Apakah Langit Akan Biru Hari Ini?
Suaminya menyadari bahwa semakin hari binar di mata istrinya semakin redup. Hanya saja ia tak tahu apa sebabnya.
Fitri baru akan menikmati langit di siang menjelang sore hari itu ketika suara mertuanya terdengar mendeham. Sebagaimana petir yang datang tiba-tiba, begitulah suara dehaman itu terdengar oleh Fitri. Langit yang biru di luar sana terasa mendadak jadi abu-abu. Ia langsung berdiri dari duduknya. Meskipun hanya mendeham, ia tahu bahwa mertuanya sedang tidak senang dengan sesuatu dan itu bukanlah kabar baik. Pengalaman mengajarkannya bahwa ia harus segera mendekat, menampilkan wajah bersalah, bahkan sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah yang detik itu juga dilakukan oleh Fitri, seolah telah menjadi refleks dalam kehidupannya.
Di perjalanan dari teras menuju ruang tengah, tempat suara dehaman ia duga berasal, Fitri mengingat-ingat lagi daftar pekerjaan yang belum ia kerjakan. Setelah menidurkan anaknya, Fitri sudah membereskan mainan, menyapu, mengepel, dan mencuci piring. Ia juga sudah mengangkat pakaian yang tadi pagi dijemur, lalu melipat dan menyetrikanya. Seragam dinas suaminya untuk besok juga sudah digantung Fitri dengan rapi. Tidak ada yang terlewat. Tugas-tugasnya sudah selesai semua. Karena itulah ia hendak rehat sejenak dan menikmati pemandangan langit yang mulai teduh. Seharusnya situasi aman, tetapi kenapa sang mertua mendeham begitu? Itulah yang ada di benak Fitri sambil melangkah cepat.
Sampai di ruang tengah, Fitri melihat mertuanya berdiri dengan senyum kecut cenderung mengejek sambil matanya tertuju pada Muh, anak Fitri. Bocah tiga tahun itu rupanya sedang khusyuk menatap handphone. Jari-jarinya lincah memilih kartun yang ia suka. Senyumnya mengembang melihat karakter-karakter lucu dan penuh warna-warni. Fitri heran juga karena sekitar setengah jam lalu Muh masih tertidur lelap. Karena itulah, setelah menyelesaikan semua tugas rutinnya di rumah, Fitri ingin rehat sejenak dengan menatap langit—sebuah kebiasaan lama yang ia sukai di masa senggang. Ia tak mendengar suara apa pun dan tak tahu sejak kapan Muh sudah bermain ponsel.
Baca juga: Juru Tangis dalam Tiga Babak
”Enak ya nyantai kalau anak main hape?” ucap ibu mertua Fitri pelan sambil tersenyum, tetapi Fitri merasa tertusuk hingga ke ulu hati. Ia ingin menangis, tetapi ditahan. Menangis, apalagi melawan dengan menyatakan keadaan yang sesungguhnya, justru akan membuat kondisi semakin rumit. Fitri hanya tersenyum sembari melangkah ke arah Muh. Dibelainya Muh yang masih asyik menonton kartun di ponsel. Beberapa kata dibisikkan Fitri ke telinga anaknya dan sang anak langsung menyerahkan telepon genggam kepada sang ibu.
Beberapa detik kemudian, Fitri dan Muh sudah berada di halaman untuk bermain petak umpet. Itu permainan favorit Muh. Anak kecil itu bisa berlari sana-sini dengan riang. Di sisi lain, Fitri harus pontang-panting mengimbanginya. Tenaganya yang sudah terkuras, jadi semakin kering. Namun bagi Fitri itu lebih baik daripada harus menghadapi tatapan ibu mertua yang seperti bisa menikam hingga dada terasa penuh dan napas menjadi sesak.
Fitri kembali membisu. Ia sendiri ragu dan tak tahu apa keinginannya. Anehnya, hal tersebut membuatnya semakin sedih dan ia hanya menangis tanpa suara dalam pelukan sang suami.
Hari-hari berikutnya Fitri habiskan waktu dan energi dengan cara yang sama. Ia bekerja dan bermain dengan Muh hingga semua tenaga terserap habis nyaris tak bersisa. Waktu berlalu dan ia tampak semakin kurus, kuyu, menjelang layu. Ibu mertua tak peduli. Muh masih terlalu kecil untuk mengerti. Hanya suami Fitri yang menyadari perubahan istrinya dan dengan sepenuh hati, setelah pulang bekerja bertanya pada sang istri tentang masalah yang sedang dihadapi. Fitri hendak menjawab, tapi lidahnya kelu. Ketika sang suami bertanya, ”Apa ada yang kau mau?” Fitri kembali membisu. Ia sendiri ragu dan tak tahu apa keinginannya. Anehnya, hal tersebut membuatnya semakin sedih dan ia hanya menangis tanpa suara dalam pelukan sang suami.
Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa. Fitri masih mengerjakan segala sesuatunya sendiri, mengasuh sendiri, dan menanti suami pulang dari dinas menjelang malam hari. Komunikasi yang terjadi dengan sang ibu mertua berputar antara basa-basi dan perintah satu arah. Salah satu hal yang Fitri syukuri dari mertuanya adalah kegemaran sang wanita berusia tujuh puluh tahun itu menonton berita di televisi. Setidaknya Fitri tidak perlu menderita oleh sinetron dengan adegan-adegan picis yang bisa ditebak sejak dari judul. Dari berita yang didengarnya Fitri bisa tahu kondisi di luar rumah, misalnya bahwa udara di Jakarta kembali tidak ramah. Suatu ketika, Fitri sampai pada kesimpulan bahwa hanya ada dua tipe mertua di bumi ini: yang suka menonton sinetron dan yang menjadi pemerannya sendiri di kehidupan nyata.
Bagi Fitri, alasan kuat ia menguat-nguatkan diri hanyalah keberadaan Muh. Senyum anak itu membuatnya seperti mendapatkan tenaga baru. Tawa sang anak membuatnya merasa berenergi lagi, walaupun hanya sementara. Sayangnya, jalur tikungan kehidupan tidak mudah ditebak sebagaimana jalan cerita sinetron murahan. Muh demam dan batuk. Setelah dibawa ke dokter anak dan meminum obat selama tiga hari, tidak ada perubahan berarti yang terjadi. Batuk sang anak bahkan semakin menjadi hingga ia terlihat kesulitan makan dan minum. Napasnya jadi satu-satu. Dokter menyarankan agar Muh dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap.
Saat berkemas di rumah untuk persiapan rawat inap Muh, Fitri sempat mendengar suara berita di televisi yang menyatakan bahwa udara di Palembang, tempatnya tinggal sekarang, juga sudah mulai memburuk karena pembakaran lahan kembali terjadi. Berita itu hampir saja mengambil perhatian Fitri seandainya sang mertua tak segera berujar, ”Kau kasih makan apa si Muh sampai sakit begitu?”
Fitri tidak menjawab. Mulutnya hanya mengambangkan senyum sembari tangannya semakin tangkas menyiapkan segala barang. Begitu semuanya siap, ia langsung pamit dan membawa Muh ke rumah sakit rujukan. Di perjalanan, air matanya menetes. Ia sendiri tak yakin penyebabnya menitikkan air mata. Sakit Muh-kah, atau sakitnya sendiri.
Baca juga: Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri
Begitu sampai di rumah sakit dan mendapatkan sebuah kamar di lantai empat, Muh langsung di-nebu. Muh tak henti menangis dengan suara yang makin parau. Fitri makin susah hati. Saat akhirnya ia bertanya pada dokter tentang penyakit yang diderita anaknya, sang dokter menjawab, ”Pneumonia.”
Fitri berseluncur di dunia maya—Muh sudah tertidur karena terlalu lelah menangis—dan mendapatkan informasi bahwa pneumonia merupakan kondisi saat paru-paru terisi oleh cairan dan faktor penyebab utamanya adalah polusi. ”Polusi,” Fit menggumam, ”bukan salah makan.” Ia tersenyum. Senyum itu semakin lebar saat ia menyadari bahwa saat ini hanya ada dirinya dan Muh, yang sedang terlelap. Tidak ada tugas. Tidak ada kekhawatiran. Tidak ada intimidasi yang terasa. Ia bahkan memegang ponsel tanpa takut dicap sebagai seorang pemalas. Untuk pertama kalinya sejak menikah, Fitri merasakan kebebasan itu.
Ia pun langsung melihat ke jendela lalu menoleh ke arah jam dinding. Ini waktu yang tepat untuk menikmati langit. Harapan tersebut terpenuhi, tetapi tidak sememuaskan yang ada di pikiran Fitri. Sama sekali tak ada warna biru di atas sana. Itu terjadi bukan karena malam segera datang, melainkan kabut asap yang menghalangi pandangan. Tanpa disadari oleh Fitri sendiri, ada perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Ia melihat langit yang abu-abu itu dengan hati yang membiru. Bolak-balik ia melihat pada Muh dan langit yang sama-sama muram. Namun tak bisa dihindari di hatinya muncul riak kebahagiaan. Senyum semakin mengembang tanpa tertahan.
