Fragmen Kehidupan Pahlawan

Beruntunglah istriku. Ia telah mati duluan akibat sakit liver sepuluh tahun setelah aku pulang tanpa kaki terkena ledakan granat pasukan Fretelin di Timor Timur sehingga ia tak perlu repot-repot mengurusku.

Kisah ini sebenarnya diceritakan oleh pasienku, seorang veteran perang Timor Timur, secara lisan. Tiap ia bercerita pengalamannya, saat terjadi kontak senjata dengan pasukan Fretelin di Timor Timur, jantungnya kerap berdegup kencang. Di kesempatan lain, ia pun bercerita tentang anak-anaknya. Namun karena ia tak pandai menuliskannya, maka dengan seizinnya, kutulis kisah ini.

Operasi Seroja, 1975

Tempatku mendarat memang sunyi. Tidak ada jalan setapak yang menghubungkan ke suatu tujuan di balik pegunungan. Inilah hutan sesungguhnya. Hutan yang mungkin hanya dilalui oleh babi hutan, binatang buas atau oleh berbagai jenis ular. Ketika itu yang kudengar hanya suara burung-burung, suara angin, dan suara arus sungai.

Pagi itu kabut yang menyelimuti hutan enggan menghilang. Semuanya terbenam dalam kabut putih. Dan aku pun terbenam di dalamnya di alam yang mendadak putih, alam bawah sadar yang aku sendiri–di kemudian hari–tidak membayangkan bahwa peristiwa di pagi itu adalah pertempuran. Sebuah perang sesungguhnya yang membuat kehidupanku berubah.

Darah masih saja mengalir dari lenganku, membasahi seragam lorengku. Telingaku samar-samar mendengar gelegar peluru dan granat yang berledakan di sekitarku. Untuk kesekian kalinya aku mencoba menggerakkan kedua kakiku. Kecemasan mulai memenuhi hatiku ketika aku sadar, bahwa aku tak dapat lagi merasakan kakiku sebagai bagian dari tubuhku. Dan rasa sakit pun terasa semakin menggigit ketika kemudian dadaku tersengal-sengal.

Udara pagi seakan sengaja menyisih, tak sudi kuhirup. Padahal sementara itu jelas kudengar teriakan sebelah kanan dan kiriku, menyuruhku agar segera bangkit, meninggalkan tempat itu. Aku mengumpat diam-diam. Mengutuk diriku yang tak lagi mampu berbuat sesuatu, bahkan sekadar membawa kakiku berlari menyelamatkan diri.

Samar kudengar seseorang menegurku, mungkin komandan pasukanku.

”Kopral! Bagaimana keadaanmu?”

Suaranya terputus oleh rentetan desingan peluru yang sesaat membuatku terkesima. Aku mencoba menoleh ketika kemudian kudengar rintihannya. Memang benar, ia adalah komandanku. Tubuhnya terjerembab dengan luka tembak di sekujur tubuh, hanya sejengkal di sampingku.

Entah siapa yang akhirnya menyeretku ke tempat perlindungan. Aku hanya tahu ia berkulit hitam, yang begitu saja berlalu tanpa menyebutkan namanya. Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya, apalagi menanyakan ia dari kesatuan mana, dan aku tak akan pernah mengenalinya hingga saat ini.

Dan ketika tangan-tangan penyelamat mulai merawat lukaku, hatiku semakin cemas melihat sebersit kengerian di wajah mereka. Yang paling kukenali wajah seorang dokter militer muda yang menatapku dengan ekspresi ngeri.

Aku tahu, senapanku tak lagi bersamaku. Tetapi aku tak peduli. Aku hanya ingin hidup. Aku harus bertahan hidup, sekalipun aku tahu, kedua kakiku bagai terpuruk di kiri kanan tubuhku, dan bagian bawah tubuhku bahkan telah mati rasa. Aku belum siap mati meninggalkan istri dan keempat anak-anakku yang menungguku di Pulau Jawa. Aku berusaha menenangkan diri ketika dengan sia-sia aku mencoba menghela napas.

”Jangan panik, Kopral. Tenanglah!” Kudengar dokter muda itu berteriak gusar.

Tetapi bagaimana aku dapat tenang bila desah, jerit dan tangis prajurit lain yang terluka memburu dari setiap penjuru di tempat perlindungan kami. Kukira dokter muda itu pun merasakan kecemasan dan kepanikan yang sama denganku.

