Bagaimana Penulis Itu Mati
Maka sesaat setelah tubuh Lakong dikubur pada lubang enam kaki di bawah bersamaan dengan cita-citanya, orang-orang kemudian ikut menguburkan jenazah karya Lakong yang tak pernah dibicarakan.
Mungkin berdekade-dekade silam, atau berabad-abad yang lampau, sastra pernah menyelamatkan nyawa banyak orang melalui kata-kata yang membangun solidaritas secara tak langsung pada kaum-kaum proletar melalui pikiran patriotis, sehingga tercipta suatu masyarakat yang penuh keberanian untuk memperjuangkan ketidakadilan. Namun hari ini, sastra tidak menyelamatkan siapa-siapa.
Bahkan seseorang telah memutus tali kehidupannya sendiri untuk sastra. Dia adalah Lakong, telah meninggal sepekan lalu oleh sebab istrinya selalu mengomel perkara janji yang tak pernah ia tepati. Padahal kenyataannya, Lakong tidak pernah menjanjikan apa-apa saat melamar istrinya yang bernama Raulah. Ia hanya bilang, bahwa dia akan menulis dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rumah tangganya ke depan. Dan itu ditepatinya benar-benar, hanya saja istrinya tidak mengerti.
Lakong seorang penulis, atau dia mengakui dirinya sebagai penulis. Sebagai penulis, cita-citanya cukup sederhana, bahwa dia ingin menyadarkan banyak orang melalui tulisan-tulisannya. Motifnya adalah menjaga nilai-nilai luhur supaya tak luntur tenggelam dalam arus globalisasi yang kronis. Tulisannya adalah dia dan alam bawah sadarnya.
Lakong selalu menulis dengan jujur, dan tidak berusaha untuk terlihat sebagai seseorang yang pretensius. Setiap hasil akhir dari ramuan kata baginya adalah seonggok kentut. Semakin bau kentut itu, maka ia semakin merasa puas karena badannya sehat. Dan apabila kentutnya tidak memiliki bau, atau baunya tajam sekali sampai ia sendiri tidak mengenalinya, maka itu adalah penyakit.
Padahal kenyataannya, Lakong tidak pernah menjanjikan apa-apa saat melamar istrinya yang bernama Raulah.
Sebisa mungkin ia membuat kentutnya bau supaya ia jadi menyebalkan. Sebagai penulis, ia merasa Raulah menjadi seseorang yang menyebalkan. Dan hal yang paling menyebalkan di dunia adalah kejujuran. Serupa kentut, kejujuran tidak melulu dapat diterima orang. Karena orang tidak pernah selalu jujur. Bahkan dalam keadaan tidak mendesak pun seseorang berlaku bohong untuk sekadar gurauan dan kesenangan jiwanya sendiri.
Dia menulis hampir setiap hari, entah itu cerpen, puisi, esai, atau bahkan sekadar mengisi jurnal hidupnya di buku catatan rahasianya. Begitu pula ia tak luput dari kebiasaan membaca yang rutin ia lakukan, karena bagaimana ia mampu menulis apabila ia tidak banyak membaca. Namun sayang, usaha yang tinggi tidak berbanding lurus pada keberhasilannya. Sekali karyanya terbit di koran, tulisannya langsung tenggelam, dan begitu terus kariernya sampai ia mati. Sementara honor pemuatan tidak sebanding dengan pengeluaran rokok yang tergolong sebagai modal produksi karya-karyanya.
Sejatinya, karya yang tidak pernah dibicarakan adalah kesedihan terbesar seorang penulis. Dan itu terus ditanggungnya selama berpuluh-puluh tahun.
Sebenarnya ia tidak peduli uangnya, yang terpenting adalah banyak terbit supaya terkenal. Karena menurutnya, kemasyhuran akan diikuti oleh kekayaan, dan ketangkasannya menulis harus mendahului kemasyhuran.
