Senyum di Wajah Jamilah
Jamilah belum pernah membunuh orang. Tetapi dia sudah sering melihat kematian.
Jamilah sesaat terlihat ragu. Bungkusan hitam di tangannya hampir terjatuh. Baju kurung dan kerudung yang lebar sama sekali tidak mampu menyembunyikan gemetarnya. Menarik napas dalam-dalam dan mengucapkan doa seolah itu adalah momennya yang terakhir, Jamilah sekuat tenaga berusaha menenangkan diri. Kesalahan sekecil apa pun akan mengacaukan semua rencananya. Sebagai salah satu pasukan inong balee yang menyamar sebagai juru masak di markas tentara, dia ditugasi untuk meracuni para tentara itu. Racun yang dimilikinya tidak dimaksudkan untuk membunuh para tentara itu secara seketika. Mereka bahkan tidak akan sadar sudah diracuni hingga 3 bulan berikutnya. Mulanya mereka akan mengalami batuk kering yang diikuti demam. Mereka akan mati secara perlahan.
Jamilah bekerja di sini sejak setahun yang lalu. Ada sekitar 300 tentara yang berdatangan dari seluruh Indonesia di markas ini. Mereka datang dan pergi sesuai dengan rotasi yang Jamilah sendiri tidak begitu mengerti. Jamilah diberikan tanggung jawab untuk memasak makanan khas Aceh setiap hari rabu dan minggu, dibantu oleh beberapa tentara sebagai asistennya.
Jamilah belum pernah membunuh orang. Tetapi dia sudah sering melihat kematian. Seluruh keluarganya dibantai secara biadab di depan mata kepalanya sendiri. Setiap mengingat saat Ayah, Mak, Nek syiek, Pakwa Johan, dan suaminya dibunuh, Jamilah merasakan aliran darahnya mendidih. Bekerja di sini seperti penyiksaan tanpa akhir baginya. Andai dia bisa memilih, tentunya dia akan melompat ke arah para tentara itu dan menghujamkan mata rencongnya tepat di jantung mereka.
Jamilah masih berumur 10 tahun saat konflik memaksanya menjadi yatim-piatu. Terlunta-lunta tanpa sanak saudara, Jamilah kemudian diadopsi oleh salah seorang tetua desa. Jamilah tumbuh menjadi remaja putri yang jelita. Sehari-hari, selain memasak, Jamilah juga mengurusi sawah dan ladang orang tua angkatnya. Hal itu membuat fisik Jamilah terlatih dengan baik. Namun Jamilah sangat jarang tersenyum. Dia lebih sering terlihat menyendiri, tak banyak bicara.
Jamilah menikah pada usia 19 tahun. Bang Gam, suaminya, adalah imam masjid di kampung mereka. Setahun setelah pesta pernikahannya yang sangat sederhana, Jamilah melahirkan bayi laki-laki. Jamilah mulai tersenyum dan belajar melupakan masa lalunya yang dipenuhi darah. Kebahagiaan Jamilah hanya bertahan sesaat. Pada tahun keempat pernikahannya, konflik kembali memanas. Bang Gam tewas dibunuh setelah dituduh sebagai mata-mata yang membantu Gerakan Aceh Merdeka. Tidak lama kemudian, anaknya meninggal karena demam berdarah. Hidup terkatung-katung dalam kemiskinan setelah kematian suaminya membuat Jamilah tak mampu membayar biaya rumah sakit untuk menyelamatkan anak semata wayangnya.
Sejak itulah, Jamilah memutuskan bergabung dengan pasukan inong balee. Batinnya dipenuhi kemarahan.
Jika hukum di negeri ini tidak mampu memberikan keadilan atas setiap penderitaan yang telah dilaluinya, persetan dengan mereka semua. Dengan membunuh para tentara itu, setidaknya istri, anak, atau orang tua mereka akan merasakan penderitaan yang sama. Penderitaan karena kehilangan orang yang mereka cintai.
Jamilah tiba di pintu gerbang. Serbuk racun dia sembunyikan di sekitar lilitan karet ikat rambutnya. Selama bekerja di sini, Jamilah belum pernah diperintahkan untuk melepaskan kerudungnya pada saat diperiksa oleh para tentara yang menjaga pintu gerbang. Karena itulah Jamilah memilih menyembunyikan racunnya di situ.
