Dange
Pria itu selalu singgah di kios kami tiga kali dalam seminggu untuk membeli kudapan dange. Padahal di sepanjang jalan poros ini ada banyak sekali kios penjual dange.
Diam-diam kuamati dia dari balik bilik. Pria itu masih duduk di sana bersama istriku, di bangku panjang depan kios, dari jam setengah tiga sampai jam setengah enam sore. Sudah tiga jam ia duduk menghadap ke jalan, menikmati pemandangan yang tidak terlalu menarik. Hanya kendaraan yang lalu-lalang sepanjang sore. Apakah ia tidak tahu bahwa kios kami mau tutup sebagaimana kios-kios lain yang sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Aku beri kode rahasia kepada istriku yang sejak tadi bercakap-cakap dengan pria itu agar segera mengusirnya, mengingat malam ini adalah Jumat malam. Tak lama setelah itu, pria itu berdiri, beranjak dari bangkunya. Tidak, itu bangkuku. Ini kiosku. Lalu ia masuk ke mobil Furtuner berwarna putih bersih dengan plat merah lengkap dengan sopir yang dari tadi hampir mati menunggu ditelan bosan.
Pria itu selalu singgah di kios kami tiga kali dalam seminggu - Senin, Rabu, dan Jumat – untuk membeli kudapan dange. Padahal di sepanjang jalan poros ini ada banyak sekali kios penjual dange. Namun mungkin ia sudah tergila-gila dengan cita rasa dange buatanku yang begitu legit dan harum; beraroma ketan hitam dan parutan kelapa dengan taburan gula merah yang dibakar dalam wajan tanah liat. Sungguh rasa luar biasa, apalagi ketika masih hangat-hangatnya. Beda tangan, beda rasa. Kupikir awalnya begitu. Namun lama-kelamaan, ia tak hanya membayar dange kami dengan harga semestinya. Ia membayar lebih. Jadi kupikir ia punya niat terselubung.
“Apa yang aneh kalau Pak Sambung bayar kita lebih, daeng? Itukan tanda terima kasihnya juga. Dia kan sudah langganan.” Protes istriku satu waktu.
“Iya. Tidak ada yang aneh kalau bayar lebih. Tapi kalau membayar seratus ribu untuk dange yang harganya cuman lima ribu, apa itu tidak aneh?”
“Pak Sambung kan seorang pejabat di Kantor Daerah. Bagi kita mungkin jumlah segitu sudah banyak, tapi dia?” bela istriku. Aku hanya diam. Mungkin apa yang dikatakan istriku ada benarnya juga. Orang-orang di sekitar kiosku bilang kalau ia pria tua yang baik dan ramah, enak diajak ngobrol dan merakyat. Namun aku tetap tidak percaya.
Senin sore yang gerimis. Jalan poros Pangkep-Barru ramai oleh mereka yang baru pulang kerja, dan sebagian yang lain memilih singgah untuk membeli dange di kios-kios di sepanjang jalan itu untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah, untuk selanjutnya disantap bersama sambil menunggu matahari tergelincir ke peraduannya. Termasuk pria itu. Ia mampir di kios kami, tentu saja, untuk membeli dange dan sebuah obrolan panjang bersama istriku. Ketika sudah jam lima dan setelah aku memberi kode kepada istriku, pria itu akhirnya beranjak pulang dengan mobil plat merahnya, meninggalkan uang seratus ribu kepada istriku.
“Dia pasti kakek-kakek genit. Dia merayumu?” celotehku saat itu.
“Daeng! Daeng! Kamu cemburu ya,” kata istriku sambil geleng-geleng kepala.
Aku tidak menanggapinya dan berkata tidak lebih dari sekadar, “Nanti tidak usah lagi terima pemberian pria itu, dik!” Istriku hanya berdeham dan tersenyum. Kuanggap itu tanda persetujuan. Aku tidak mau menerimanya bukan karena aku sombong. Kami memang hanya rakyat biasa yang kurang berada, tetapi kami masih ada harga diri. Mungkin ia pejabat yang sedang mencari suara untuk pemilu mendatang. Atau ia menyogok agar nanti bisa menggusur lapak-lapak kami. Dan kemungkinan terburuk, seperti yang pernah aku katakan kepada istriku, mungkin ia pria tua genit belaka yang mencari perhatian istri orang. Istriku tertawa besar mendengar kecemburuanku.
