Puisi-puisi Eko Setyawan
Eko Setyawan, lahir di Karanganyar, 1996. Alumnus Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret.
Agitasi dan Igauan Harimau Madiun
: Sentot Alibasyah
1/ Muasal
sejak kapan kehidupan dimulai?
aku ada sejak pertama kali kau dengar tangisku
tapi semua tak melulu begitu.
aku lahir dari masa lampau
dari tubir hening di kerajaan ayah.
kesunyian adalah darah daging dari hidup
ia ada dan membersamai
ketika dunia benar-benar pertama kali dimulai.
siapa mempercayai sunyi
jika itu hanya alibi
agar kematian tak lekas datang
dan hari-hari mendatang luas terbentang?
di madiun, tangis pertamaku terdengar
dari mulut ibu aku tahu segala sesuatu
dari ritus yang ditanam di lidah dan cintanya padaku.
(Bengkulu, 2023)
2/ Hidup
sesungguhnya, siapa kau?
aku batu
dilahirkan dari kekeraskepalaan ibu dan ayahku.
kematian mengajari kami hidup
ketika di tubir takdir, hanya tampak bayang-bayang kekuasaan.
nasib hanya seujung kuku pendatang
dan kejayaan tak pernah bisa jelas dipandang.
angin musim bertiup
pun hidup yang perlu berlanjut.
aku batu.
aku berangkat dari kekecewaan
sebab kematian bisa datang dan pergi
tanpa sesiapa mengetahui.
kelak aku menjelma takdir
bagi hidup mereka yang mematikan ayah.
sebab aku batu. aku batu.
aku batu pencabut nyawa mereka
yang semena-mena pada tanah kelahiranku.
(Bengkulu, 2023)
Baca juga: Puisi-puisi Pilo Poly
3/ Luka
lalu untuk apa kau ada?
aku keras kepala
kematian ayah tak pernah bisa kuterima.
aku kehilangan.
dari kehilangan aku belajar menerima.
tapi penerimaan telah punah dari kepala
sebab kematian tak bisa terus berlanjut.
kematian ayah menuntut balas
aku tak mungkin berdiam diri dan memelas.
balas dendam adalah wajah lain dari keberanian
meski kadang harus menerima dengan hati yang lapang.
tapi aku bukan nabi
yang selalu menerima tanpa merasa tersakiti.
wajah itu menjadi bayang-bayang dalam tidurku
aku meyakini itu bukan hanya igauanku.
dalam tidur yang panjang
kesedihan ayah terus meluap menerjang.
luka ini masih membekas.
hatiku telah kebas.
(Bengkulu, 2023)
4/ Dendam
apa kau tak belajar memaafkan?
sapu tangan yang terlipat di saku
tak lekas bisa mengusap kucuran darah.
luka diri bisa saja dibebat
tapi siapa yang hendak menyelamatkan luka hati
ketika di hadapanmu kau melihat kematian ayahmu.
di kepalaku burung-burung bernyayi
aku ragu, itu prenjak atau ababil yang hendak melempar batu.
halimun samar-samar lindap dari hadapan
tapi dendam kian hari makin menebal
serupa dinding yang mereka buat
di kota-kota kekuasaan.
dendam ini seperti harimau
kapan saja akan menerkam mereka
yang berbuat semena-mena dan kejam.
aku menanam dendam di kepalaku.
mungkin juga di kepalamu.
(Bengkulu, 2023)
Baca juga: Puisi-puisi Emi Suy
5/ Maut
jika maut menjemputmu, apa yang kau lakukan?
seumpama maut
akulah takdir yang tak bisa dilawan.
aku anak panah yang melesat
tujuanku jelas dan tak bisa dibantah.
sesekali aku akan jadi matahari
sesekali jadi rembulan
sesekali pula aku jadi teror mengancam.
tak pernah kubiarkan kompeni belanda lebih lama di sini
meski kutahu, aku tak bisa apa-apa
Tanpa Tuan Diponegoro
yang membakar amarah dalam diri
untuk melawan dan mengusir mereka pergi.
maut ada diujung peluru
tapi aku peluru yang mereka lepaskan
sebab mereka pula yang akan kubinasakan.
sebab aku maut.
sebab aku yang berhak menjemput.
(Bengkulu, 2023)
6/ Takut
apakah kau tidak takut?
ketakutan lesap dan beringsut di ketiak
ketika kompeni datang
dan hari-bari setelahnya
tak jauh dari kata perang.
aku harimau yang tak segan menerkam.
kuikuti tiap langkah kaki
dan dikejauhan, ketika sampai di tempat sepi
akan kuhampiri mereka seraya berkata:
aku malaikat mautmu!
aku mempimpikan saat-saat itu.
dalam pejam mataku, mimpi itu tumbuh dan mekar
aku melihat mereka bimbang dan ragu
sebab aku berdiri gagah serupa Jibril
dalam bayang-bayang di kepalaku.
ketakutan telah lama lesap
sebab akulah ketakutan yang kuciptakan.
mencipta teror. membalur tangan yang kotor.
di hari-hari yang lain
aku adalah Izrail.
(Bengkulu, 2023)
Baca juga: Puisi-puisi Fakhrunnas MA Jabbar
7/ Sollewijn
kau anggap apa mereka yang ada di hadapanmu?
di Progo Timur
aku melihat penderitaan demi penderitaan yang tiada henti.
di sana orang tak bersalah jadi korban karena amarah.
aku kobaran api.
aku melahap semua yang semena-mena
dan kupikir mereka yang bersemayam di ketiak Sollewijn
Tak lebih dari babi.
aku harimau.
aku menerkam siapa saja
yang membuat orang lain menderita.
perang pecah
diam tak pernah mampu menghapus kesedihan
dan lari adalah pengkhianatan
sebab pengecut selalu tak peduli
dan hanya memikirkan diri sendiri.
aku melihat penderitaan di hadapanku
dan kuanggap itu panggilan jiwa
yang harus kupenuhi dengan menjadi api.
tapi dadaku berontak
ketika Sollewijn berbuat sesuka kehedak.
sebab aku tak kuasa melihat derita.
dan aku telah menjelma yang lain
seperti api, seperti harimau
seperti amarah yang berkobar di hari-hari berikutnya
dan tentu pada Diponegoro aku akan bersetia.