Salah satu penjaga di depan pintu gerbang mengangguk sopan ke arahnya. Jamilah tahu bahwa tentara itu menyukainya. Jamilah membalas sapaannya dengan seulas senyum. Lelaki itu terperangah. Selama ini Jamilah hanya membalas senyuman atau sapaan lelaki itu dengan wajah datar dan tatapan kosong. Jamilah berusaha mengalihkan pikirannya pada menu yang akan dia masak hari ini, berharap itu akan membantu mengurangi debar di dadanya atau rasa canggung yang mendadak mengepungnya. Setelah semua keranjang belanjaannya diperiksa, Jamilah akhirnya diizinkan masuk.
Beberapa tentara sudah menunggunya di dapur. Jamilah sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan pisau, gunting, atau benda tajam yang lain saat memasak. Para tentara itu yang akan melakukan semua tugas tersebut. Jamilah mulai memisahkan bumbu-bumbu yang nantinya akan dihaluskan. Hari ini dia akan memasak kuah pliek u dan telur dadar khas Aceh yang menggunakan kelapa parut dan asam sunti sebagai menu utama. Untuk para tentara yang alergi telur, Jamilah akan menyiapkan ayam tangkap dan pepes udang. Untuk makanan pembuka, Jamilah akan membuat kanji rumbi. Sedangkan untuk hidangan penutup, Jamilah akan menghidangkan boh rom-rom dan timphan asoe kaya.
Para tentara yang membantunya di dapur sudah hafal bahwa Jamilah tidak banyak bicara saat menginstruksikan mereka. Jamilah selalu mempersiapkan catatan yang menjelaskan dengan detail apa yang harus mereka kerjakan. Jamilah memperhatikan sekelilingnya secara diam-diam. Dia sadar bahwa para tentara yang kini sedang membantunya mempersiapkan masakan juga melakukan hal yang sama, mengamatinya dengan seksama.
Setiap apel pagi sebelum Jamilah mulai memasak, hal yang selalu ditekankan oleh komandan penanggung jawab bagian dapur adalah tentang racun. Jika Jamilah berani meracuni para tentara di sini, Jamilah tidak hanya akan disiksa dan dibunuh, tetapi seluruh warga kampungnya juga akan dibinasakan. Untuk itulah Jamilah diwajibkan mencicipi setiap masakan yang dimasaknya terlebih dahulu sebelum makanan-makanan itu diantar ke aula, tempat di mana para tentara menikmati makan siang dan makan malam mereka.
Aroma masakan mulai menguar di udara. Bunyi pisau yang beradu dengan papan pemotong atau denting wajan saat Jamilah mengaduk makanan yang sedang dia masak saling tumpang-tindih. Keringat di dahi Jamilah menetes satu-satu. Panas bara api setelah berdiri berjam-jam di samping tungku memasak semakin terasa. Jamilah masih belum menemukan saat yang tepat untuk menaruh racunnya. Dia tidak bisa sembarangan menggaruk kepalanya atau meletakkan tangannya di tempat yang lain dalam waktu yang lama. Para tentara itu akan dengan cepat mencurigainya. Baju kurungnya mulai basah kuyup oleh hawa panas dari tungku memasak dan terik matahari di luar. Beberapa tentara yang berada di dapur ikut melepaskan seragam mereka dan hanya mengenakan kaos lengan pendek. Jamilah melihat hal itu sebagai sebuah kesempatan besar.
”Pak, apa boleh saya minta dibawakan kipas angin? Terlalu panas di sini!” Jamilah menggunakan bagian depan kerudungnya untuk mengipas wajahnya yang dipenuhi keringat.
Para tentara itu sedikit terkejut mendengar suara Jamilah. Mereka bahkan sepertinya sama sekali tidak menyadari saat Jamilah dengan cekatan meraih karet ikat rambutnya dan meletakkan racun itu di antara daun ubi dan melinjo. Salah satu tentara bergegas keluar. Tak lama kemudian, tentara itu kembali sambil menjinjing kipas angin.
Berdasarkan perintah yang dia terima, racun yang dimilikinya harus dimasukkan pada suhu yang panas. Para tentara yang menjadi asisten memasaknya masih terlihat sibuk mempersiapkan sayur-sayuran untuk kuah pliek u, sedangkan Jamilah baru saja selesai memeras santan. Debar di dadanya tidak lagi secepat sebelumnya. Namun, entah kenapa Jamilah mendadak merasa gelisah. Akal sehatnya mengingatkan dia bahwa para tentara yang akan dia racuni hari ini bukanlah mereka yang sudah menembaki suami dan anggota keluarganya yang lain. Ada bimbang yang perlahan mengetuk kewarasannya.