Baca juga: Suatu Hari, Kamu Akan Mengerti

Dokter muda itu mengangkat tubuhku, menyingkirkan diriku dari jerit tangis yang semakin memusnahkan keberanianku sebagai seorang tentara. Aku bahkan tak berani tersenyum lega bahkan menangis senang, ketika helikopter mengangkatku tinggi-tinggi, jauh di atas hutan, jauh di atas daerah pertempuran.

Hasil Referendum, Oktober 1999

Padahal saat ledakan yang menghancurkan kedua kakiku itu terjadi, aku sempat merasa sangat bangga karena mampu berkorban demi negara. Namun saat pengumuman hasil referendum Timor Timur diakui oleh pemerintah Indonesia membuat hatiku pedih. Aku bahkan sempat membenci diriku dan ingin bunuh diri.

Saat itu kusesali diriku yang hanya pantas disebut setengah hidup. Apa bedanya dengan setengah mati? Setelah melalui serangkaian operasi penyembuhan dan pemulihan aku sangat tergantung dengan kursi roda. Aku menjadi manusia lumpuh tak berdaya yang selalu membuat repot semua orang, termasuk anak-anakku yang kehidupan mereka pun dapat dikatakan cukup sengsara.

Hari Pahlawan, November 2023

Aku rasa seharusnya aku mati, tapi aku masih hidup. Aku sudah cukup tua, ringkih, tanpa daya, cacat, tentu saja tanpa kaki. Enam bulan yang lalu usiaku genap 75 tahun. Sejak tiga tahun lalu aku sakit-sakitan. Sehingga mati mungkin jalan terbaik bagiku, juga bagi anak-anakku.

Kematianku bisa berarti pembebasan bagi mereka, malah menurutku akan menjadi semacam karunia bagi anak-anakku. Ketika anak-anakku menjelma dewasa dan semua telah berkeluarga, aku menjadi orang yang tak lagi terlalu dikehendaki kehadirannya dalam kehidupan mereka. Aku menyadari bahwa keberadaanku hanya membuat mereka susah.

Hal itu sering terjadi, misalnya, saat aku ingin buang air kecil atau buang air besar, ritual itu membuat semua orang pada posisi sulit. Aku kerap meminta maaf sekaligus mengucapkan terima kasih kepada mereka setelah pispot yang habis kupakai dibilas di kamar mandi. Atau saat aku harus makan dan mandi. Tapi terus terang aku sangat takut apabila mereka memasukkanku ke panti jompo.

Beruntunglah istriku. Ia telah mati duluan akibat sakit liver sepuluh tahun setelah aku pulang tanpa kaki terkena ledakan granat pasukan Fretelin di Timor Timur sehingga ia tak perlu repot-repot mengurus dan merawatku di hari tuanya. Beruntung juga bagiku karena anak-anakku tak punya cukup uang untuk memasukkanku ke panti jompo tempat yang semula mereka kira gratis untuk seorang veteran tua macam diriku.

Agar setiap anak tak terlalu dibebani mengurusku, maka mereka menggilir merawatku sebulan sekali. Aku memiliki anak empat orang sehingga tak sulit bagi mereka untuk membaginya secara adil.

Bulan pertama di rumah si sulung, Mas Eko. Bulan kedua di tempat Mbak Dwi. Bulan ketiga di kediaman Mas Tri, dan di bulan keempat di rumah si bungsu, Mbak Catur. Bulan kelima balik lagi ke rumah Mas Eko, dan begitu seterusnya bergonta-ganti. Aku memanggil anak-anakku dengan sebutan Mas dan Mbak.

Semula ide menggilir merawatku berjalan baik-baik saja, tak ada pihak yang berkeberatan. Karena anak-anakku semuanya tinggal sekota, dengan demikian untuk saling berkunjung dan membawaku cukup menggunakan taksi online ke rumah mereka masing-masing.

Tapi khusus tahun ini, pembagian terasa mendadak jadi terasa tak imbang. Di bulan kelima, terpaksa Mbak Catur tidak bisa menggilirku ke rumah Mas Eko. Karena rumah Mas Eko terdampak kebakaran besar yang terjadi di pasar pusat kota. Padahal di bulan keempat lalu bertepatan dengan Lebaran, Mbak Catur telah merawatku, dan kini ia harus merawatku kembali setelah masa Lebaran usai dan bertepatan ulang tahunku yang ke-75, tentu membuatnya kelabakan. Kutebak gaji dan THR dari kantornya pasti sudah habis untuk kedua anaknya dan suaminya yang tak jelas bekerja sebagai apa. Tentu ia dan anakku lainnya tak memberiku hadiah Lebaran pada waktu itu apalagi hadiah ulang tahun untukku.

Baca juga: Apakah Langit Akan Biru Hari Ini?

