Tentang Dapur
Kau tak akan pernah tahu, apa yang bisa dilakukan dapur ke dalam kehidupanmu, dan untuk mengetahuinya, kau harus memulai dengan mencintainya. Kalimat itu sudah berkali-kali dikatakan bapak di sepanjang hidupku.
Kau tak akan pernah tahu, bagaimana dapur bisa mempengaruhi kehidupanmu. Begitu kata bapak, sambil menatapku dalam, dan sungging di ujung bibirnya. Ketika aku bertanya mengapa bapak begitu mencintai dapur. Waktu itu, aku masih belum genap delapan belas tahun dan kata-kata bapak adalah desir angin, menerpa lembut wajahku, terasa dingin, tapi kemudian begitu saja kuabaikan.
**
Aku meraih weker di samping tempat tidur dan dengan susah payah membuka mata untuk melihat angka-angkanya. Masih pukul 06.00, baru satu jam selepas shalat Subuh dan usahaku mencoba tidur setelah mengerjakan beberapa tugas semalaman. Tapi suara dari arah dapur membuatku urung kembali terlelap.
Dengan langkah belum ajek aku menuju dapur, menyambar segelas air di atas meja makan yang entah milik siapa, mereguknya perlahan, mencoba menghilangkan kantuk yang masih bergelayut di kedua mata. Kemudian duduk di samping bapak yang sedang melumuri ikan-ikan dengan bumbu campuran kunyit dan rempah lainnya.
”Tadi suara apa Pak.”
”Itu, ikan-ikan yang Bapak beli di pasar tadi, masih hidup dan melompat dari keranjang belanjaan, ibumu berteriak karena terkejut.”
”Ganggu aku tidur,” kataku menggerutu.
Bapak tersenyum, bertukar tatapan dengan ibu yang juga tertawa kecil.
”Sering-seringlah masuk ke dapur supaya kamu bisa belajar untuk mencintai dapur, kamu sudah besar.”
Aku hanya menarik bibirku sambil mengangkat bahu dan mengerling ke arah bapak. Itu sebuah saran yang belum juga sanggup kuturuti meski sekarang usiaku sudah bertambah. Kau tak akan pernah tahu, apa yang bisa dilakukan dapur ke dalam kehidupanmu, dan untuk mengetahuinya, kau harus memulai dengan mencintainya. Kalimat itu, sudah berkali-kali dikatakan bapak di sepanjang hidupku. Dan, aku masih saja bergeming.
Bapak dan ibuku mencintai dapur. Begitu cintanya, ibu mengenal setiap lekuk dapur seperti memahami tubuhnya sendiri. Dengan hanya terpejam, ibu dapat mencium dan membedakan aroma jahe, kunyit, kencur, kemiri, ketumbar, dan rempah-rempah lainnya. Jika waktu memasak tiba, ibu seolah dapat merasakan bagaimana pisau-pisau dapur berbaris seperti serdadu, menunggu perintah untuk mengiris, memotong, mencincang. Kata ibu, mereka punya tugas berbeda sesuai dengan bentuknya. Wajan-wajan melonjak girang ketika dialiri minyak dan kompor, begitu bersemangat untuk segera dinyalakan.
Tentang dapur, bapak tak terlalu berbeda dengan ibu, bapak memperlakukan semua benda di sana seperti makhluk hidup. Bapak mahfum bagaimana caranya membuka lemari es dengan lembut dan merasakan kesepian kulkas yang kosong, mendengar teriakan gas yang nyaris habis atau tetes terakhir deterjen, padahal masih harus membersihkan setumpuk piring-piring dan peralatan dapur lainnya.
Bapak jugalah yang memilih rancangan kitchen counter, desain yang dibuat sedemikian untuk menyatukan dapur dan meja makan sehingga ada banyak orang yang bisa duduk bersama untuk makan atau sekadar menyaksikan semua kegiatan di dapur sebelum semua bahan mentah diolah menjadi hidangan.
