Berjudi dengan Maut
Beberapa jam lagi akan terjadi kegemparan yang segera reda. Terlupakan. Karena sebagaimana laki-laki itu di kotanya, di sini aku adalah hukum.
Putaran bilah-bilah kipas angin tak mampu menghadirkan kesejukan. Ruangan itu terasa pengap bukan hanya karena banyaknya pengunjung, tapi juga dari kepulan asap rokok yang berembus dari puluhan mulut. Aku tahu di tempat seperti ini mudah menemukan seorang putus asa yang bersedia melakukan apa saja dengan imbalan uang. Tapi, saat ini aku butuh seorang yang putus asa dan bisa dipercaya.
Aku memesan minuman. Sembari bersandar ke meja bartender dan menyesap minuman yang dipesan, kuedarkan pandang mencermati seluruh pengunjung. Harus segera kutemukan. Rencana itu harus secepatnya dijalankan. Sosok di seberang ruangan menarik perhatianku. Ada sesuatu di dirinya yang kukenal. Botol minuman di meja depannya tinggal terisi setengah. Dari paras yang kemerahan dan caranya memegang gelas, aku tahu dia sudah mabuk.
Kugamit si bartender.
”Siapa dia?”
Yang ditanya mengikuti arah tatapanku.
”Tak tahu nama, tapi dia cukup sering ke sini.”
”Dia pejudi?”
Senyum samar muncul di bibir lawan bicaraku.
”Bukankah semua begitu.”
”Mungkin seharusnya aku tidak memberinya sebotol lagi,” tambahnya, ”Dia sudah terlalu banyak minum.”
Aku berjalan menuju meja lelaki itu lalu duduk tanpa permisi. Kulirik dia yang bergeming.
Ternyata ia tak semuda sebagaimana tampak dari jauh. Bekas luka di pipi terlihat samar di balik jambang yang dibiarkan tumbuh.
”Malam yang berat?” sapaku.
Laki-laki tersebut berkata tanpa memandang.
”Pergi.”
”Baiklah,” sahutku datar sambil bangkit, ”Agaknya kau tak tertarik dengan tawaranku.”
Ada gerakan mendadak di belakangku.
”Tawaran apa?”
Aku pura-pura tidak dengar. Harus kuuji seberapa tertarik dia. Pengalaman mengajarkan: semakin tertarik seseorang, semakin mudah ia dikuasai. Gelas minuman dan lembaran uang aku letakkan di meja bartender sebelum melangkah keluar.
Mungkin seharusnya aku tidak memberinya sebotol lagi.
Malam mulai larut. Kutinggalkan kedai minum tersebut dan menyusuri jalan pulang hanya diterangi sinar pucat bulan, mengabaikan gemerisik di belakang. Kesabaran si penguntit rupanya tak bertahan lama. Dipercepatnya langkah, menarik lenganku sambil berteriak sebelum mencapai tempat kendaraan diparkir.
”Hei! Aku tanya, apa tawaranmu!”
Dahiku mengernyit ketika napas berbau alkohol menyapu wajah. Meski suka minum, aku benci pemabuk. Tiap manusia harus tahu batas kemampuannya sebelum jadi makhluk rendahan yang sama sekali tak beretika. Aku renggut lepas cengkeramannya, mendorong laki-laki tersebut sampai jatuh terjerembab, kemudian melemparkan kartu nama yang kuambil dari saku ke sisinya.
”Aku tidak berbisnis dengan pemabuk. Bersihkan dirimu. Datang ke alamat itu setelah kau sadar.”
Aku masuk ke mobil dan melaju pergi.
***
Beberapa hari berselang, selagi menimbang berapa lama harus menunggu, pintu rumahku diketuk. Minuman keras memang bisa mengubah seseorang. Menyaksikan perubahan sosok di balik pintu, aku mulai meragukan kesanggupannya menjalankan tugas.
Si tamu menggumam.