Jamilah teringat senyum di wajah Bang Gam sebelum peluru menembus ulu hati suaminya. Lelaki itu berteriak agar Jamilah menjaga anak mereka dan pergi sejauh mungkin. Jamilah merasakan matanya memanas oleh rasa bersalah karena tidak mampu memenuhi keinginan terakhir suaminya itu. Anak semata wayang mereka sudah mati dan kini Jamilah ikut bergabung dengan para pemberontak.
Baca juga: Guru Mud
Racuni mereka semua, Jamilah! Meskipun bukan para tentara ini yang membunuh suamimu, tetapi mereka bagian dari ketidakbecusan negeri ini dalam mengatasi konflik di sini. Jamilah menghirup napas dalam-dalam. Dendam yang sudah dipendamnya selama bertahun-tahun berkecamuk memenuhi benaknya. Sedangkan akal sehatnya ibarat lilin yang hampir padam oleh badai kemarahan.
”Ibu Jamilah baik-baik saja? Apa masih perlu saya ambilkan kipas angin yang lain?”
Jamilah hampir saja menjatuhkan gula merah yang sedang dia persiapkan untuk membuat boh rom-rom. Kebimbangannya tadi membuat Jamilah sesaat lupa bahwa ada banyak mata yang mengawasinya.
”Tidak perlu. Terima kasih!” Jamilah menundukkan pandangannya dalam-dalam, seolah menghindari tatapan mata para tentara itu. Dalam hati, Jamilah mengutuk keteledorannya sendiri.
Dengan cekatan, Jamilah menyelesaikan adonan boh rom-rom dan timphan asoe kaya. Kuah pliek u dan kanji rumbi sudah hampir masak, sedangkan ayam tangkap dan pepes udang kini siap untuk diantar ke aula. Jamilah memeragakan cara memasukkan irisan gula merah ke dalam adonan boh rom-rom sebelum direbus dalam air mendidih. Para tentara itu sempat gagal beberapa kali sebelum kemudian menguasai cara membuat boh rom-rom dengan baik. Jamilah membiarkan mereka melakukan sisanya dan kini fokus untuk menyelesaikan timphan asoe kaya. Telur dadar Aceh akan dia persiapkan paling terakhir agar nantinya tetap segar dan renyah saat dihidangkan.
Racun yang Jamilah persiapkan sebelumnya tidak lagi terlihat di sekitaran dapur. Jamilah nampak tenang, tidak lagi segugup sebelumnya. Namun matanya secara diam-diam masih mengamati sekelilingnya dengan teliti. Setelah mencicipi setiap masakannya sebelum diantar ke aula, Jamilah tersenyum puas. Senyum yang selama ini begitu asing di wajah Jamilah.
Catatan:
Pasukan inong balee: pasukan wanita gerakan aceh merdeka
Nek syiek: Nenek
Pakwa: Saudara laki-laki Ayah atau Ibu yang lebih tua
Kuah pliek u: Gulai asal aceh yang memiliki bahan dasar ampas kelapa yang telah melalui proses pemerasan minyaknya dan sudah difermentasi dan dijemur hingga kering
Asam sunti: bumbu dapur dari Aceh yang dibuat dari belimbing wuluh yang diberi garam dan dijemur di bawah terik matahari berhari-hari sehingga kering
Ayam tangkap: masakan khas Aceh yang terbuat dari ayam yang digoreng dengan bumbu dan rempah-rempah khas
Kanji rumbi: Bubur asal Aceh yang dimasak dengan berbahan utama beras dan rempah-rempah yang dicampur dengan udang dan potongan daging
Boh rom-rom: Sejenis kue khas Aceh yang terbuat dari tepung ketan dan gula merah
Timphan asoe kaya: Kue tradisional khas Aceh berbahan dasar tepung ketan dan labu/pisang dengan isian selai srikaya yang manis, dibungkus dengan daun pisang muda dan dikukus
***
Rinal Sahputrasaat ini bekerja sebagai peneliti di Universitas Manchester, Inggris. Cerpen-cerpennya sudah pernah dimuat di beberapa media Tanah Air. Kumpulan cerpennya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai salah satu finalis penghargaan Sastra Rasa 2022.