Di dapur, ibu menjelma dewi, keelokannya menawan hati bapak tak henti. Dapur adalah tempat paling nyaman untuknya berlama-lama menemani ibu. Bukan sekadar memuji kepiawaian ibu meracik bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan. Tetapi dapur seolah menjadi tempat paling sensual, membuat bapak mengumbar kegenitan. Menggoda ibu, mengoleskan adonan tepung di hidungnya, memercikkan air dari wastafel ke wajah ibu , atau bahkan pernah suatu kali aku memergoki bapak membisikkan sesuatu di telinga ibu sambil mengerling ke arah betis ibu. Sambil memerah di kedua pipinya, ibu hanya tersipu. Itu hampir mirip adegan dapur Brad Pit dan Angelina Jolie dalam film Mr and Mrs Smith.
Bapak dan ibuku mencintai dapur. Begitu cintanya, ibu mengenal setiap lekuk dapur seperti memahami tubuhnya sendiri. Dengan hanya terpejam, ibu dapat mencium dan membedakan aroma jahe, kunyit, kencur, kemiri, ketumbar dan rempah-rempah lainnya. Jika waktu memasak tiba, ibu seolah dapat merasakan bagaimana pisau-pisau dapur berbaris seperti serdadu, menunggu perintah untuk mengiris, memotong, mencincang. Kata ibu, mereka punya tugas berbeda sesuai dengan bentuknya. Wajan-wajan melonjak girang ketika dialiri minyak dan kompor, begitu bersemangat untuk segera dinyalakan.
Tapi tentu bukan hanya itu, dapur juga menyimpan rahasia pertengkaran yang coba disembunyikan bapak dari aku dan kedua adikku. Walaupun seingatku kemudian, semuanya selalu mereda ketika bapak membuat wedang jahe untuk ibu dan menggenggam tangannya sambil mengucapkan banyak janji, lalu ibu yang selalu lebih mudah emosi, menyerah saja dari setiap perdebatan jika bapak kemudian memenuhi kulkas dan karung beras.
Begitulah kira-kira kecintaan itu dibangun dan coba ditularkannya kepadaku. Lewat setiap gesture sederhana ketika bapak dengan khidmat mendengar ibu menyebut bumbu-bumbu untuk pepes ikan, lewat ketulusan ibu mengulek semua rempah menjadi satu, melalui kecerdasan ibu yang terus berpikir membuat hidangan terbaik ketika bahan panganan menjadi terlalu mahal untuk dibeli. Lewat kesetiaan bapak yang sigap membantu ibu kapan saja.
Maka, jika kau bertanya kepadaku apa itu cinta, aku akan menyebut dapur sebagai kata yang menyempurnakan kalimat lainnya. Dapur menjadi muasal aku memahami bahwa cinta adalah sesuatu yang akan terus mengantarkanmu pada rasa nyaman dan rindu. Aroma dari segala rempah bercampur dengan senyum ibu, tawa bapak juga rengek adik-adikku yang tak sabar menunggu masakan matang sempurna adalah cinta yang nyata, kerinduan yang akan terus menarikku untuk pulang.
**
Baca juga:Surat untuk Emak
Aku sedang berada di kota lain, di sebuah kamar kos dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Buku-buku berjajar rapi di rak yang kokoh, gorden bercorak kembang sepatu, harum pewangi pakaian, kasur yang cukup empuk di atas sebuah dipan tua yang terbuat dari jati, membuat kamar kosku jauh lebih mewah dari kamar kos temanku yang mana pun. Harganya lumayan, tentu saja aku bisa tinggal di sini bukan karena aku anak orang kaya, tapi karena suami ibu Eti Lambri sang pemilik kos adalah teman baik bapak selama kuliah.