”Aku datang.”
Ia melangkah masuk dan duduk begitu aku menyisih memberi jalan. Kututup pintu dan duduk di depannya. Pria tersebut gugup dan gelisah. Berulang kali disisirnya rambut dengan jari- jari tangan sambil mengerling cemas ke pintu masuk seakan takut ada yang membuntuti.
”Apa tawaranmu?” tanyanya. ”Aku benar-benar terdesak.”
”Siapa namamu?”
Tak segera terdengar jawaban.
”Terserah nama asli atau palsu. Hanya untuk memudahkanku memanggilmu.”
”Rex.”
”Berapa utangmu?”
Baca juga: Ramai
Anak muda itu menyebutkan jumlahnya.
”Anggap lunas.”
”Bukan hanya itu,” bantah Rex cepat, ”Aku juga ingin bayaran untuk apa pun yang akan kulakukan.”
”Tentu saja.”
”Jadi apa tugasku?”
”Memerankan seseorang.”
Mata Rex mengerjap. Sebelum diutarakannya apa yang ada di pikiran, aku bangkit dan mengulurkan tangan.
”Kau akan kuhubungi lagi.”
Lelaki itu menjabat tanganku dengan enggan. Sesaat terlihat ia ingin mengatakan sesuatu yang segera diurungkan. Kupandangi sosoknya melangkah pergi, membuka pintu depan dan menghilang. Gerakannya setengah menyelinap, membuatku makin yakin telah mengenalnya.
Tiga hari kemudian aku menghubunginya. Kami bertemu di rumahku tepat pukul sembilan pagi. Pembicaraan berkisar tugas untuknya dan pembayaran yang akan diterima. Ketika Rex bersiap pergi sejam kemudian, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, kulontarkan kejutan yang telah kusiapkan.
”Bagaimana kabar ayahmu? Aku harap dia telah keluar dari penjara dan baik-baik saja.”
Perlahan tamuku berbalik. Wajahnya seputih kertas.
”A… apa maksudmu?”
Aku menarik laci lemari terdekat dan mengeluarkan berkas-berkas di dalamnya. Kutaruh berkas-berkas itu di meja depanku, memandang tenang si pria.
Bagaimana kabar ayahmu? Aku harap dia telah keluar dari penjara dan baik-baik saja.
”Tak sulit mengenalimu, Rex. Bukan hanya perawakan dan gerak-gerik ayahmu yang kau warisi, tapi juga sifatnya.”
Rex kembali duduk. Bulir keringat muncul di dahinya.
”Semua ada di situ,” ucapku, sementara laki-laki tersebut membalik-balik tumpukan berkas dengan jari gemetar.
”Apa maumu?!””teriaknya putus asa.
Kukeluarkan secarik kertas dari saku baju.
”Bacalah.”
Disambarnya kertas itu. Bola mata Rex bergerak cepat, menelusuri tulisan yang tertera.
Susah payah ditelannya ludah sebelum membantah parau.
”Bukan ini kesepakatan kita.”
”Kesepakatan batal. Mulai sekarang kau akan melakukan apa pun yang kuperintahkan.”
Kutatap sosok yang sepenuhnya menyadari ia tak punya pilihan. Sudut bibirku terangkat, gembira menemukan sekutu tepercaya. Rex, atau siapa pun dia sebenarnya, tidak akan berani berkhianat selama rahasia hidupnya ada di tanganku.
***
Rencana itu berjalan mulus, aku tinggal selangkah lagi. Mudah saja mempergunakan Rex untuk menarik perhatian lelaki tersebut. Berbagai informasi yang dikumpulkan Rex melengkapi penyelidikan yang telah kulakukan selama ini. Lima bulan kemudian aku yakin sudah waktunya bertindak.
Jarum arloji menunjukkan sepuluh menit setelah tengah malam setiba di sana. Terletak di pinggiran kota, nyaris tanpa penerangan, bangunan besar itu tampak bagai raksasa dalam gelap.
