Cerita dari Warteg
Wajahnya mirip sekali dengan Lee Min Ho. Sebagai ”K-popers”, ia tahu dengan detail ambasador sebuah produk kopi instan sasetan yang kerap tampil dalam iklan TV dalam negeri.
Dewi Sri begitu sangat tekunnya mengiris tempe tipis-tipis. Sekuatnya rasa kantuk ditahan yang tentu tetap konsentrasi dengan pisau dalam irisan demi irisan tempe agar sama tipisnya. Gadis manis yang berambut panjang itu tak ingin jarinya teriris. Sudah sembilan tempe dikerjakannya. Kini tinggal satu tempe lagi yang secepatnya harus dirampungkan sebelum jarum jam dinding melintas di angka dua belas.
Selain teh poci dan jengkol, gorengan tempe menjadi ciri khas warteg asli Tegal. Untuk itu, gorengan tempe memang diusahakan harus selalu ada. Karena kedelai sebagai bahan tempe sekarang semakin mahal sehingga disiati tempe diiris-iris, setipis ATM.
”Cepat dirampungkan pengirisan tempenya, Nduk!” tegur Mbok Dayem, ibunya, dengan suara serak mengingatkan.
Dewi Sri mengangguk-angguk dan segera mempercepat pengirisan tempenya. Rasa kantuk kini didepaknya jauh-jauh. Ia tak ingin mengecewakan ibunya. Bahkan ia menunjukkan kinerjanya sebaik mungkin.
Sejak Mbok Dayem sakit-sakitan, otomatis Dewi Sri-lah yang kemudian menggantikan posisinya menangani warteg. Sang ibu mempersiapkan Dewi Sri untuk menggantikan dirinya sudah cukup lama dengan mengajarinya mulai dari belanja ke pasar, masak, hingga melayani pembeli. Bahkan sejak Dewi Sri lahir, warteg yang tanpa nama langsung diberi nama: Dewi Sri.
Cepat dirampungkan pengirisan tempenya, Nduk!
Booming waralaba warteg, mulai Warteg Kharisma Bahari, Warteg Mamoka Bahari, Warteg Subsidi Bahari, Warteg Selaras Bahari, Putra Bahari, Pesona Bahari, tapi Mbok Dayem belum ikut bergabung grup waralaba tersebut. Mungkin suatu hari nanti. Biarlah sekarang wartegnya masih tetap memakai nama Dewi Sri, nama anak semata wayangnya, yang amat sangat disayang. Bahkan ia berpesan pada anaknya agar tetap mempertahankan nama wartegnya Dewi Sri.
”Ingat ya Nduk!” ucap Mbok Dayem suatu waktu dengan nada bicara yang serius karena tampaknya yang dibicarakan penting sekali.
”Iya Mbok,” jawab Dewi Sri manut.
***
Sebagai anak yang berbakti, Dewi tentu manut, menuruti pesan ibunya tersebut. Ia juga tetap menjaga rahasia resep masakan semur jengkol ibunya yang tak ada bandingannya dengan warteg mana pun dan yang membuat warteg Dewi Sri laris. Karena resep ibu yang istimewa itu membedakan wartegnya dengan warteg-warteg lainnya yang banyak tersebar ribuan warteg se-antero Jabodetabek.
***
Baca juga : Tamu Dini Hari
Mbok Dayem pernah menceritakan pada Dewi Sri tentang sejarah warteg yang diperkirakan muncul sekitar tahun 1960-an. ”Kemunculannya bebarengan dengan pembangunan infrastruktur Ibu Kota yang berjalan pesat setelah 10 tahun kemerdekaan Indonesia,” ucap Mbok Dayem bangga.
Lebih lanjut, Mbok Dayem menerangkan, kala itu Presiden Soekarno memang berupaya mempercepat pembangunan Ibu Kota. Momen ini dimanfaatkan oleh warga Tegal untuk mengadu nasib di Jakarta yang saat itu kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan di lokasi proyek. ”Istri-istri kuli bangunan mencoba untuk berbisnis kuliner dengan menjual nasi ponggol khas Tegal di lokasi proyek,” terang Mbok Dayem
Menurut Mbok Dayem, seiring berjalannya waktu, dibangunlah warung-warung kecil dengan menu ponggol di sekitar lokasi proyek pembangunan, yang ternyata disukai warga Jakarta, dan para pendatang lainnya dari seluruh pelosok Indonesia. ”Akhirnya berkembang menjadi warteg seperti sekarang ini yang tak hanya nasi ponggol dengan lauk tahu tempe, tapi lebih beragam lagi,” beber Mbak Dayem tersenyum mesam-mesem.
”Nah, Simbok-mu mengandalkan semur jengkol,” tegas Mbok Dayem.