Ketika itu aku memanggil Mbak Catur masuk ke kamar saat ia sepertinya berancang-ancang hendak mengatakan sesuatu kepadaku. Sesuatu itu kuyakin adalah kesulitan keuangan yang ia sedang alami. Sambil berbaring dan bersuara lemah aku berkata, ”Mbak Catur, saat lebaran bulan lalu pasti uangmu habis tak tersisa. Bapak sangat mengerti dengan kondisimu. Bapak punya uang sedikit, ambillah untukmu.”

Telapak tangan si bungsu terasa tebal dan dingin saat aku menyelipkan beberapa lembar rupiah ke dalam tangannya. Ia memandangiku dengan gamang. Tentu dalam hatinya ia bertanya, ”Dari mana bapak mendapatkan uang?” Aku tersenyum dan memaksanya agar tak bertanya.

Sekarang aku hampir mati. Keempat anakku berkumpul di rumah Mbak Dwi. Dokter langgananku sudah membisikkan sesuatu kepadaku bahwa penyakitku makin parah. Dokter juga sudah memberi tahu anak-anakku agar mereka berkemas mempersiapkan segalanya apabila saat kematian yang dinanti itu segera datang.

Mbak Dwi terlihat paling gelisah. Mudah diduga, sekarang bulan November, dan aku tinggal di rumahnya. Itu berarti dialah yang harus menanggung seluruh risiko apabila aku mati, termasuk urusan penguburanku kelak.

Sementara waktu bergerak lamban. Waktu kematianku pun sebentar lagi tiba. Aku memanggil keempat anakku yang menunggu gelisah. Mereka berebutan melompat ke kamar di mana aku tergolek lemah.

Pandanganku nanar dan tak begitu jelas melihat kepada wajah siapa. Tapi suaraku tajam tertuju kepada mereka, ”Bapak ini adalah seorang veteran, mungkin bagi negara bapakmu ini pahlawan, bapak mendapat uang tunjangan veteran setiap bulan. Dulu bersama ibu kalian, Bapak juga menabung, menyimpan uang yang tak seberapa dari negara.”

Aku terdiam sejenak, anak-anakku seperti takjub. Mas Eko terduduk, kesepuluh jemarinya menangkup wajahnya. Ia terisak menangis. Anakku yang lain terlihat serba salah dan aku tersadar kalau mereka sedang menunggu perkataanku selanjutnya.

”Tolong ambilkan koper baju di lemari itu. Di bagian dalamnya ada sedikit uang yang telah dicairkan oleh Pak Dokter. Jumlah mungkin tidak banyak, dan berkurang ketika membayar biaya rumah sakit ibu kalian dan biaya pemakamannya dulu. Tapi kukira jumlah cukup untuk biaya menyekolahkan cucu-cucuku hingga ke perguruan tinggi dan mengongkosi biaya pemakamanku secara sederhana dan urusan setelah bapak sudah tak ada lagi, seperti sewa ambulans, beli kain kafan, dan lainnya....”

Sebentar lagi matahari akan terbenam. Cahayanya akan tampak kemerah-merahan di kaki langit, terlihat di cakrawala serombongan burung belibis terbang sambil memperdengarkan teriakannya yang lantang bagai ingin memberi tahu kepada siapa pun sebentar lagi malam akan datang dan aku telah mati.

***

Kisah yang kutuliskan dari cerita pasienku ini tidak sempat kubacakan untuknya, karena tepat pada peringatan Hari Pahlawan, ia wafat karena sakit. Ia benar-benar pahlawan sejati, meski ia sebetulnya bisa saja meminta bantuanku, salah satu menteri di kabinet pemerintahan saat ini. Saat mencairkan uang dari rekeningnya yang jumlah tak seberapa itu, aku memasukkan sejumlah uang ke dalam koper baju miliknya. Sebagai rasa hormatku terhadap sosok kepahlawannya.

Ya, aku adalah dokter militer muda di medan pertempuran Timor Timur yang gusar berteriak kepadanya agar ia tenang, padahal kondisi jiwaku saat itu juga sangat terguncang, cemas dan panik melihat kedua kaki lelaki itu sudah tidak berbentuk lagi.***

Jakarta, 10 September 2023

Bamby Cahyadi adalah penulis cerpen kelahiran Manado. Buku-bukunya yang telah terbit: kumpulan cerpen Tangan untuk Utik (2009), Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012), Perempuan Lolipop (2014), Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (2016), dan Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan (2022).

Rismanto, lahir di Bantul November 1972. Lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Sejak tahun 2016 aktif berpameran baik tunggal maupun bersama.