Baca juga : Truk Bapak
Sepak terjangnya di dunia kepenulisan diawali semenjak ia duduk di bangku kuliah. Dia mengakui betul bahwa ia terbilang terlambat untuk memulai membaca sastra karena saat Lakong masih kecil, dia mengidap disleksia dan sangat benci membaca. Selayaknya anak muda lain, Lakong yang masih muda saat itu sibuk mencari jati diri dan substansi dari kehidupan.
Tetapi arus membawanya ke rawa-rawa yang sempat membuatnya tersesat. Lantas sepotong sastra Perancis menyelamatkannya dari keragu-raguan akan hidup. Dia benar-benar menggemari kisah seorang tokoh bernama Mersault yang mencari kebahagiaannya di tengah krisis eksistensialis, sehingga Lakong merasa terlahir kembali, dan yang paling membuatnya terpukau adalah keajaiban dari kata-kata. Justru kata-kata yang disusun dalam kalimat padu yang mengandung unsur estetis itulah yang mampu menggairahkan rohnya kembali.
Perjuangannya memang jauh betul dari penulis besar. Seperti Orwell misalnya, yang sudah membaca sastra di usia yang masih sangat belia. Bahkan pernah menulis puisi patriotis di umur sebelas tahun di kala Perang Dunia pertama pecah. Bayangkan umur sebelas tahun sudah memaknai perang, cukup ironis mendengarnya. Sementara Lakong baru mengenal cara mengatakan cinta tanpa mengucapkan kata cinta melalui puisi pertamanya di usia 22 tahun.
Namun meskipun begitu, Lakong tidak merasa pesimistis tentang nasibnya. Ia yakin, segala sesuatu selalu bermula dari titik nol, yang membedakan hanyalah waktu. Lagi pula dia merasa sedikit beruntung karena dapat mengenal sastra di usia otak dan jiwa yang terbilang cukup matang untuk mengolah isinya. Tetapi memang betul, berbicara tentang nasib seseorang tentu berbeda dan tak dapat diprediksi sama sekali. Sebab seminggu yang lalu, Lakong memutuskan suatu pilihan yang sangat radikal, bahwa ia memilih menyerah. Tidak hanya ia menyerah pada tulisannya, tapi juga hidupnya. Satu-satunya orang yang bakal dipersalahkan oleh Lakong barangkali adalah istrinya.
Perjuangannya memang jauh betul dari penulis besar. Seperti Orwell misalnya, yang sudah membaca sastra di usia yang masih sangat belia.
Lakong dan Raulah sudah menikah lima belas tahun. Terbagi dalam tiga fase pernikahan yang rumit. Lima tahun pertama adalah kebahagiaan, lima tahun kedua adalah keragu-raguan, dan lima tahun yang ketiga adalah pertikaian. Raulah selaku guru tetap di sekolah dasar pada mulanya enteng-enteng saja apabila suaminya menjadi penulis lepas yang tidak terikat pada instansi apa pun. Dia sempat menganut paham bahwa perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh sebabnya ia tak risau apabila kebutuhan rumah tangga dipenuhi dengan gajinya di awal-awal pernikahan, sementara Lakong mengurusi pekerjaan rumah sembari giat menulis.
Raulah mendukung betul pekerjaan suaminya. Ia terus berupaya menyemangatkan Lakong dalam menulis, bahkan dia rajin membela suaminya di depan orangtuanya sendiri. Karena Raulah memang betul-betul yakin bahwa suatu saat Lakong bakal jadi penulis besar. Oleh sebabnya, pernikahan mereka sempat terbilang sebagai pernikahan yang bahagia.