Rabu selanjutnya ia kembali datang untuk dangenya. Singgah cukup lama, sampai jam enam sore, dan bercakap-cakap dengan istriku. Aku amati ia dari balik bilik kiosku yang terbuat dari anyaman bambu. Sesekali ia melontarkan senyum dan tawa ketika ia membuat lelucon. Obrolan yang terlihat akrab. Wajahnya terlihat cemerlang. Senyumnya terasa murni. Ingin rasanya ikut dalam obrolan mereka. Namun aku tidak akan tertipu. Aku hanya di sini, di balik bilik, selalu. Tunjukkan kedokmu pria tua jahat, batinku.
Sampai suatu hari ketika pria itu mau pulang, ia menitipkan sesuatu kepada istriku. Setelah mobil pria itu benar-benar lenyap dari pandangan, istriku menghampiriku. “Ini ada handphone pemberian pria yang kamu bilang orang jahat itu.” Aku hanya mematung, membiarkan istriku menaruh benda itu di atas meja. Sungguh pria tua yang bijaksana keparat. Memang sudah lama aku memimpikan memiliki smartphone, dan kini aku memilikinya.
Sore itu, Jumat yang ke 52 semenjak ia datang pertama kali, seperti biasa pria itu datang lagi mengambil dangenya. Ketika pergi, tak tanggung kini ia meninggalkan emas - entah berapa gram - plus uang satu juta di dalam amplop. Aku yang baru tahu ketika pria itu sudah pergi, sontak naik pitam lantaran istriku menerimanya tanpa seizinku. Aku merasa tidak dianggap sebagai kepala keluarga. Pria itu telah bersekongkol dengan istriku. Pria tua itu mengajakku berperang.
“Biasanya kan memang tidak pernah izin sama daeng.”
“Iya tapi kalau pemberiannya segila ini, harusnya kamu bilang dulu! Itu sudah sangat berlebihan. Memangnya dia yang memberimu nafkah? Jangan sok dekat begitu dengannya. Di sini akulah pemimpin keluarga!” Aku terus mencecar istriku yang kali ini hanya tertunduk diam, “aku tidak mau tahu, nanti kembalikan emas, uang, atau apalah itu kepadanya!” tandasku dengan nada yang lebih tinggi. Aku tidak menyangka, bisa setegas itu kepada istriku sendiri.
Benar saja, hari Senin ia mengembalikan semua pemberian pria itu. Namun ia menolaknya dan memaksa istriku menerimanya. Aku ikhlas, katanya. Aku yang dari tadi hanya mengamati dari dalam kios sudah tak tahan, lalu memberanikan diri keluar dan menolak mentah-mentah pemberiannya, dan bilang kepadanya untuk berhenti menjadi pria tua konyol yang sok baik, sok lugu. Aku tak tahu apakah perkataanku itu terlalu tajam untuknya. Namun yang pasti saat itu, ia hanya menatap mataku begitu dalam. Binar matanya menunjukkan sesuatu yang tertahan. Namun aku tak tahu, tatapan yang sulit dimengerti. Lantas ia pergi tanpa membeli dange dan tanpa perbincangan panjang, meninggalkanku yang terpekur kaku di depan kios. Itulah kali pertama aku berbicara dengannya sekaligus yang terakhir kali.
Hari Rabu, pria itu tak datang, begitu pula di hari Jumat. Hingga minggu depannya, pria itu tak kunjung menampakkan dirinya. Hari Senin selanjutnya, istriku tetap setia menunggu kedatangannya di bangku panjang depan kios. Dan aku yang tetap duduk di balik bilik, diam-diam sisi lain dalam diriku menanti kedatangannya.
Diam-diam, setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat hatiku berdegup dua kali lipat mengawasinya ketika hendak mencicipi dange buatanku. Diam-diam, itu menjadi pertaruhanku apakah ia akan datang kembali atau tidak untuk dange buatanku. Namun nyatanya, kini ia sudah tak kembali, kurasa, tak akan pernah kembali. Diam-diam, ada yang bergemuruh di dalam dadaku.