Ibu Eti Lambri, yang parasnya manis meski tak muda lagi, adalah seorang ningrat keturunan tanah Banten. Menurut bapak, bu Eti adalah orang yang kerap menolong perjuangan mereka dari segi keuangan di zaman-zaman demonstrasi dahulu. Bahkan pernikahannya dengan teman bapak yang bernama Prayitno dilakukan di tengah perjuangan, menjadi bagian dari perjuangan. Sebab, ada saat ketika bapak, Prayitno dan teman-teman lain menjadi buron pemerintah kala itu, keluarga ibu Eti Lambri yang kaya raya menyediakan mereka tempat untuk bersembunyi.
Ketika Prayitno dan beberapa teman bapak lainnya dinyatakan hilang. Ibu Eti Lambri tak pernah lagi menikah. Tidak juga kembali kepada keluarga besarnya di Banten. Dia menjadi salah satu orang yang menginisiasi gerakan kamisan, sebuah ajang silaturahmi anggota keluarga yang hilang sejak mereka dilabeli sebagai buron pada rezim pemerintahan dahulu. Rumahnya ini sering dijadikan tempat pertemuan itu.
Ibu Eti sebatang kara, itulah mungkin yang membuat ia menyayangi semua penghuni kos, memperlakukan kami seperti anggota keluarga. Acara makan malam bersama atau sarapan gratis sering kali dikirimkannya untuk kami. Membuat semua merasa kerasan. Tapi seperti pepatah, rumah bukanlah sebuah tempat, rumah adalah seseorang di dalamnya. Maka, biasanya hanya karena ibu Eti lambri membuat sebuah telur dadar dengan taburan bawang daun. Aku rindu ibu dan bapak. Aku akan segera pergi ke terminal menunggu bus terakhir untuk membawaku pulang. Seperti waktu itu.
Setelah empat jam di perjalanan aku sampai hampir tengah malam, ibu sudah terlelap saat bapak membukakan pintu dan keningya berkerut.
”Kenapa pulang malam-malam begini.”
”Aku kangen Pak.”
Bapak tak bisa mendebatku, meski sedikit marah karena rasa khawatir. Malam itu aku bergegas tidur, hanya untuk menunggu hari segera pagi dan memasuki dapur dengan segala kegiatan dan masakan yang akan ibu hidangkan esok .
Berkali-kali aku melakukan itu, tiba-tiba pulang, tanpa terlebih dahulu berkabar dan mengejutkan ibu dan bapak. Itu hanya karena kerinduanku pada seluruh aktivitas di dapur.
**
Tapi pada sebuah hari, ketika siaran berita cuaca mengabarkan bahwa angin muson mulai bertiup dari Benua Australia, bukan Sabtu atau Minggu pagi. Bukan juga karena tiba-tiba aku merindukan masakan ibu, tapi setelah mendengar kabar bahwa bapak sedang kritis di rumah sakit. Ditabrak kendaraan seseorang tak dikenal dalam aksi demonstrasi para buruh yang dipimpinnya. Aku pulang ke kotaku dengan gamang.
Sampai di rumah sakit aku bahkan tak sempat menyapa bapak, mengatakan bahwa aku datang, mencium punggung tangannya seperti biasa. Bapak sudah dimandikan, ditutup kain putih dan bersiap untuk disemayamkan di rumah kami. Yang kemudian menggema di telingaku adalah raungan kedua adikku dan gambaran tak pernah lekang tentang paras ibu, layu dengan kedua mata menampung pilu.
Setelah malam itu, hari-hari kami begitu akrab dengan kesedihan. Isak tangis dari balik pintu kamar ibu, sunyi dari tempat tidur kedua adikku dan tentu saja kehampaan di setiap lekuk dapur. Kehangatan dan keceriaan rumah, seperti bunga mekar yang dipetik dengan kasar.
Seisi rumah menjadi begitu asing. Penghuni dan perkakasnya seperti tak bertautan. Bahkan, dapur yang selalu menjadi tujuan kami dahulu, tidak lagi menjadi tempat menyenangkan, sebab di sana kenangan tentang bapak terus berkelindan dan menyiksa perasaan. Masakan ibu pun menjadi kurang sedap. Selalu terasa lebih asin, seolah ditambahkan air mata ke dalam setiap kudapan yang dibuatnya. Minggu pagi, yang semasa bapak masih ada selalu kami tunggu, menjadi sebuah hari yang sebisa mungkin kami abaikan kehadirannya.
