Manisan Mangga
Mungkin begitulah takdir bekerja, Tuhan menyelamatkan hidupku sekaligus memberi Timin kesempatan berbakti pada ibunya. Timin sudah berniat membeli obat dengan uang hasil perasan keringatnya.
Orang tua tidak semestinya mengantar anak-anaknya dikubur. Sebagaimana hukum usia, yang tua akan melemah lalu mati berkalang tanah, sementara yang muda tumbuh semakin kuat dan berjaya.
Akan tetapi, kehidupan terkadang menipu. Dia tumbangkan yang muda sebelum sampai masa jaya hingga membuat perempuan itu bersimpuh dengan kepala merunduk rapuh. Anak lelaki satu-satunya, yang pamit bekerja, pulang diantar keranda.
”Saya berharap,” suara Pak Kyai berhenti, ”anak muda yang sebentar lagi akan kita kubur memiliki kebaikan-kebaikan yang bisa dikenang. Tolong bagi yang mengenalnya bisa memberi kesaksian.”
Pandangan lelaki berambut keperakan itu menyapu kepala-kepala yang tertunduk menekuri tikar pandan. Kalimat itu hanya mengambang, mengisi ruang udara yang sedikit panas sore itu.
Anak lelaki satu-satunya, yang pamit bekerja, pulang diantar keranda.
Beberapa jenak tak ada tanggapan. Kudengar helaan napas panjang dari Pak Kyai. Mungkin sebenarnya dia pun tahu akan sangat sulit mendapat jawaban atau meminta pengakuan kebaikan si mayit. Akan tetapi, tentu saja sesepuh desa itu tak bisa melewatkan kebiasaan kampung kami sebelum menguburkan jenazah. Secara bergilir, para pengantar jenazah: keluarga, tetangga, atau handai taulan, akan berbicara tentang kenangan baik si mayit.
Kali ini tak ada, semua mengunci rapat mulutnya. Hanya perempuan yang duduk di dekat kepala jenazah yang matanya basah. Dia terus menunduk, berduka sendirian di antara para pelayat yang berwajah datar tanpa segaris kesedihan.
Mungkin dia tak berharap apa-apa selain satu saja pengakuan bahwa anaknya pernah berbuat kebaikan, mungkin ada orang yang pernah ditolong anak lelakinya, atau yang pernah mengetahui kebaikan tersembunyi dari si anak. Setelah beberapa jenak tak ada suara, kulihat wajahnya mulai pasrah.
Jika Pak Kyai itu bertanya seberapa buruk si mayit semasa hidupnya, tentu akan dengan mudah mendapat jawabannya. Warga desa mungkin akan berebut menceritakan keburukan perilaku Timin semasa hidupnya. Keberadaannya menjadi beban, menjadi sampah yang membaui seluruh desa.
Akan tetapi, bagi ibunya sendiri, Timin adalah anugerah. Perempuan yang ditinggal kabur oleh suaminya itu melahirkan Timin di sebuah rumah kosong di tengah kebun mangga, sendirian. Juragan pemilik kebun mengizinkan mereka menumpang selama ibu Timin mau membantunya menjaga dan merawat kebun seluas dua hektaritu. Dia juga diperbolehkan menanam singkong, cabai, atau tanaman apa pun di kebun selama tidak mengganggu pohon-pohon mangga.
”Bagaimana, adakah yang ingin memberi kesaksian?” Suara berat Pak Kyai mencubit kesadaranku.
”Ya, dia baik,” ucapku kemudian, terdengar ragu, tetapi memecah keheningan di ruangan berukuran tak lebih dari dua kali tiga meter itu. Kami duduk bersila, di depan jenazah, berdesak-desakan kurang lebih lima belas orang, sementara yang lain di teras depan.
Jika Pak Kyai itu bertanya seberapa buruk si mayit semasa hidupnya, tentu akan dengan mudah mendapat jawabannya.
Seketika aku merasa semua orang sedang menatapku, menguliti kebohonganku. Mereka menunggu, mungkin sambil menahan napas, kelanjutan kalimat yang kulontarkan. Terutama perempuan itu, yang menatap penuh harap padaku. Kutemukan matanya menitik pelan.