***
Satu bulan kemudian, ketika istriku tetap setia menunggu di depan kios dan aku yang selalu duduk di balik bilik, bukan pria itu yang datang, tapi dua orang aparat tanpa seragam. Mereka memintaku untuk ikut bersamanya. Awalnya aku menolak, tetapi setelah mereka memohon, akhirnya aku bersedia. Mereka mengaku sebagai ajudan si pria tua. Lantas aku ditemani istriku dibawa ke gedung yang berwarna serba putih dengan orang-orang yang juga berseragam serba putih di dalamnya.
Di sana kami diantar menuju satu ruangan yang di atas pintunya tertulis ruang gawat darurat VIP. Kami dipersilakan masuk dan dua ajudan itu perlahan menyingkir dan undur diri. Aku berdiri mematung di depan pintu. Tak ada apa pun di sana, kecuali seorang dokter dan satu wanita yang sudah berumur sedang menangisi seseorang yang tergeletak dengan selimut menutupi tubuhnya di atas ranjang tepat di hadapannya. Ketika melihatku, wanita itu langsung menghambur memelukku erat-erat. Aku tak kenal wanita itu dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dan lagi, aku tak tahu posisiku sekarang tentang apa yang sedang terjadi.
Perlahan satu cahaya terang mulai terkuak, wanita itu adalah istri si pria tua. “Nak, suamiku sering membicarakanmu setiap hari,” wanita itu membuka percakapan. Tidak, itu bukan percakapan. Aku hanya diam dan membiarkan wanita itu. “Dia selalu bilang mau bercakap-cakap denganmu.” Tetapi kenapa aku, bukan istriku? batinku.
Ia lantas bercerita, “bahagia tak pernah memeluk hidupnya. Ia dirundung kesedihan bertubi-tubi,” ucapanya pelan. “Dulu suamiku adalah pemuda miskin yang jatuh cinta dengan anak seorang pengusaha. Mereka saling mencintai, tetapi orang tua si wanita tak merestui hubungan mereka. Pada akhirnya mereka silariang ke daerah lain. Di tengah-tengah pelarian, anak mereka lahir. Setelah orang tua si wanita tahu kalau anak mereka telah melahirkan, rasa iba mereka muncul, tak tega melihat satu-satunya anak perempuan mereka hidup sengsara dalam pelarian. Akhirnya si wanita dipanggil pulang bersama bayinya, tapi tanpa si pemuda, yang sekarang sudah menjadi suamiku,” ia menghentikan ceritanya, mengusap air matanya yang perlahan mengalir.
“Suamiku ditinggal sendiri dan hampir mati dibuatnya. Hingga ia bertemu denganku. Dulu kami teman satu sekolah. Aku mencintainya dan memutuskan untuk menemaninya melewati masa-masa kelamnya. Lama-kelamaan, ia juga mulai tertarik denganku dan akhirnya kami menikah. Semenjak itu ia mulai bangkit dan berjuang. Yah kami berjuang bersama selama bertahun-tahun, hingga ia mendapatkan posisinya sekarang, mulai dari jabatan, rumah mewah, mobil, dan kehormatan. Namun hanya satu hal yang ia tak miliki: kebahagiaan. Ia tak pernah bahagia dengan apa yang dimilikinya. Aku selalu tahu bahwa cintaku tak pernah bisa menggantikan cinta pertamanya, dari wanita itu. Demi kebahagiaan suamiku, aku mencari tahu kabar tentang keluarga wanita itu. Kabar yang sampai mengatakan kalau keluarganya sudah bangkrut. Aku bersama suamiku mencari-cari keberadaan keluarga itu selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Hingga kami tak menemukan apapun, kecuali pusara mereka, yang konon meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Kamu tahu nak, di mana keluarga itu berada?” tanya wanita itu, membuatku sedikit terkejut karena tak siap dengan pertanyaan tiba-tiba. Aku hanya menggeleng.
Aku tidak mau menerimanya bukan karena aku sombong. Kami memang hanya rakyat biasa yang kurang berada, tetapi kami masih ada harga diri. Mungkin ia pejabat yang sedang mencari suara untuk pemilu mendatang. Atau ia menyogok agar nanti bisa menggusur lapak-lapak kami. Dan kemungkinan terburuk, seperti yang pernah aku katakan kepada istriku, mungkin ia pria tua genit belaka yang mencari perhatian istri orang. Istriku tertawa besar mendengar kecemburuanku.
