Puisi-puisi Adri Sandra
Adri Sandra lahir di Padang Jopang, Payakumbuh, Sumatera Barat, 10 Juni. Menulis dari tahun 1981 berupa puisi, cerpen, dan karya ilmiah. Beberapa puisinya tercatat sebagai pemenang Lomba Cipta Puisi Nasional.
Ilustrasi
MENGIKUTI ARAH JALAN BOLA
tahukah engkau, di dasar danau buatan itu dulu luas perkampungan
lapangan bola kaki di mana anak-anak, remaja dan lansia bermain
bola itu tertinggal saat air telah menggenang
kini engkau lihatkah bola itu mengapung di permukaan danau
bertahun-tahun dipermainkan angin dan riak tak sanggup membawanya ke tepian
seorang lelaki tua berdiri di bawah siraman hujan bersama cucunya
menunjuk sebuah bola tak jauh dari tempat mereka berdiri
”itu bola kakek! Itu bola kakek!”
dua pasang mata itu mengikuti arah jalan bola
angin membawanya bermain diarak menuju dua bukit
yang berdiri seperti tonggak gawang
”ia semakin jauh, engkau lihatkah bola itu
menjadi sebuah titik, berlayar tanpa perhentian?”
cucunya menggeleng, saat titik itu
hilang timbul di biru batas pandang
tahukah engkau, angin yang dulu dipompakan
tak pernah meninggalkan bola itu
kini berjarak jauh dari ayun langkah kakimu
hujan turun semakin deras di danau itu
saat bola itu hilang dari pandangan
Payakumbuh, 2022
DARI TANGGA KE GONJONG
kujalin kata jadi pantun dan gurindam
dalam alur dan patut
telaga yang melimpah di musim kemarau
sebatang pohon yang ditanam nenek moyang
tempat anak cucu berteduh akan selalu rimbun
tanpa gugur daun
dari tangga ke gonjong adalah tempat kau membaca
berguru dan memahami kearifan dan keadilan
di bawah tangga itu diletakkan sendi
tempat engkau berpijak sebelum melangkah
agar kau jangan tersesat di jalan kelam
yang penuh duri-duri tajam
Koto Nan Godang, 2022
AKU LUPA, INI TAHUN BERAPA
lalu, ke manakah hari-hari yang kau lewati itu pergi
warnanya kian pudar, seperti hijau daun yang tak lagi dikenali tampuk
dan kau mendirikan hari yang lain, menggeser kejadian jadi kenangan
mungkin setelah matahari muncul dari pertama tahun itu
engkau mencium perubahan, melihat kebenaran dikuburkan
kebodohan ditanam, dipupuk dan dipelihara
begitu pula puisi yang ditulis di bawah terang lampu
mereka baca dalam kelam, mengutuk setiap baris kata
tanpa menyalahkan gelap yang mendinding matanya
pada hari-hari di muka engkau akan melihat orang-orang itu berjalan
dalam gulita, di bawah matahari tanpa selintas awan
”pohon-pohon itu subur dan berbuah!”
”ia milik bersama, dipupuk dan dipelihara!”
”kegelapan, adalah matahari kita!”
suara-suara itu berbenturan dengan cermin di hadapannya
suatu senja; garis pergantian siang dan malam
di sebelah kananmu kau akan melihat
orang-orang menggali kebenaran yang dikuburkan
di sebelah kirimu, orang-orang menukar dan menakar
daging sayatan tubuh sendiri dan saling mencicipi
”lalu, ke manakah kau saat itu?” tanyamu
jawabku: ”aku berdiam di sini, di pinggir jantung hatimu!”
maka, engkau memandang terang dan gelap bergulung
di hadapan ombak tanpa lautan; badai dan topan bersulang
aku lupa, ini tahun berapa saudaraku?
Padang, 2022
AKU INGAT DANAU ITU
hanya embun mengukur pagi yang jauh
di mataku samar bayang-bayang daun gugur; ah, aku ingat danau itu
di mana segalanya lenyap dan tujuan ke alamat jadi putus
aku pun jadi pengembara di tanah sendiri, mendengar desir riak
atau juga sipongang kehilangan gema, pagi lenyap
seiring naiknya matahari
pada malam, tak ada kerlip lampu perahu
dingin dan gelap bersetubuh, sepanjang tepian riak tak disentuh angin
embun menutupi seluruh jejak yang ada di pasir
ah, aku ingat danau itu; yang memisahkan mimpi dari tidurku
memisahkan langkah dari kakiku
Koto Panjang, 2022
Baca juga : Puisi-puisi Kedung Darma Romansha
MEMBACA GERAK DAUN
kupilih bulan ini, tanah subur tempat aku menanam
ruang yang membesarkan pohon dan burung-burung memakan buah
matanya membersitkan matahari pagi, menyinari malam-malam berikutnya
kunikmati pemandangan itu, membaca gerak helai-helai daun
dan bayang-bayangnya menancap di pintu jendela
kupilih bulan ini, tanah tempat aku memanen
mencabut dan membakar benalu yang tumbuh di pohon-pohon itu
aku percaya pada kebaikan dan orang-orang baik
yang berjalan dalam bulan mulia, menahan segala nafsu
di dalam mata burung-burung yang damai, bertengger di dahan yang kukuh
dan aku percaya, Allah memberi kekuatan
saat menahan segala larangan
Payakumbuh, 2023
SEORANG BAYI LAHIR DARI ABU
adakah yang lebih menyala dari api?
