Tak Dinyana
Hendra menyadari bahwa sudah waktunya mengakhiri masa mudanya. Maka sejak Juwita dikenalnya delapan bulan lalu di Jakarta, mereka kerap makan siang bersama karena kantor mereka berdekatan.
Dengan semangat pemuda itu pamit kepada ibunya. Siap-siap mau pergi ke Kopeda menemui Juwita pujaan hatinya. Kemudian Hendra sudah ada di dalam bis mini Sampagul, meninggalkan Kopela menuju Medan. Kotanya berjarak 119 km dari Kopela ke kota Kopeda. Angkutan berisikan penumpang: tua dan muda, menembus jalan penuh pengkolan. Lagu-lagu karaoke-nostalgia mengiringi perjalanan mereka. Indah nian lagu-lagu yang diputar. Pikiran Hendra jauh melayang ke Juwita, gadis yang akan ditemuinya di Kopeda.
Hendra menyadari bahwa sudah waktunya mengakhiri masa mudanya. Maka sejak Juwita dikenalnya delapan bulan lalu di Jakarta, mereka kerap makan siang bersama karena kantor mereka berdekatan. Bicaranya sopan dan sikapnya yang tegas, kerjanya lugas dan tuntas membuat orang segan. Lagi pula dia mau pula dikunjungi tiap malam Minggu. Karena itu dia semakin terpikat. Begitulah anggapan Hendra pada mulanya. Paras Juwita ayu, tawanya renyah. Hendra acap mengajaknya bercanda ria dan bincang tentang masa depan. Di pikiran Hendra bahwa Juwita-lah calon istrinya kelak. Betapa tidak, Juwita bekerja di perusahaan penerbangan keren. Dapat fasilitas gratis naik pesawat dua kali setahun. Orangtua dapat diskon 75 persen sekali perjalanan. Enak bukan? Begitulah angan-angan Hendra.
Suatu malam Hendra pernah mengatakan serius dengan Juwita. Dari pergaulan mereka selama ini, Hendra terus terang menginginkan Juwita menjadi ibu dari anak-anaknya, dan menjadi menantu ibunya. Sudah waktunya mereka berbicara lebih lanjut kepada orangtua.
”Jadi maksudnya serius nih? Hendra mau melamarku? Begitu maksudmu?” tanya Juwita.
”Ya, jangan lama-lama lagilah. Buat apa lagi kita buang-buang waktu,” jawab Hendra.
”Datanglah ke Kopeda pada awal tahun baru ini. Kita bertemu dengan ibuku secara pribadi. Aku ini milik ibuku. Semoga ibuku setuju. Selanjutnya mari kita lihat,” kata Juwita.
”Ya tanggal satu malam Januari, saya janji datang ke rumahmu.”
Sebagai PNS di masa itu. Bulan Desember, Hendra mengambil cuti akhir tahun pulang ke Sibolga, Sumatera Utara, melalui kapal laut KM Gunung Rinjani. Dia akan berbicara kepada orangtua Juwita, bahwa dia mau menikahinya. Karena itu pada malam Tahun Baru dia telah ungkapkan kepada ibunda tentang calon menantunya. Hendra ingat tadi malam perkataan ibunya.
”Sudah berapa jauh kau mengenalnya, Hendra? Apa buktinya dia mencintaimu?”
”Kau tak pernah cerita. Terbaik adalah dia tidak sayang kepadamu saja. Tetapi sayang kepada keluarga. Jangan langsung percaya begitu saja. Hati-hati, Nak. Bila tak berhasil. Cari yang lain.”
”Percayalah, Inang. Juwita pastilah jadi calon menantumu yang baik.”
Memang ada beberapa pesan teman-teman Hendra di Jakarta, memberi saran. Konon Juwita itu hobi main kartu remi Zorro semalaman. Tak peduli main kartu dengan siapa saja. Suka ke diskotek sampai pagi. Kabarnya dia itu wanita berpantat bensin. Tetapi apa pun komentar teman-temannya. Hendra yakin segala kebiasaan masih muda dapat diubah setelah menikah nanti. Apa pun kata orang tentang gadis itu, Juwita tetaplah pilihannya. Tetap melangkah dengan jatmika.
Pukul 18.30 dia tiba di rumah kekasihnya itu Kopeda. Angin berembus dingin. Hendra mengancingkan jaketnya mengurangi rasa dingin. Sepi sekali suasana sekitar. Hendra mengetuk pintu. Tiada yang menyahut. Kembali dia ketuk. Kali ini lebih keras. Lalu lampu menyala. Pintu terbuka. Seorang ibu sepuh berjaket biru tersenyum padanya. Seorang gadis remaja ikut mendampinginya.
”Horas, Inang. Selamat malam,” sapa Hendra. Mereka saling bersalaman.
”Selamat malam. Gerangan siapakah yang datang,” sembari memperbaiki letak kacamatanya.
”Saya Hendra, Inang. Ompung Taronggal, kan? Saya temannya Juwita dari Jakarta.”
”Ya betul, saya Ompung Taronggal. Langsung dari Jakarta-kah?”