“Kami menemukan kuburan mereka di daerah Pare-pare. Dan suamiku tiga kali dalam seminggu berziarah ke sana. Kamu pasti bisa menebak hari apa saja, karena ia selalu singgah di kiosmu membeli dange, untuk selanjutnya ia persembahkan dange itu kepada istrinya. Iya. Kamu tidak salah dengar, nak. Untuk istri pertamanya.” Wanita itu diam sesaat, menatapku yang bertanya-tanya, kenapa dangeku, untuk orang yang sudah mati?
“Saat itu, hatinya hancur berkeping-keping mendapati kalau cinta pertamanya sudah mati. Ia sedih selama berhari-hari, hingga akhirnya ia jadi penyakitan. Dokter tak bisa berbuat banyak untuk kesembuhannya. Hampir saja ia mati kalau tak menemukan setitik cahaya. Anak mereka masih hidup sampai sekarang, satu-satunya harapannya. Aku ikut bahagia karena selama puluhan tahun pernikahan kami belum dikarunai seorang anak. Dan pada akhirnya ia menemukan permatanya yang hilang. Anak itu kini sudah dewasa. Ia berjualan dange di jalan Poros Pangkep-Barru. Anak itu adalah kamu...” wanita itu berhenti. Air matanya mengalir tak terbendung. Aku dipeluknya erat-erat. Namun aku hanya diam mematung, sampai aku diberi sebuh surat, katanya dari suaminya.
Untuk Baco, anakku terkasih,
Maaf telah membuatmu menderita selama ini. Bertahun-tahun aku mencarimu hingga takdir akhirnya mempertemukan kita, di sebuah kios beratap rumbia. Aku terharu mendapatimu berjuang hidup dengan berjualan dange. Tak usah malu, ibumu di akhirat pasti bangga mengetahui anaknya adalah penjual dange paling lezat sedunia. Begitu pula aku yang sangat bangga kepadamu, begitu merindukanmu. Ingin rasanya aku berhambur memelukmu, mengajakmu tertawa bersama dan mengobrol panjang tiap kali aku singgah di kiosmu. Namun aku takut. Aku takut kamu tidak menerimaku sebagai ayahmu setelah semua ini. Yang bisa kulakukan untuk melepas kerinduanku hanya datang mengunjungimu tiga kali dalam seminggu, di hari yang sama aku datang menjenguk ibumu di peristirahatannya dengan membawa hadiah terindah untuknya: dange buatan anaknya sendiri. Namun aku selalu merasa gagal sebagai ayah, anakku. Maka kumohon, terimalah semua pemberianku, karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Istrimu cantik. Ia baik hati dan enak diajak ngobrol. Aku sudah menganggapnya anakku juga, meskipun aku tak tahu apakah ia menggapku sama, sebagai orang tuanya. Tak mengapa, karena ia istri dari anakku satu-satunya, yaitu kamu.
Nak, ketika kamu membaca surat ini, itu artinya aku sudah pergi untuk selama-lamanya. Terakhir, terimalah semua harta warisan dari ayahmu yang tak tahu diri ini. Kumohon! Dan anggaplah Halimah, istriku kini, sebagai ibu kandungmu. Kuharap ia sudah memperkenalkan namanya kepadamu, karena ia memang selalu lupa memperkenalkan namanya. Namun ia akan selalu mencintaimu. Terima kasih. Aku pergi...
Sambung Masse
Betul namaku Baco. Lengkapnya Baco Masse, dan aku baru sadar kalau nama terakhirku diambil dari namanya. Betul ibu dan kakek-nenek meninggal karena kecelakaan lalu lintas waktu aku berumur belasan tahun, entah kenapa hanya aku yang selamat, dan kini mereka sedang bersemayam di Pare-pare.
“Ayahmu baru saja meninggal tepat sebelum kamu sampai di ruangan ini,” kata wanita itu yang baru kutahu bernama Halimah.
****
Muhammad Zulkifli. Lahir di Pangkep Sulawesi Selatan, 17 November 1997. Ia alumni Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia pernah bekerja di UWRF 2022