Puisi Kedung Darma Romansha
Kedung Darma Romansha, kelahiran Indramayu. Novelnya yang berjudul ”Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat” masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa dan buku rekomendasi ”Tempo” 2017.
Kongsi
(Teringat Rendra) Bersama Pyanhabib
bagaimana kalau kita berkongsi, tuan
duduk menapuk angin yang nyeleweng
meniup abun-abun kita.
bikin lena mata bikin percuma usia.
bicara sungguh tentang penyair
sebab aku tak tahu
berapa butuh penyair untuk sebuah negara
berapa buku puisi didaur ulang menjadi tisu tiap tahunnya.
lalu apa yang kaupikirkan tentang tisu?
malam tiba-tiba menggelinding ke arah kita
seolah bertanya:
”Kenapa begitu banyak orang ingin jadi penyair di negaramu?”
tentu hidup itu bukan pilihan bukan, tuan penyair?
berada di mana aku-mereka
sebagian menghindar sebagian mengejar kepayahan
sebagian mencibir sebagian merasa setengah nabi
sebagian merasa seperempat Tuhan sebagian merasa wali Tuhan.
tidak ada penyair, tuan!
yang ada penyair sebagian.
sebagian menulis puisi sebagian mengetik proposal
sebagian lapar sebagian selfie di media sosial.
”Kenapa begitu banyak orang ingin jadi penyair di negaramu?”
tentu hidup itu bukan pilihan bukan, tuan penyair?
Kota Bharu-Kelantan-Yogyakarta, 2016
Baca juga : Puisi-puisi Mohammad Isa Gautama
Kesadaran
bercak-bercak cahaya matahari
mengotori matamu
yang malam dan sunyi.
ketika gemuruh hatimu mesti diredam
oleh kebijakan dan kesadaran.
selalu begitu cuaca mengenalkan
cara menatap duka
saat lagi kau tak kenal
bulir-bulir keringat
yang nyangkut di bulu matamu
menyerupai kenangan.
demikianlah kesadaran
harus siap menerima
saat pintu kembali diketuk
saat kau lelap dalam tidurmu.
Simfoni Hujan
di luar hujan, sayangku
seperti aku yang kuyup dalam rindu.
selalu sayangku,
cuaca tak pernah mengajariku
untuk tetap diam dalam mengingatmu.
kau dengar ricaknya yang gaduh
mungkin itu rindu.
atau mungkin kau bunga
yang diam-diam mekar di malam hari
sewaktu gerimis jatuh dalam mimpi.
lihat, sayangku
pohon yang kita tanam
tak selalu tumbuh dalam ingatan
kecuali bayangmu yang deras di musim hujan.
Sa’ah al-Jabar
sudah berapa lama
mengawini jarak?
sehingga setiap warna aspal
tentu tahu berapa kali musim mampir,
tidur dan terbaring di atasnya.
seharian ini
masih saja menghitung jari-jari—
berapa mimpi yang harus dibayar.
genta yang menempel di telinga—
berapa bunyi yang harus didengar.
saat senja jatuh di kaki
matahari pecah di atas laut
ribuan orang melihat laut
kemudian berlaksa malaikat mengecat langit
mata mereka menatap langit
sayangnya, mereka buta cahaya.
Baca juga : Puisi-puisi Surya Gemilang
Simbok Gendong
ia seret kakinya ketika azan meleleh
dari pori-pori tubuhnya.
suaranya terjepit dalam doa
dan harapan di gelung rambut putihnya.
ia berjalan ke utara
ia gendong dolanan anak-anak
di bawah kembang langit subuh
dan alun-alun kidul tinggal satu kilo jaraknya.
ia panggul doa-doa
ia bicara pada angin subuh
tuhan bicara lewat dirinya.
di masjid orang mengumpulkan dakwah
jalanan mengigau dalam dakwah.
simbok gendong yang tegap hatinya
mendongkrak kepalaku yang batu
simbok gendong yang teguh hatinya
memecahkan batu di kepalaku.
Nama
”Kenapa ini dinamakan rokok?”
kamu tidak menjawab.
”Sebab ini satuan,
jika tembakaunya kubuang,
apa masih bisa dinamakan rokok?”
Taqorrub
semakin dekat cahaya
semakin besar bayangannya.
Bintang Jatuh
aku lihat bintang jatuh
tersangkut di bulan.
cahaya bintang padam
oleh cahaya bulan.
aku tak sempat minta sesuatu
karena sesuatu itu
ada pada dirimu.