Puisi-puisi Ranang Aji SP
Ranang Aji SP adalah penulis sastra, baik puisi, fiksi, maupun nonfiksi. Saat ini tinggal di Magelang.
Masa Depan Indonesia
Bagaimana jika:
Masa depan Indonesia adalah anak-anak yang tumbuh
bersama mitos, tanpa empati, dan kurang gizi
satu anak membaca buku, sembilan ratus sembilan puluh
sembilan lainnya menonton layar dan berteriak:
Buku adalah jendela dunia, itu kuno, sebab seratus ribu
kata bisa diringkas dalam gambar dan foto memikat,
lalu,
mengubah diri menjadi Pigmalio, jatuh cinta pada
Galateia: foto selfie di hapehape dan bertukar di media
sosial untuk bertukar pujian
Bagaimana jika:
Masa depan Indonesia adalah cahaya tanpa tanda, tak
ada siang tak ada malam. Kehilangan diri, kehilangan
waktu. Tak ada akhir dari ujung yang tak ada. setiap
langkah adalah reducto absurdum.
Anak-anak tumbuh dari rasa kedengkian orang tua.
Berkembang bersama iklan dan korupsi. Keinginan
menikmati kesenangan mitos iklan dari anggur merah,
kosmetika Afrodit dan rasa cinta diri Narkissos.
Bagaimana jika:
Di sekolah murid menggugat guru, dan pendidikan bukan
formasi nilai-nilai, tapi soal bagaimana pragmatisme
bekerja, bagaimana cara mencari duit, dan ujungnya
korupsi adalah satu cara praktis.
Sebab kita sedang berbisnis, itu faktanya. Setiap ilmu
ada harganya, untuk itu murid harus membayar mahal.
Oleh sebab itu, guru adalah Pelayan, dan murid adalah
Raja. Murid berhak berteriak tanpa hormat. Murid
berhak saling membuli, mungkin tawuran sesekali.
Bagaimana jika:
Masa depan Indonesia adalah semesta tanpa harmoni?
tak ada burung, tak ada pohon, hanya gedung, dan
gunung seperti tumpukan pasir, tanpa air, orang-orang
terpanggang matahari, dan keadilan adalah versi-
subversi
Kita mungkin akan serupa Idiocrazy.
Baca juga: Puisi-puisi Aliurridha
Sebelum Sempat Mencintai
Aku melihat perang sebelum sempat mencintai,
anakanak menangis, kemudian diam oleh besi berapi. Di
tepi kali aku melihat darah merah berkilat oleh rasa
benci, dan tawa aneh keluar dari sela pohon ceri.
Seorang gadis termenung di ladang jagung, menanti
kekasih tak kunjung kembali, di langit berkilat oleh rasa
ngeri
perang perang perang
Yah, semua orang menuju kematian, punah oleh rasa
amarah, dan aku melihat perang sebelum sempat
mencintai
Baca juga: Puisi-puisi Hasan Aspahani
Musafir
Aku menjadi musafir setelah kehilangan jalan, mencari
waktu pagi di ujung malam, berdiri di antara dua latar,
hutan di kiri dan satu di kanan, semuanya berwarna
hitam, sama dalam kegelapan. Tak ada pilihan.
Di kota dan di desa, aku menemukan anak-anak tanpa
tapak, bisu, tersesat dalam algoritma, dan orang tuanya
menyimpan password dalam layar. Di halaman ada
kotak suara, tapi tak pernah bicara.
Aku pergi dan menjauh, berjalan dan membungkuk di
semak-semak, memunguti memori.
Masa kecilku dalam kenangan, mengejar bayangan,
berlari kereta api, hai! kemana bawa ayah pergi, dan ibu
menangis di bawah kaki
Tiga puluh tahun kemudian, aku adalah musafir tanpa
mengerti, tersesat di hutan-hutan, menandai yang
ditandai, mengaku yang bukan aku, mendengar pemuka
agama berebut kebenaran. Maka, jadilah malam-malam
dan satu bintang sebagai penunjuk jalan, tapi aku tetap
dalam kebimbangan, sebab
memutuskan adalah kehilangan, seperti lahir dalam
ketidaktahuan. Mungkin itu lebih baik, meninggalkan
stasiun menuju kota tak bernyanyi, mencari waktu di sudut
tepi,
tetapi, tetap saja, di sana sama saja: trotoar sempit dan
lampu mati, tiang listrik tegang berdiri,
kegelapan hutan
Dan lima gelandangan kencing di bawah bulan mati, bau
pesing dan tikus berlari. Astaga! Aku masih tak juga
mengerti, musafir yang bingung sendiri
aku mencari arti?
Baca juga: Puisi-puisi Eko Setyawan
Konser
panggung besar bercahaya seribu warna ditatap mata
berkilat, dan musik seperti dentuman riang yang
menggugurkan daundaun pohon surga. Tangan-tangan
diangkat menyerahkan hati pada langit, menari bersama
bidadari.
semalaman keringat jatuh ke bumi berkilau seperti
manik-manik peri, dan teriakan gembira itu hilang, rasa
senang lelah di lapangan.
tapi semalaman, bersama cahaya dan api, ada teriakan
kematian oleh rudal-rudal yang menyambar kehidupan,
bumi membara, bergetar oleh dentuman, rasa sakit dan ketakutan.
di langit para malaikat sibuk mendata, siapa nyawa pergi
tanpa raga.