagi dionggoknya di ujung meja. Di antara berbagai pakaian yang hendak dikerjakan. Sedang yang satu lagi langsung dibukanya. Disantap seketika itu juga.
”Lapa bana awak (lapar benar saya)!” katanya.
Kalau Bang Kundat sudah lapar. Sedekat apa pun kita darinya, akan dicuhkannya. Dianggap angin lalu. Dia akan sibuk dengan nasinya. Apalagi hari tengah menggigil. Matahari yang seharusnya bersinar cerah, tertutup awan hitam. Bang Kundat tambah lahap, di antara rintik hujan yang mulai turun.
Kupacu gas motorku di antara jalanan macet. Hujan sekarang bukan lagi rinai. Tetesan air tak lagi pelan. Namun semakin deras. Tersebab masih ada nasi bungkus yang mesti kuantar, motor tetap kugesa. Aku tak boleh tidak, harus segera sampai di tempat. Rumah makan tempat ku bekerja hanya mengandalkan aku. Si Andre yang biasanya bergantian mengantar seminggu lalu pulang kampung. Bos hanya mengandalkanku kini.
Kalau aku terlambat, maka habislah aku dikata-katainya. Kalau Bang Kundat—enam bulan ini suka marah, itu belum apa-apa. Bosku pun suka marah. Induak samang (majikan), kataku kepada Andre kalau kami tengah membicarakannya.
Sebenarnya Bos orangnya baik, tapi sikap pemarahnya, menjadi poin negatif baginya. Setidaknya bagi orang yang baru kenal. Aku tak seperti mereka, meski sering dimarahi tetap setia dengan Bos. Tak pernah sekalipun melawan, apalagi berkhianat. Bagiku cerita Malin Kundang adalah sumber inspirasi. Bukan legenda semata.
Baca juga: Dange
Di penghujung November ini jantungku sering berdetak. Perasaan takut, khawatir, rasa bersalah sepihak, segalanya campur aduk. Sejak Andre pulang malam kemarin, konflik batinku semakin dalam. Uni Rubiyah selalu terbayang. Perempuan tukang jahit yang telah lama berjuang dengan Bang Kundat itu selalu mengganggu konsentrasiku.
”Mereka sudah kuanggap Abang dan Kakakku sendiri, makanya Kak Rubiyah kupanggil Uni (Panggilan kakak untuk orang minang).” Tapi satu hari lagi. Tepatnya 1 Desember 2023 ini—mungkin Kak Rubiyah menolak kupanggil kakak. Pasti ia sangat marah. Tak akan pernah terima ulahku dan Si Andre. Padahal kami melakukan ini semua, karena perintah Bos.
Sebenarnya tak sudi aku melakukannya. Apalagi pada Kak Rubiyah. Namun sebagaimana perintah Bos, kami berdua harus tetap jalankan. Kalau malam tiba, aku dan Andre selalu membincangkan urusan Bos ini. Kadang sampai larut malam, urusan Bos—yang kami diminta untuk melakukannya ini, tetap menjadi bahan obrolan. Kadang kami bertengkar. Pernah sekali hampir baku hantam.
Kadang kelemahan kita selalu dimanfaatkan orang. Aku dan Andre tak punya pilihan lain. Kalau menolak akan ada konsekuensi. Aku dan Andre bisa berhenti. Menjadi pengangguran lagi. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi?
Kadang kelemahan kita selalu dimanfaatkan orang. Aku dan Andre tak punya pilihan lain. Kalau menolak akan ada konsekuensi.
”Sudahlah Ndre, ikuti saja apa maunya Bos! Cari kerja baru sekarang susah. Beras mahal, kita tak punya pilihan. Apalagi...,” aku tak melanjutkan perkataan. Andre hanya diam, tubuhnya bergetar. Kupandang matanya, ada gurat kesedihan. Teringat kembali kejadian tiga bulan lalu.
Tujuh bulan lalu, aku dan Andre, datang dari kampung. Kampung kami tersuruk di antara Bukit Barisan. Aku yang sama-sama duduk sebangku dengan Andre—sejak sekolah dasar, sudah tahu karakter Andre. Kalau tubuhnya bergetar, pasti ada hal serius yang sedang menghimpitnya.
”Kalian jemput Katinar. Gadis tua itu akan senang, kalau ia dikawinkan dengan bekas pacarnya. Dia pandai memasak. Bisalah ia menggantikan Kasibar.” Aku terdiam. Andre tertunduk. Ia teringat kakak tertuanya itu. Mati empat bulan lalu akibat disenggol truk. Usai berbelanja untuk rumah makan.
”Kalau Katinar bekerja dengan kita, pasti pelangganku akan bertambah. Kan kakak nomor dua kau itu An, pandai memasak, sama seperti kakaknya. Kasibar.” Andre mengangguk seolah mengiyakan pernyataan dari induk semangnya itu.