”Alhamdulillah. Silakan jika ingin menyampaikan sesuatu,” Pak Kyai mempersilakan.
”Timin orang baik. Setidaknya begitu menurutku.” Aku menghela napas panjang, ragu. ”Dia… mengambil paksa tiketku,” lanjutku.
Seketika ruangan dipenuhi suara gumaman. Ibu Timin kembali menunduk, menyeka air yang telanjur jatuh di bawah matanya. Suara-suara itu berdengung seperti lebah, berbisik-bisik di depan, di samping, dan di belakangku. Mungkin mereka berpikir bagaimana mungkin perampasan tiket itu dianggap sebagai hal baik. Semua warga mengetahui bahwa salah satu kebiasaan Timin adalah merampas barang milik orang lain, seperti menjambret tas atau dompet orang-orang di pasar.
Semua orang masih menatapku, ingin tahu kelanjutan kalimat itu. Pandangan mereka mulai menyipit seolah memintaku tak meneruskan jika kalimat lanjutannya hanya akan melukai pemilik rumah. Dia menyelamatkan nyawaku dari kerusuhan di dalam stadion, itu satu hal, namun ada hal lain yang membuatku merasa harus memberi saksi atas kebaikannya.
Baca juga: Dugaan Terakhir
Timin, si bocah gemblung, kemarin malam mendatangi rumahku. Wajahnya kusut masai, pandangannya redup, dia terlihat berantakan—meski biasanya memang selalu berantakan, tetapi malam itu dia terlihat kacau seolah ada beban berat di pundaknya.
”Ibuku sakit,” katanya dengan suara lirih.
Aku menghela napas panjang, sudah hapal kelanjutan kalimatnya yang selalu berujung pada peminjaman uang dengan alasan untuk biaya pengobatan ibunya yang ujung-ujungnya kutahu itu kebohongannya belaka.
”Aku butuh uang,” lanjutnya.
Nah, kan, benar dugaanku. Aku bergeming, menatapnya dengan dahi berkerut. Aku sudah tertipu dua kali dan tidak akan untuk yang ketiga kalinya.
”Aku mau kerja,” lanjutnya lagi. Kedua lengannya bertumpu di atas paha, kepalanya menunduk. Aku berjengit, dahi berkerut, menatapnya tajam.
”Kau punya tiket untuk nonton bola besok malam?” tanyanya menoleh kepadaku. Ah, hampir saja aku tertipu lagi.
”Tidak ada,” ucapku sambil memalingkan muka. Kukira saat dia mengatakan ingin bekerja, dia akan bekerja secara benar, mungkin jadi kuli bangunan atau apa saja yang halal, bukan malah mencopet seperti kebiasaannya sebelumnya.
”Aku butuh tiket itu, aku harus bekerja. Di stadion pasti ramai, aku pasti bisa berjualan manisan mangga buatan ibuku di sana,” suaranya lirih.
Baca juga: Truk Bapak
Aku kembali mengerutkan kening, menatapnya bingung. Apa ini akal bulusnya yang lain? Dengan dalih menjual manisan mangga untuk mengelabuiku yang mengenalnya sebagai pencopet ulung?
”Harga mangga lagi murah, pemilik kebun mengizinkan ibu mengambil mangga untuk diolah. Dan ibu mengolahnya menjadi manisan mangga. Tetapi… belum ada seorang pun di pasar yang membelinya.” Dia berkata dengan lesu.
Ibu Timin perempuan berusia empat puluhan, tetapi terlihat lebih tua sepuluh tahun. Wajahnya penuh kerutan, rambutnya beruban, tulung punggungnya sedikit bengkok ke depan—mungkin karena terlalu banyak memanggul obat semprot bunga mangga. Orang-orang kampung tak mengusir Timin karena rasa kasihan kepada ibunya, malaikat yang selalu menjadi pembela Timin. Setiap Timin berbuat ulah dan warga memprotesnya, ibu Timin yang selalu meminta maaf dan mengambil tanggung jawab atas perbuatan anaknya.