”Tapi ada versi lainnya, sejarah warteg itu dimulai dari zaman VOC, Mbok,” sela Dewi Sri mencoba memberi pandangan lain dari sejarah warteg.
”Masa sih, Nduk?” sontak Mbok Dayem kaget dan seketika tampak penasaran.
”Iya, Mbok, ada yang bilang sejarah warteg dimulai sewaktu penyerangan Mataram Sultan Agung ke VOC di Batavia, Tegal dijadikan dapur besar. Bupati Tegal waktu itu, Tumenggung Martoloyo, yang ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik,” Dewi Sri tampak begitu sangat bersemangat menceritakan sejarah warteg.
Istri-istri kuli bangunan mencoba untuk berbisnis kuliner dengan menjual nasi ponggol khas Tegal di lokasi proyek.
Lalu, lanjut Dewi Sri, pasukan telik sandinya, berasal dari tiga desa. Sidakaton, Sidapurna, Jembawan, yang sekarang dikenal jadi desa asal warteg. ”Badan intelijen itu menyusup ke Batavia sebagai penjaja makan. Lama-kelamaan, gerakan warung rakyat ini berkembang jadi warteg. Mataram Sultan Agung gagal, kalah dalam perang melawan VOC, tapi warteg tidak pernah gagal menyerbu Jakarta, bahkan sekarang sudah ribuan warteg di Jakarta,” ucap Dewi Sri bangga.
”Oh, begitu ya sejarahnya, Nduk,” tutur Mbok Dayem mengangguk-angguk.
***
Pagi-pagi, datang seorang pemuda tampan yang makan di wartegnya. Ia tidak sendiri, melainkan bersama dengan kedua temannya. Dewi Sri mengetahui sejak pemuda tampan itu masuk. Melihat ketampanannya membuat ia gugup sehingga jadi tidak konsentrasi melayani.
Pesanan semur jengkol, tapi disajikan sayur brokoli.
“Lho semur jengkol seperti ini ya?” tanya pemuda tampan itu lugu.
Menyadari apa yang disajikan beda dengan yang dipesan, Dewi Sri buru-buru memundurkan piring yang berisi sayur brokoli, kemudian dengan sigap secepatnya mengambil piring baru langsung diisi semur jengkol.
”Ma, ma, maaf,” ucap Dewi Sri meminta maaf dengan sedikit gugup menghadapi pemuda tampan itu. Dalam hati berulang kali ia menyebut-nyebut Mbok Dayem seperti minta tolong agar diberi kekuatan dalam melayani pembeli tampan.
Sang pemuda yang tampan itu tersenyum, membuat Dewi Sri jadi tersipu-sipu malu. Betapa Dewi Sri menyadari belum pernah sekikuk ini dalam melayani pembeli.
***
Beberapa saat kemudian, terlihat pemuda tampan itu tampak makan dengan lahap. Kedua temannya heran sampai geleng-geleng kepala. Dewi Sri memperhatikan dengan saksama. Dalam hati, ia gembira karena masakan semur jengkolnya disukai pembeli, dan lebih gembira lagi tentu karena kini disukai pembeli yang tampan itu.
Dewi Sri jadi membayangkan bagaimana dulu simboknya mengajari masak semur jengkol dengan resep terbaik yang telah turun-temurun dari keluarga besarnya, keluarga warteg di Desa Sidakaton, Dukuhturi, Tegal. Sebuah desa yang mayoritas warganya membuka warteg di Jakarta.
Baca juga : Pohon Larangan di Bengayoan
Di warteg Dewi Sri masakan andalannya memang semur jengkol yang sudah sangat terkenal enak. Agar tetap digemari masyarakat, Dewi Sri tetap menjaga kualitas jengkolnya yang terbaik kelas satu. Ia bahkan sampai berani beli mahal jengkol asal memang kualitasnya benar-benar bagus.
***
Selesai makan, pemuda tampan itu langsung buru-buru menghampiri Dewi Sri.
”Terima kasih, semur jengkolnya enak sekali,” ucapnya memuji.
Lebih lanjut, pemuda itu menerangkan kekagumannya, ”Belum pernah saya makan semur jengkol seenak dan sesedap ini.”
Menurut pemuda itu, ia sudah terbiasa makan di ratusan warteg dan baru kali ini ia merasakan semur jengkol yang benar-benar enak dan sedap. ”Saya sungguh benar-benar sangat menikmati semur jengkol ini,” ungkapnya mantap.
Dewi Sri yang dipuji-puji kelezatan masakan semur jengkolnya tersenyum sangat bahagia sekali. Apalagi yang memuji pemuda tampan yang memikat hatinya sejak dirinya melihat pertama kali masuk ke dalam warteg.