”Tidak, Inang. Ke Kopela dulu ber-Tahun Baru dengan keluarga,” jawab Hendra.
Setelah berbincang sekejap, ibu itu langsung pergi ke dapur. Sehingga memberi waktu bagi Hendra memandang sekitar. Dinding yang penuh dengan foto-foto keluarga. Namun, matanya tiba-tiba terbelalak melihat sesuatu. Dia langsung berdiri menuju dinding di mana benda itu dipajang. Sebuah jam dinding dan etiket dengan cap berwarna putih lusuh masih tertempel di bagian dalam jam itu. Si ibu mempersilakan tamu mencicipi dodol, kembang loyang, dan minuman panas.
”Apa yang kau lihat, Nak?” tanya si ibu. Hendra menjadi kaget.
”Maaf, Inang. Jam dinding itu saya ingat betul,” imbuhnya.
”Terus apa yang menarik perhatianmu di jam dinding tadi,” selidik tuan rumah.
”Oh itu, Inang. Karena pada jam dinding itu dan merek pembeliannya.”
”Oh begitu ya? Tiga puluh tahun yang lalu,” kata si ibu.
Tapi karena gayanya Hendra bercerita. Akhirnya Ompung Taronggal itu ingat akan jam dinding yang dibelinya di Kopela. Jadi ceritalah Hendra, ketika masa SMP dulu membantu di toko milik orangtuanya tiga puluhan tahun di Kopela. Sementara si ibu kala itu adalah pedagang kain antarkota. Dalam pikiran Hendra, ini bisa jadi suatu pertanda akan mulusnya rencana, menikahi Juwita.
Sementara Hendra sudah mulai curiga karena Juwita tidak nongol-nongol batang hidungnya. Lagi keluar rumahkah? Atau lagi tidur. Di dalam hatinya timbul tanda tanya besar. ”Ngomong-ngomong kita sudah lama bicara,” kata Hendra.
”Oh ya. Apa maksud kedatanganmu Nak kemari?”
”Tapi ya dari tadi Juwita kok tidak muncul, Inang. Saya datang untuk ketemu Juwita.”
”Oh Juwita ke luar kota, Nak,” kata ibu dengan tenang. Tapi pemuda itu mulai terperanjat.
”Ke luar? Sudah lama ke luar kotanya, Inang?” Hendra makin heran.
”Terus terang. Saya datang ke Kopeda ini dan bertemu dengan Inang secara pribadi. Mau bicara serius tentang rencana pernikahan kami,” kata Hendra.
Wajah ibu semakin heran dan bingung. Jantungnya berdegup kencang.
”Saya tidak tahu sama sekali rencana itu,” jawabnya sambal geleng-geleng kepala.
”Itulah sebabnya saya datang ke Kopeda ini, Inang. Jadi nanti, keluargaku akan bertemu dengan keluarga di sini,” kata Hendra dengan tegas.
”Mau bertemu keluargaku dan keluargamu?” tanya ibu itu heran.
”Ya. Betul sekali, Inang. Saya kira sudah diberi tahu Juwita, Inang.”
”Wah Juwita. Permainan macam apa yang dilakukan putriku? Sungguh tak dinyana.”
”Ke luar kota dengan siapa Juwita?”
”Ya dengan pacarnya, Liberti, pergi ke kota turis,” kata ibu itu terus terang.
”Dengan Liberti, pacarnya?” ucap Hendra emosional. Tak menyangka jawaban sang ibu.
”Mereka sudah berhubungan lama,” ucap sang ibu lagi.
Kesal rasanya bagi Hendra. Sungguh tak dinyana. Seakan-akan dipermainkan Juwita. Mengapa ini bisa terjadi. Lalu si ibu memanggil gadis remaja yang sejak tadi berada di dapur.
”Oh Salmina. Salmina.”
”Ya, Ompung,” jawab gadis remaja itu sigap.
”Tolong dipanggil Nan Toho tukang husuk di sebelah. Bilang cepat suruh kemari.”
”Maaf, Inang. Apakah mereka masih lama pulang?” tanya Hendra.
”Titi… dak tahu ya, Nak,” kata ibu itu terbata-bata, sambil menekan dada.
”Saya jadi pusing, Nak. Jantung saya kambuh. Tolong! Tolong saya.”
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang ibu masuk menemui Ompung Taronggal. Mereka berdua tampak bicara serius. Ompung Taronggal menekan dadanya. Wajahnya memelas.
Dia dibaringkan segera ke sebuah rusbang, sebuah tempat tidur di ruang tamu itu. Nan Toho tampaknya segera mau meng-husuk. Akhirnya orang tua itu berkata dengan terbata-bata.
”Tolong tinggalkan saya, Nak Hendra. Maaf tak sanggup memikirkan hal ini. Maafkan perbuatan Juwita.”
”Ya benar itu, Nak. Saya mau urut Ompung Taronggal biar cepat sembuh,” kata Nan Toho.
”Apakah kita tidak bawa ke rumah sakit, Inang? Biar saya ikut bantu,” kata Hendra.