Beberapa detik kemudian ponsel Fitri bergetar. Ada pesan masuk dari suaminya yang berprofesi sebagai anggota pemadam kebakaran. Lelaki itu harus lembur. Semakin banyak lahan di jalan lintas Palembang-Indralaya yang terbakar. ”Maaf. Jadinya tidak ada yang bisa menggantikanmu menjaga Muh di rumah sakit.”
Fitri membaca pesan tersebut dengan perasaan yang entah. Ia sungguh tidak tahu harus bereaksi dan merasa seperti apa. Satu hal yang menurutnya semakin jelas adalah langit semakin kehilangan birunya. Selama empat hari empat malam Muh dirawat, Fitri memperhatikan perubahan pemandangan dari lantai empat rumah sakit tersebut. Kelabu semakin menguasai langit. Helikopter pembawa air sibuk berlalu-lalang. Di teras balkon bisa ia lihat ada debu-debu hitam bekas daun atau rumput terbakar dibawa angin. Udara di luar sana semakin memburuk. Untungnya kesehatan Muh semakin membaik. Setelah rutin nebu dan minum obat, dokter mengizinkan bocah lelaki kecil itu untuk pulang.
Di rumah, Muh kembali energik dan Fitri kembali pada tugas-tugasnya, juga refleks-refleksnya saat melihat tanda-tanda tak suka dari sang mertua. Fitri sudah begitu terbiasa, hingga saat sore tiba, ia baru tersadar sesuatu: dirinya tak bisa lagi mengajak Muh bermain di luar rumah sebab bau asap semakin pekat. Di sisi lain, ia juga tak bisa membiarkan anaknya bermain di rumah karena kemungkinan besar anak itu akan merengek minta izin menonton kartun di hape. Karena bingung, Fit hanya termenung dalam bingung.
Beruntung saat itu sang suami pulang. Dari wajahnya, Fitri tahu lelaki itu benar-benar lelah. Namun suaminya langsung memeluk Fitri. Erat dan lama. Suaminya menyadari bahwa semakin hari binar di mata istrinya semakin redup. Hanya saja ia tak tahu apa sebabnya. ”Apa ada yang kau mau?”
Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Fitri tidak lagi membisu kali ini, pun tidak ragu. Pengalaman selama empat hari empat malam di rumah sakit ketika menjaga Muh mengajarkannya tentang sesuatu yang benar-benar ia inginkan. Setelah menarik napas panjang, Fitri berkata mantap, ”Aku ingin kita bertiga pindah.”
Suami Fitri mematung sebentar. Lalu gantian ia yang menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata mantap, ”Aku akan bicara pada ibu.”
Kali ini gantian Fitri yang memeluk suaminya, erat dan lama. Akhirnya ia bisa mengatakan keinginannya seterang itu. Seperti api di lahan gambut yang sering kali tak tampak dari permukaan, seperti itulah kegelisahannya yang selalu ia tekan. Tetapi, seperti juga api di lahan gambut yang pada akhirnya membesar dan membakar, seperti itulah ia pada akhirnya memilih secara sadar.
Malam itu, saat Fitri meninabobokkan Muh, saat suaminya sedang berbicara empat mata dengan sang ibu, aroma asap tercium hingga ke dalam rumah dan membuat sesak. Dari dalam kamarnya, Fitri yakin ada api yang menyala-nyala di luar sana. Ia ikut tertidur dalam gelisah. Saat terbangun subuh-subuh karena suara batuk Muh, Fitri langsung terduduk dengan keringat membanjiri tubuh. Suaminya ikut terkejut dan bertanya ada apa.
Fitri menggeleng-gelengkan kepala lalu bertanya pada lelaki yang memeluknya itu, ”Apakah langit akan biru hari ini?”
***
ART
Bukit Besar, 16 September 2023
Rizqi Turama, dosen Universitas Sriwijaya. Lahir di Palembang, 4 April 1990. Pernah mengikuti workshop cerpen Kompastahun 2016. Ia pernah memenangi beberapa lomba penulisan cerpen. Ia dapat disapa di Instagram dengan akun @rizqiturama.
Zusfa Roihan lahir di Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1978. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Kini dia aktif sebagai seniman dan dosen di almamaternya. Sejauh ini dia banyak terlibat dalam riset, kurasi, dan beberapa pameran, baik di dalam maupun luar negeri.