Di kampung itu dan beberapa kampung di sebelahnya, mangga merupakan pohon yang banyak tumbuh atau di tanam di pekarangan rumah. Hampir setiap rumah memiliki mangga dan akan sangat aneh jika ada warga kampung dan sekitarnya membeli mangga. Aku tidak heran jika manisan mangga itu tidak laku di pasar yang hanya berjarak beberapa kilometer dari kampung.
”Kamu, kan, bisa beli tiket ke stadion,” ucapku tak mau menyerahkan tiketku begitu saja kepadanya.
”Aku sedang ndak punya uang. Ibu ndak mau aku belikan obat dari uang hasil mencopet. Ayolah, kamu, kan, bisa nonton lain kali.”
”Ndak bisa, ini pertandingan yang ditunggu-tunggu.”
”Halah, palingan klub jagoanmu, yo, kalah lagi. Aku bilangin, ya, klubmu akan susah menang kalau lawan sama klub kota sebelah itu.” Ucapan Timin membuat emosiku tersulut.
”Heh, ojo sembarangan kamu, ya.”
Aku berdiri dan mencengkeram kerah kaus Timin. Dia menarik sudut bibirnya ke sisi sebelah kiri, terlihat sekali meremehkanku. Dia kemudian melepaskan tanganku dari bajunya, lalu tanpa berkata apa pun dia pergi. Di atas motor, dia memanggilku yang masih berdiri di teras dengan wajah kesal.
“Terima kasih tiketnya,” teriaknya.
Dia melambaikan tangan sambil berlalu ke luar halaman. Sial. Timin mencopet tiket yang baru tadi kudapat dan masih tersimpan di kantong belakang celana. Itu adalah tiket satu-satunya dengan harga terjangkau yang masih tersisa di calo langgananku. Semakin mendekati hari pertandingan, harga tiket semakin mahal.
Aku mengumpat sambil menendang kaki meja di hadapanku. Barang yang sudah ada pada bocah gemblung tentu akan sulit untuk kembali. Dan aku hanya bisa menggerutu semalaman sambil mencari cara mendapatkan tiket baru.
Sial. Timin mencopet tiket yang baru tadi kudapat dan masih tersimpan di kantong belakang celana. Itu adalah tiket satu-satunya dengan harga terjangkau yang masih tersisa di calo langgananku.
Sayangnya, aku sama sekali tak menemukan jalan mendapat tiket baru hingga malam pertandingan. Sempat ingin nekat, menyelinap atau naik ke pagar stadion, tetapi kuurungkan karena tiba-tiba saja malam itu hujan deras. Jarak antara kampung dan stadion mencapai lima belas kilometer. Malam itu, aku duduk di pojok kamar sambil mencaci maki si Timin.
Pukul dua belas malam, aku tersentak, dikejutkan oleh kabar bahwa terjadi kerusuhan di dalam stadion. Sebuah stasiun televisi bahkan mengabarkan ada banyak korban meninggal. Aku mencoba mencari tahu kabar teman-teman yang pergi ke stadion malam itu. Sebagian ada yang berhasil selamat dan sebagian lain belum merespons pesan yang kukirimkan. Aku melewatkan malam itu dengan perasaan cemas.
Pagi hari, kabar buruk itu datang. Timin meninggal. Dia dikabarkan menjadi salah satu korban kerusuhan. Kedua lututku tiba-tiba saja lemas, membayangkan andai Timin tidak merampas tiket itu mungkin aku yang akan pulang sebagai jenazah keesokan paginya. Mungkin begitulah takdir bekerja, Tuhan menyelamatkan hidupku sekaligus memberi Timin kesempatan berbakti pada ibunya. Timin sudah berniat membeli obat dengan uang hasil perasan keringatnya.
Bukankah Tuhan tetap akan memberi ganjaran pada niat baik? Aku menoleh kepada ibu Timin yang sedang menatapku dengan linangan air mata.
Baca juga: Surat untuk Emak
Puspa Seruni, penulis yang berdomisili di Jembrana, Bali, terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.