”Untuk ini, Anda tidak usah ikut campur dulu. Mengerti bukan?” kata Nan Toho lebih tegas.
Baca juga : Kutukan Kartu Lebaran
Hendra mulai resah gelisah. Tidak menyangka akan mengalami hal ini. Tetapi dia harus terima kenyataan. Lagi pula sudah ada orang lain bersama mereka. Soal Juwita nanti dulu. Ingin segera meninggalkan kedua ibu itu. Hendra pun pamit dan segera kembali ke losmen tempat dia menginap.
Kemudian Hendra segera pergi ke kafe. Memesan minuman hangat. Mencari meja yang sepi. Dia menghindari gerombolan orang di tempat itu.
Dia mencium minuman keras. Mereka bernyanyi dengan diiringi pemain gitar. Meski tak pas, dengan suara fals. Mereka bernyanyi lagu-lagu masa kini.
Baru duduk sebentar, seorang lelaki sepuh menghampiri Hendra.
”Kok sendiri, Lae.”
”Ya biasalah, Lae,” jawab Hendra. Dan lalu menatap lelaki tua itu.
”Kok wajahmu bermuram durja, Nak? Apa yang terjadi? Nama saya Ompung Saurdot.”
Timbul kaget dan tetap diam seribu bahasa. Lelaki itu menyulut rokoknya dengan tenang.
”Baru berantem dengan pacar, ya,” langsung to the point pula.
Karena didesak, Hendra pun berterus terang tentang apa yang terjadi. Setelah memesan minuman kamput, lelaki sepuh itu kemudian bercerita tentang kehidupan di dunia. Asyik sekali bercerita orang tua itu. Tetapi sesekali dia batuk-batuk.
”Terus. Sudah berapa puluh juta rupiah, uang kau berikan kepada dia,” lelaki itu menyelidik.
”Tidak ada, Lae. Hanya saya kecewa sekali,” terang anak muda itu sejujurnya.
”Nah belum ada bukan! Hanya kecewa saja!” lelaki itu lalu merentangkan kedua tangannya. ”Ya sudahlah. Pulanglah kau segera ke kampungmu. Cari yang lain aja,” kata lelaki sepuh itu.
”Diskusilah dengan ibumu. Doa ibu pasti manjur,” sambil menepuk-nepuk bahu Hendra.
Dengan langkah buru-buru lelaki itu segera pergi ditelan malam. Hendra diam seribu bahasa. Dia merenung, betul juga. Kecewa cinta jangan dibawa minuman keras. Benar juga kata inang pangintubu bila gagal. Jangan kecewa. Jodoh takkan ke mana. Mengenai Juwita. Nantilah diselesaikan di Jakarta saja. Buat apa dia terlalu memikirkan gadis yang tidak jelas. Bagaimanapun dia harus dapat restu dari ibunda tercinta.
Besok paginya, Hendra jalan-jalan ke pelabuhan danau Kopeda. Dinikmatinya pemandangan yang belum pernah dilihatnya itu. Anak kapal menurunkan barang dagangan: bawang merah, kacang tanah, cabai merah, asam, kepundung. Menaikkan barang kelontong, sembako, barang-barang kebutuhan sehari-hari ke atau dari atas kapal. Pedagang-pedagang dari Bakara, Tipang, Nainggolan. Anak-anak kecil pun berlomba mencari uang logam yang dilemparkan ke dalam Danau Toba.
Di Jakarta Hendra mau menemui Juwita. Tetapi selalu tidak berhasil. Ditemui ke tempat kos. Sudah pindah kos katanya. Ditelepon ke Kopeda, tidak diangkat-angkat. Suatu ketika, diangkat. Oleh seseorang mengatakan salah sambung. Menurut teman-teman sekantor, Juwita lagi diklat ke luar negeri.
Karawaci-Cinere-Banten, 6 April 2023
Catatan:
- Kopela: kota pelabuhan laut
- Kopeda: kota pelabuhan danau
- Inang: ibu
- Ompung: nenek
- Meng-husuk: memijat
- Lae: ipar
- Kamput: kambing putih
- Inang pangintubu: ibu yang melahirkan kita
***
Hotma Di Hita L Tobing, lahir di Tarutung, 8 Juni 1959. Alumnus dari STIA LAN, pensiunan PNS. Menikah dengan TSSU Siringoringo. Telah dikarunia tiga anak dan seorang cucu. Di masa mudanya menulis puisi, cerpen, dan artikel dalam bahasa Inggris di buletin IEC, Hello English Magazine, The Indonesia Times. Sebanyak 20 puisi, sejumlah cerpen, dan artikel dalam bahasa Inggris dimuat di Tintota.com di Australia dan Faithwriters.com. Cerpennya dimuat di Analisa, SIB, Koran Sindo, Jurnal Medan, Mimbar Umum, majalah Suara HKBP, SP Immanuel, SP INA. Cerpennya dimuat di Antologi Rebana 1 (2006), Rebana 2 (2007), diterbitkan harian Analisa, Medan. Kumpulan cerpen Perempuan di Kapal Terakhir (2012) diterbitkan LeutikaPrio, Yogyakarta.