***
”Bolehkah saya bicara empat mata sebentar?” tanya pemuda tampan itu serta-merta membuat Dewi Sri kaget tak terkira.
Dewi Sri mengangguk dan buru-buru menunjuk ke arah dalam. Pemuda tampan itu tampaknya tahu apa yang dimaksud, langsung masuk ke dalam, ke tempat yang ditunjuk.
Begitu masuk dan berhadapan langsung dengan Dewi Sri, pemuda tampan itu memperkenalkan diri.
”Saya Steven,” ucap pemuda tampan itu menyebut nama diri dengan menyodorkan tangannya.
Dewi Sri yang sejak awal terpesona pada sosok tampan di hadapannya itu kini lebih terkesima lagi, menatap tak berkejap, bahkan sama sekali tak merespons uluran tangannya.
Wajahnya mirip sekali dengan Lee Min Ho. Sebagai K-popers, penggemar berat K-pop, ia tahu persis detailnya dengan ambasador sebuah produk kopi instan sasetan itu kerap tampil dalam iklan TV dalam negeri sehingga dirinya sangat familiar dengan wajahnya.
Dengan masih menyodorkan tangan, pemuda yang menyebut diri Steven itu kini menerangkan maksud kedatangan, ”Saya ke sini sebenarnya ingin membicarakan sesuatu yang penting sekali. Siapa yang bernama Dewi Sri?”
Dewi Sri yang sejak awal terpesona pada sosok tampan di hadapannya itu kini lebih terkesima lagi, menatap tak berkejap.
Dewi Sri buru-buru mengakui, ”Sa-saya Dewi Sri.”
”Oh jadi kamu yang namanya Dewi Sri,” ujar Steven kaget tak mengira.
”Iya,” jawab Dewi Sri terkesiap.
”Syukurlah kalau begitu,” ucap Steven kini menatap Dewi Sri dari ujung rambut sampai ujung kaki, seperti sedang interogasi, kini menjelaskan, ”Saya dapat tugas dari papih saya yang akan meneruskan penawaran investasinya sebagai investor agar warteg ini menjadi lebih besar lagi.”
”Ha?!“ Dewi Sri kaget tak terkira dengan keterangannya.
Steven tahu kalau orang yang di hadapan kaget dengan penjelasannya sehingga jeda sejenak untuk kemudian kembali menjelaskan, ”Dulu Kyong, papih saya, sudah menawarkan investasinya untuk membesarkan warteg ini kepada Mbok Dayem, mamih kamu, agar warteg ini bisa menjadi lebih besar lagi, tapi entah mengapa mamih kamu menolaknya. Padahal, papih saya tidak bermaksud apa-apa, selain memang ingin membantu mamih kamu agar warteg ini menjadi lebih besar lagi.”
Dalam hati, Dewi Sri menebak-nebak bagaimana bentuk kerja sama orangtuanya dengan orangtua Steven sehingga sampai tidak terjadi kesepakatan. Bahkan simboknya seperti sampai antipati dan keukeuh berkeras hati untuk mempertahankan nama wartegnya tetap Dewi Sri.
Tampak Steven mendadak jadi agak sungkan melihat Dewi Sri terlihat diam saja. Ia memang sempat mundur beberapa inci ke belakang, tapi teringat pesan papihnya agar tetap semangat yang membuatnya kemudian maju ke posisi tempat berdiri semula. Ia pun jadi lebih semangat lagi untuk berusaha sebisa mungkin agar dapat meyakinkan Dewi Sri supaya menerima dirinya sebagai investor yang akan membesarkan wartegnya.
”Dewi Sri, ayo bicaralah, apa yang harus saya lakukan supaya kamu menerima saya sebagai investor yang akan membesarkan warteg ini. Sebutkan berapa jumlah uang yang kamu butuhkan, saya siap menyanggupinya,” Steven tampak memohon-mohon penuh harapan besar agar Dewi Sri benar-benar mau menerima dirinya sebagai investor yang akan membesarkan warteg.
Sontak Dewi Sri menatap tajam pada diri Steven. Sebuah tatapan yang penuh arti, meski tanpa ucapan sepatah kata, pemuda Korea itu tahu isyarat yang disampaikan dengan tatapan tajam, kalau perempuan pewaris tunggal warteg itu telah memberikan jawaban tak menerima dirinya sebagai investor. Steven pun bergegas segera pergi meninggalkan warteg yang begitu sangat terkenal dengan semur jengkol itu.
Baca juga : Mo Thian Liang
Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2023
Akhmad Sekhu, penulis kelahiran Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971. Novelnya Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021). Kumpulan cerpennya, Semangat Orang-orang Jempolan, siap terbit.