katamu: ”mereka sedang bermimpi pada simpang-simpang jalan
dengan mata terbuka!”
ruang ini tak ada waktu buat mencatat tetes air hujan
dari awal januari sampai akhir desember
mereka melangkah melewati pohon-pohon mati
yang tumbang oleh angin kencang
beberapa jembatan telah mereka bangun
untuk menghubungkan gelap pada siang
di antara bayang-bayang berbaris panjang
mereka melihat jarum arloji di balik kacamatanya
api itu tak meretas seperti mimpinya
membakar kemerdekaan di ujung jari-jarinya yang panas
pulau-pulau yang semula dingin, dinding laut temaram
senja dan malam membujur di dada kesunyian
mereka memotong dahan-dahan kayu mati
membagikan pada setiap yang melewati jembatan itu
siang itu, tak ada pemandangan selain tanah gundul
memasir berangsur-angsur jadi batu
ia telah memindahkan mereka ke pulau-pulau yang sama
membakar api dengan nyala tubuhnya
di tanah ini tak ada yang tumbuh karena waktu tak menyentuhnya
dan kematian tidak pernah melahirkan tunas-tunas baru
ya, aku di sini; menonton pembakaran api itu
di sisiku, seorang bayi lahir dari abu
Payakumbuh, 2023
AKU JADI POHON TUA
setiap kali aku datang, o rumahku yang hening
di sini dulu suara-suara berjatuhan, kupungut dan kumakan
membesarkan jiwa dan pikiran
pohon-pohon suara itu mengajarkan aku memandang
menafsirkan dunia, memahami makna dari rimbun hijau daunnya
kadangkala gugur di batu-batu kerikil
setiap kali aku datang, hanya bayangan berjuntai di tangga kayu
aku tak memiliki lagi suara-suara itu yang jauh di jalan keabadian
dan keheningan tersangkut di jaring kesunyian
kini aku pun menjadi pohon suara, tumbuh di rumah berbeda
dengan warna suara dan daun yang sama, di alam tak serupa
rumahku yang hening, o kesunyian yang kekal
daun-daun menguning ditinggalkan hijau waktu
suaraku berjatuhan di lantai batu
menggelinding ke dinding napas dan usiaku
aku jadi pohon tua, seperti bapak dan ibu
jelang meninggalkanku
Padang Japang, 2023
Baca juga : Puisi-puisi Mohammad Isa Gautama
KEMARAU MERINDU HUJAN
marilah, Olaga
dari dataran benuamu yang dingin
hembuskan dingin saljumu ke pundakku
di sini, sudah lama aku menunggu hujan
dan payung yang kupakai mulai mencair di kepalaku
kemarau amat panjang di negeriku, Olaga
mengeringkan darah dalam tubuhku
Payakumbuh, 2023
POHON SEBELUM AKAR
setiap kali ia memandang, jalan itu tak berubah
rindu memanjang, ia semakin jauh di bawa waktu
kenangan meruncing di batu-batu
di mana dulu bapak dan ibu memikul beban
rona darah di telapak kaki
dan luka nasib di kedua tangan
”aku pohon yang tumbuh di tanah padas
dihidupkan akar, dari batang melahirkan tunas”
begitulah ia sadar, akar yang mencintai batang
menjalar dalam tanah, menumbuhkan pohon besar
”aku bukan Adam dan bukan Hawa
yang tak pernah mendoakan kedua orang tua
karena ia tak punya ibu dan bapak”
kita menjadi pohon sebelum akar
kita menjadi akar membesarkan pohon
siklus itu berjalan sejak kehidupan bermula
suatu waktu ia percaya rindu sebagai kapal
berlayar dalam waktu menuju dermaga
saat sampai ia menjumpai segalanya kekal
dan pohon-pohon yang ia tinggalkan jadi akar
setiap kali rindu itu datang dan memanjang
ia bersimpuh di bilik kenangan
setiap saat ia menadahkan kedua telapak tangan
doa-doa berlayangan, seperti burung-burung terbang
hilang dari pandangan
”tuan, adakah dirimu bagian dari diriku?”
pohon-pohon ia lihat menggugurkan daun
di tanah diriku, pada ibu anak-anakku
rindu pun kian memanjang, pelayaran kian jauh
semakin dekat ke perhentian
waktu meninggalkannya, meninggalkan kami
di pulau tak tersentuh mata
Ujung Tanjung, 2023
PADA SEBUAH RUANG
ada yang menggelembung di rongga tahun ini
yang semula bening, berubah abu-abu
konon, ia selalu bermimpi tentang langit tinggi
berpijak di awan biru
di matanya berjuta kerlip bintang
ia lupa pada bulan dan matahari
dan ia memadamkan semua lampu
konon, ketika terjaga di hadapannya gelap meninta
lapar lambungnya, gemeretak giginya
menggerogoti kaki kursi
lalu ia kembali tidur dan bermimpi
bercakap-cakap dengan bayang-bayangnya
menetaskan beribu janji
”siapakah tuan ini?”
konon, di ruang gelap itu hanya ia yang tahu
sambil menelan seluruh janji
Tanjungpati, 2023
Baca juga : Puisi-puisi A Warits Rovi