Tapi apalah daya, bagi seorang perempuan, mulut orang lain lebih berharga ketimbang mulut lakinya sendiri. Dia lelah mendengarkan ocehan orangtuanya, tetangganya, teman-teman gurunya yang lain perkara suaminya yang terbilang pengangguran. Hampir setiap hari Raulah menerima cemeeh-cemeeh orang, sampai lama-lama ia jadi meragukan suaminya sendiri. Sebab itu, setiap pulang dari mengajar di sekolah, ia berkata pada suaminya, ”Puisi apa yang kita makan hari ini?” dengan raut muka penuh kesinisan yang terwujud pada kedua matanya yang membelalak lebar-lebar penuh gairah oleh sebab naik darah. Sementara Lakong hanya diam, sesekali ia terkekeh dengan bibirnya yang kering akibat keseringan merokok.
Berulang kali Raulah menceramahi suaminya untuk mencari pekerjaan. Padahal setelah dipikir-pikir, rumah tangga mereka tidak kekurangan secara finansial. Dan mereka berdua memang telah bersepakat untuk tidak memiliki anak, karena kebutuhan memiliki anak di masa ini hanyalah bentuk keegoisan orangtua yang paling utuh. Bagi Raulah, ini hanya persoalan harga diri, hanya saja perempuan itu tidak mengakuinya di dalam hati. Setiap kali dia mengomel, selalu dalih yang dipakainya adalah keuangan. Bahkan sering apabila suasana hati Raulah kacau, ia mempertanyakan kelaki-lakian Lakong. Karena di pernikahan mereka, Lakong-lah yang lebih sering berada di dapur. ”Apakah kau tidak malu?” demikian kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi Lakong diam saja sambil terus mencuci piring. Mulutnya sudah sedemikian lelah untuk bercakap, apalagi berdebat.
Baca juga : Tak Dinyana
Sebenarnya kalimat itu tidak terlalu berarti bagi Lakong karena sudah sering terucapkan. Namun yang membuatnya bersedih adalah istrinya yang memintanya untuk berhenti menulis. Karena dia tahu betul, bahwa puisinyalah yang telah membuat Raulah merasa dicintai sepenuhnya oleh seorang lelaki untuk pertama kali. Kala itu, diam-diam Lakong menitipkan sepucuk surat tulisan tangannya, berisikan puisi lima baris tentang musim hujan, kepada temannya Raulah. Di waktu malam saat Raulah membacanya sambil telungkup di atas kasur, ia tidak dapat berhenti memainkan kedua kakinya dengan pipi yang memerah diburu asmara. Bahkan tebersit di pikirannya kala itu, bahwa inilah yang dinamakan cinta. Namun setelah menikah, puisi telah diam-diam membunuh jiwanya. Sehingga apa yang terjadi dengan cinta adalah wujud paling baru dari cinta itu sendiri di dalam dirinya.
Tak hanya Raulah, Lakong juga perlahan-lahan mulai teracuni oleh tulisan-tulisannya sendiri. Kian hari dia menjadi emosi, dan tulisannya pun kian emosional dan tak lagi rasional. Penderitaannya ini disebabkan oleh tulisannya yang kian lebih sering tak diterbitkan, sebab itu ia lebih sering diomeli oleh Raulah yang tidak pernah berhenti memintanya untuk berhenti menulis dan mulai mencari kerjaan tetap. Raulah sering menyalahkan puisi-puisi Lakong karena melulu tidak menghasilkan atau menyumbang apa-apa untuk rumah tangga mereka. Tapi Lakong tahu, bahwa puisi tidak pernah salah, oleh sebabnya ia tidak pernah berhenti untuk terus menulis hingga akhir hayatnya.
Berulang kali Lakong menjelaskan kepada Raulah bahwa, ”Dunia kepenulisan tidak seperti ring tinju, sayangku. Ini bukan perkara siapa yang paling kuat dialah yang menang. Melainkan selayaknya seni yang lain, siapa yang punya nama, dialah yang punya kuasa. Demikian hukumnya.” Dan apabila mereka sedang memperdebatkan hal itu, Raulah selalu menjawab, ”Persetan dengan dunia seni. Apabila seni tidak mampu membayar tagihan listrik kita bulan ini, maka ia tak ada gunanya!”