Aku sendiri benar-benar kehilangan alasan untuk pergi ke dapur, sekadar untuk mengambil makanan, aku akan menyuruh adikku melakukannya. Dapur menjadi belantara hutan, sunyi dan ngeri. Jika sangat terpaksa memasukinya, aku harus mengumpulkan nyali juga sebuah keahlian. Seolah hendak berhadapan dengan desis binatang melata, serangga-serangga beracun, suara langkah mengendap dalam gulita atau bayangan seram berkelebatan tiba-tiba.
Maka daripada menghabiskan seluruh energiku menghadapi semua itu, aku memilih menghindarinya, menjauh dan diam-diam membencinya kemudian. Aku menyerahkan segala urusan yang berkaitan dengan dapur kepada ibu dan kedua adikku.
**
Tahun-tahun berlari seperti seekor cheetah menangkap buruannya, secepat adik-adikku bertumbuh. Di tahun ketiga aku berhenti kuliah, memilih menjadi seorang buruh di pabrik tekstil. Keputusanku membuat ibu semakin murung. Tapi aku tak punya pilihan lain. Ibu juga paham, perlu bantuan untuk memenuhi kebutuhan dan masa depan adik-adikku.
Setiap hari, sejak matahari masih berada di balik bukit-bukit itu hingga dia kembali ke sana saat senja luruh, aku tenggelam dalam keharusan-keharusan di bawah telunjuk para kapitalis. Karena alasan itu juga, aku tak hanya bekerja, aku belajar banyak hal dengan menjadi aktivis buruh, memperjuangkan hak-hak kami dengan berbagai cara, hingga berdemonstrasi melawan tirani yang berlindung di balik undang-undang. Aku melanjutkan apa yang diperjuangkan bapak hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Ikan Tua dan Laut
Dan di jalan perjuangan ini perlahan aku menjadi paham, dapur bukan semata tempat di mana bisa kutemukan piring-piring, gelas, cangkir, sendok. Di mana aroma opor masakan ibu atau telur dadar bawang daun iris racikan bapak selalu memanggilku pulang ketika sedang berada di mana pun. Tapi dapur adalah salah satu alasan mengapa bapak dan kawan-kawannya turun ke jalan, dapur adalah sumber keceriaan yang selalu bapak hidupkan di hari-hari kami, muasal kemurungan ibu yang bapak hindari seumur hidupnya, dapur adalah suara perih lambungku dan adik-adikku.
Maka sebisa mungkin aku menjadi pembelajar yang cepat. Setelah bekerja dan menjadi bagian dalam begitu banyak aksi buruh di organisasi hingga turun ke jalan, aku kembali memasuki dapur dengan perkasa. Mewarisi keahlian bapak, memprediksi deterjen atau gas yang hampir habis dan derap pisau-pisau yang berbaris, merajuk ingin segera mengiris.
Dan aku berjanji kepada semesta akan belajar lebih keras untuk bisa mencintai dapur, memahaminya perlahan seperti cara bapak melakukannya. Menghadirkan kembali ruh hari-hariku melalui senyum ibu, membawa renyah tawa adik-adikku di setiap lekuk dapur dan terus memelihara kenangan tentang bapak melalui aroma rempah-rempah kesukaannya dahulu. Walau janji itu masih jauh panggang dari api.
Sebab hari ini dan mungkin hari-hari selanjutnya, aku masih akan memulai pagi dengan turun ke jalan meneriakkan tuntutanku, memperjuangkan hakku!
***
Farra Yanuar menulis puisi dan cerpen. Karyanya disiarkan di berbagai media cetak dan daring. Buku terbarunya Tubuh Perempuan (Pustakakipress, 2021) baru saja terbit.