Aku matikan mesin setelah melintasi gerbang utama, turun dari mobil, kemudian menghampiri sosok gelisah yang menanti di teras.
”Sudah kulakukan semua yang kau inginkan. Dia ada di kamar tidur di lantai atas, ruangan kedua sebelum balkon. Begitu siuman, dia tak bisa melakukan apa pun, termasuk bersuara.”
Baca juga: Bejo di Negeri Straya
”Terima kasih,” ucapku. Bagaimana pun aku bisa sejauh ini berkat bantuannya.
”Semua utangmu lunas. Sudah kutransfer pembayaran ke rekeningmu. Aku sarankan juga kau pergi secepatnya dari kota ini.”
Rex mengabaikan ucapanku. Dipandangnya aku dengan tajam.
”Pegang kata-katamu. Aku tak mengenalmu. Masalah ini sepenuhnya tanggung jawabmu.”
”Tentu.”
Aku perhatikan sosok Rex hilang dalam gelap. Sesaat diriku bergeming. Terdengar deru mesin di kejauhan, diikuti kemunculan mobil. Lampu depannya yang terang menyorot kendaraan yang kuparkir selagi mobil itu meluncur pergi. Detik berikutnya kukenakan sarung tangan karet dan menekan gagang pintu.
Meja berhiaskan rangkaian bunga plastik serta beberapa kursi di sekitarnya adalah yang pertama kulihat. Detak jarum jam dinding terdengar jelas dalam keheningan. Berbeda dengan keadaan di luar rumah yang kelam, seluruh ruangan bermandikan cahaya. Menempel ke tembok taman belakang, terdapat kandang anjing dengan sang penghuni yang tertidur pulas setelah Rex membiusnya.
Aku naik tangga yang melingkar ke atas dan menuju ruangan sesuai petunjuk Rex. Lelaki itu belum sadar. Aku keluar mengambil segayung air dari kamar mandi. Aku tak bisa lama-lama di sini. Dua kelopak mata pria yang terbaring di tempat tidur terbuka begitu air mengenai wajah.
Berkedip-kedip, berupaya mengusir kabut air yang mengaburkan penglihatan. Sesaat kemudian ekspresinya berubah. Masa yang berlalu belum cukup banyak untuk mengubah penampilanku.
Dibukanya mulut, berusaha mengeluarkan suara tanpa hasil.
Kusunggingkan senyum lalu berkata ramah.
”Waktumu habis.”
Setengah jam kemudian aku sudah ada dalam mobil. Ada satu tempat lagi yang harus aku datangi sebelum pulang. Kusentuh bekas luka di dada. Tanda mata yang ditinggalkan si lelaki dua tahun lalu. Aku puas melihat keputusasaan di matanya, sadar hidupnya akan berakhir di tangan korban yang tak sengaja dibiarkannya hidup hari itu.
Kendaraan kuhentikan di tepi jalan tanah, keluar kemudian menyerahkan kunci mobil pada seseorang yang menunggu.
”Lakukan sesuai perintah.”
Ia mengangguk sebagai jawaban dan membawa mobilku pergi. Aku berhenti di dekat sungai dalam perjalanan pulang, membakar sarung tangan karet dan menghanyutkan gumpalan hitam. Langit semburat merah begitu aku sampai di rumah. Beberapa jam lagi akan terjadi kegemparan yang segera reda. Terlupakan. Karena sebagaimana laki-laki itu di kotanya, di sini aku adalah hukum.
Daisy Rahmi, kelahiran Manado. Cerpennya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta. Kumpulan Cerpen Solo Kepak Sayap Merpati (Alinea Publishing, 2022), Antologi : Musim Bahagia (Gigih Mandiri Pustaka, 2022), Yang Tak Diketahui (Alinea Publishing, 2022), Kembalinya Imam Surau (Phoinex Publisher, 2022).