Baca juga: Perempuan yang Membawa Kematian
Gerimis bulan di awal Desember semakin deras. Namun aku dan Andre, tetap memacu motor bebek hitam tersebut. Milik kami berdua. Membelinya secara patungan. Memakainya pun bergantian. Kalau aku yang mendapat giliran mengantar ramas, maka Andre yang di rumah makan. Begitu sebaliknya.
Dalam perjalan yang dibonceng Andre tersebut, aku sempat membayangkan Kak Rubiyah akan masuk koran, atau bahkan televisi. Perkataannya tentang ia akan memotong burung Bang Kandar, kalau kawin lagi, bagiku bukan gurauan. Dugaku hal ini benar akan terjadi.
Aku tahu siapa Kak Rubiyah. Ia anak Tuan Guru Rusdi yang terkenal kuat akan pendirian itu. Darah Rusdi banyak turun pada Rubiyah. Bahkan kudengar, sebagian ilmu makrifat Rusdi telah disalin oleh Rubiyah. Jadi ancamannya tidak main-main. Aku ngeri membayangkannya.
Perkataannya tentang ia akan memotong burung Bang Kandar, kalau kawin lagi, bagiku bukan gurauan. Dugaku hal ini benar akan terjadi.
Motor bebek hasil patunganku bersama Andre, memasuki gang sempit, rumah Bos. Suasana tidak terlalu ramai. Kan ini pernikahan diam-diam. Pastilah settingan-nya begitu. Kulihat tangan Bang Kundat telah dipegang Pak Penghulu. Dia siap dinikahkan dengan Katinar.
Di sudut teras kulihat pula wajah muram Andre. Aku paham mengapa Andre begitu, karena sama seperti diriku Andre juga tahu bagaimana watak Kak Rubiyah. Namun, Andre juga pernah bercerita bahwa kakaknya yang pandai masak itu sangat ingin menikah.
”Umur Katinar hampir mencapai 50 tahun. Kasihan dia, masih belum kawin!” demikian pernah terucap dari bibir Kak Kasibar, sebelum dia meninggal. Kata Andre sebelum berangkat ke kampung.
Andre pun bilang, Kak Katinar yang selalu memberinya uang jajan itu masih seperti dulu. Setia menunggu Bang Kundat. Bekas pacarnya. Agaknya di malam gerimis ini, perasaan Andre campur aduk. Ada senang dan ada kekhawatiran. Sama seperti diriku. Aku tak berani mengkhianati Uni Rubiyah. Ia sepupuku. Sedangkan Katinar kakak kesayangan Andre.
Baca juga: Manisan Mangga
Siangnya-setelah pernikahan malam itu, aku masih bertemu Kak Rubiyah. Saat itu ia banyak berkeluh kesah tentang penghidupan yang kini dijalaninya bersama Bang Kundat. Katanya padaku, usaha jahit menjahit mereka—kini sudah tak bisa diharapkan.
”Pelanggan sekarang, tak pernah lagi membuat baju atau celana. Lama-lama ilmu membuat pola baju dan celana yang Uni kuasai dengan Bang Kundat mungkin tak terpakai lagi! Sekarang, pekerjaan kami sudah di titik nadir. Kami hanya mengerjakan hal dan bagian hilir dari baju atau celana.”
”Tak ada lagi pelanggan yang datang menempah baju atau celana. Semuanya mengaku beli pakaian dari online. Pelanggan yang datang hanya untuk pekerjaan yang ringan-ringan saja. Menjahit kancing yang terlepas. Mengecilkan ukuran pinggang celana. Memotong bagian celana yang terlalu panjang. Mengecilkan ukuran baju yang kebesaran. Hanya itu yang sekarang kami lakukan.”
”Tentu saja upah yang kami terima ala kadarnya. Tidak seperti dulu. Kami bisa memasang tarif yang lumayan. Bisa membayar kredit rumah yang tinggal enam tahun lagi. Bisa makan dan menabung sedikit-demi sedikit untuk si Reni, yang rencananya kuliah.”
”Rumah sudah sembilan tahun kami bayar. Tapi enam bulan belakangan ini, kredit rumah hampir-hampir tak terbayar lagi. Itulah yang membuat Bang Kundat seperti ayam kena sampar. Tapi malam tadi Bang Kundat terlihat sangat gembira. Seperti menang lotre dia. Uni pun tak tahu! Kau tahu,” katanya seperti meminta penegasan.
Sekarang, pekerjaan kami sudah di titik nadir. Kami hanya mengerjakan hal dan bagian hilir dari baju atau celana.
Itu adalah pertemuan terakhir kami. Setelah itu aku tak pernah berjumpa lagi dengan Uni Rubiyah. Tak pernah lagi melihat batang hidung Bang Kundat. Aku sekarang di Jakarta, buka rumah makan Ampera bersama Andre. Adapun Kak Katinar kembali ke nagari dekat Bukit Barisan. Dia pulang kampung setelah Kak Rubiyah masuk TV.
Pekanbaru, Jumat 1 Desember 2023; 23.49 WIB.
Abdul Hadi Anshary, Penulis dan Penggemar Sastra, Dosen Filsafat Fakultas Hukum UIR