Lakong tak menyangka bagaimana pernikahan telah mengubah seseorang sedemikian berbeda dari orang yang pernah dikenalinya dulu. Andai kata ia mengenal pernikahan sebagai sesuatu yang seperti itu, pantasnya dia untuk tidak menikah. Lebih baik ia menjalani hidup lajang di jalan yang penuh sunyi.
Baca juga : Tentang Dapur
Lakong yang malang. Ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa selain menulis, karena hanya itu janjinya kepada Raulah. Sudah begitu lama ia tidak mengunjungi rumah mertuanya, bahkan tidak saat Lebaran sekalipun. Jiwa kelaki-lakiannya sudah begitu menderita setelah berulang kali didera satir-satir yang kian berkembang jadi keterusterangan. Itu gara-gara setiap bulannya, tagihan listrik dan uang belanja selalu dipenuhi oleh gaji istrinya sebagai guru, yang adalah seorang wanita. Barangkali hanya nasib perempuan yang dapat diubah, sedangkan laki-laki bakal selalu dikutuk dengan tanggung jawab yang sama selama berabad-abad untuk jadi sempurna.
Sudah sering Lakong mengingatkan istrinya untuk bersabar, tapi Raulah tidak pernah mengerti bahwa betapa kejamnya dunia kesenian itu buat Lakong yang bukan siapa-siapa. Terlebih daerah yang ditinggalinya itu jauh betul dari keberadaan ibu kota, sehingga ia sulit menjalin hubungan dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Lakong mengira seni modern tak lagi mendahulukan estetika, melainkan intrik dengan dalih mengejar orisinalitas yang berbalut eksperimental. Dia sempat menulis perkara itu dalam bentuk esai setelah ia melihat bagaimana mungkin lukisan yang hanya segoresan cat dari kain pel dapat lebih laku terjual dengan harga yang fantastis dibandingkan lukisan detail yang telah melalui proses panjang yang penuh jerih payah yang menjerit.
Lakong mengakuinya, bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat bertahan di dunia seni. Dan Lakong bukan salah satunya, karena dia memilih mati. Alasan di balik pengakhiran hidupnya adalah dia yakin bahwa kehidupan karya seorang penulis akan lebih baik pada saat pengarangnya telah tiada. Pemikiran itu muncul sesaat ia mengetahui bahwa ada seorang penulis yang menjadi terkenal setelah dia meninggal. Oleh sebab Lakong merasa terpojok (ia merasa maju kena mundur kena, karena apabila ia berhenti menulis itu berarti dia menghina dirinya sendiri, dan apabila ia melanjutkan yang ada ia bisa gila) maka ia mengimani dan mengimplikasikan idenya itu. Absurd betul pemikirannya, dan cukup ironis mengingat sepotong karya justru lebih hidup daripada penciptanya sendiri.
Namun seperti yang telah diduga sebelumnya, bahwa berbicara tentang nasib memang tak pernah bisa untuk diprediksi. Lantas setelah berita Lakong yang membunuh dirinya sendiri itu terpampang jadi salah satu artikel di koran dan media sosial, orang-orang tidak henti-henti mengatainya bodoh, kekurangan iman, bahkan menyebutnya sebagai manusia laknat. Orang-orang seakan tak terima seseorang membunuh dirinya sendiri atas kehendaknya sendiri, dan menganggap itu bagian dari kebodohan, bahkan salah satu perwujudan dari seorang kriminal.
Maka sesaat setelah tubuh Lakong dikubur pada lubang enam kaki di bawah bersamaan dengan cita-citanya, orang-orang kemudian ikut menguburkan jenazah karya Lakong yang tak pernah dibicarakan. Karena seminggu sesudah dia dibukur, orang-orang tidak lagi membicarakannya seolah telah puas menghakimi orang mati itu, apalagi membicarakan karyanya.
Sebab itu Lakong mati, namun karyanya lebih mati.[]
Baca juga : Rumah Trembesi
2023
Nuzul Ilmiawan, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 19 Oktober 2001.