Angin mati pada dini hari. Di bawah tatapan bulan berwajah bulat, seorang lelaki berjalan cepat menelusuri jalan sempit di antara gedung-gedung dan tebing batu cadas yang curam di pinggiran kota Makkah. Namun, langkah lelaki itu terhenti saat mengetahui sekawanan anjing liar berkerumun menutupi jalan di depannya. Jumlahnya mungkin tujuh ekor. Bisa jadi lebih. Ia hanya bisa menerka-nerka karena penerangan di jalan tikus itu seperti lendir kelemayar bagi penglihatannya yang sudah berkaca mata. Di bawah cahaya yang berpendaran dari lampu-lampu gedung yang membelakangi jalan sempit itu, ia menyaksikan anjing-anjing liar berebut makanan dari dalam sebuah kantong plastik hitam besar yang sudah terkoyak-moyak. Ia menduga kantong plastik itu berisi sisa-sisa makanan yang biasanya dibuang di bak penampungan sampah di pinggir jalan.
Tetapi, anjing-anjing itu, dari manakah asalnya? Baru kali ini ia melihat anjing liar di kawasan Syisyah. Ia memang pernah melihat dan mendengar lolongan anjing-anjing liar di perbukitan Syib Amir dan kawasan Misfalah, yang letaknya masih berdekatan dengan Masjidil Haram. Mungkinkah anjing-anjing berasal dari sana dan berjalan belasan kilometer untuk pindah ke Syisyah? Ataukah anjing-anjing liar itu datang dari Padang Arafah, seperti yang pernah diceritakan seorang ulama besar asal Surabaya saat bertemu dengannya di Jeddah, beberapa waktu lalu?
Tentu tak ada jawaban. Pria itu pun termangu di antara kekagetan dan kebingungan. Ingin ia menghalau anjing-anjing liar itu agar memberi jalan baginya untuk cepat pulang ke rumah, tetapi nalarnya lebih berat menimbang ketidaksetujuan. Jumlah anjing itu terlalu banyak. Tidak sebanding dengan sisa tenaga yang ia miliki. Apalagi, ia masih mengenakan kain ihram. Ia juga tidak pernah mengetahui seberapa buas anjing-anjing itu. Atau jangan-jangan mereka semua mengidap rabies. Sehingga bila salah satu dari anjing itu menggigitnya bisa saja ia tertular penyakit anjing gila. Atau bisa jadi lebih parah. Hingga membuatnya berurusan dengan rumah sakit atau pihak berwajib. Padahal, ia tidak ingin keberadaannya diketahui oleh polisi atau pihak imigrasi Makkah.
Pria itu memang tidak punya banyak pilihan. Tanpa tasreh. Ditambah iqamah miliknya yang sudah kadaluarsa, ia bukan saja seorang calon haji ilegal. Tetapi, sekaligus adalah tenaga kerja asing bermasalah. Dalam banyak hal, keberadaannya di tanah suci ini memang tidak jauh berbeda dengan gerombolan anjing-anjing di depannya itu: liar dan tentu saja tidak diinginkan.
Membayangkan kenyataan itu, membuat lelaki berwajah kusut itu semakin lelah dan terduduk lesu. Seandainya ia bisa berbicara dengan anjing-anjing itu ia akan meminta mereka menunjukkan sikap solidaritas sebagai sesama penduduk liar kota Makkah dengan memberi jalan baginya. Tetapi itu tidak mungkin karena ia bukan Nabi Sulaiman.
Tetapi, lebih tidak mungkin lagi baginya memutar arah dan memilih jalan raya sebagai jalan lain untuk menuju rumah. Di pinggir jalan raya itu berjejer hotel-hotel yang menjadi pemondokan jamaah calon haji Indonesia. Di depannya, ada sebuah pos jaga yang dihuni lebih dari lima petugas. Mereka adalah orang-orang yang sangat sangat curiga akan kehadiran siapapun yang diketahui bukan petugas dan anggota jamaah. Walaupun orang luar itu sebangsa dengan mereka sendiri. Termasuk lelaki itu. Kalaupun saat ini pos jaga itu sudah sepi. Ia masih harus memperhitungkan patroli keamanan yang biasanya dilakukan oleh polisi Saudi pada dinihari.
**
Lelaki itu pernah mendengar cerita temannya yang diinterogasi selama berjam-jam oleh petugas-petugas haji itu saat hendak memasuki lobi hotel untuk menemui salah satu tetangga di kampungnya yang menjadi calon haji. Seorang temannya yang lain, juga bercerita, pernah ditahan oleh petugas-petugas itu saat berjalan di depan hotel yang menjadi pemondokan jamaah. Ia dicurigai sebagai joki hajar aswad. Padahal, temannya itu merupakan pembimbing ibadah umrah yang dipanggil oleh seseorang dari jamaah calon haji di hotel tersebut. Untungnya, mereka semua tidak sampai diserahkan ke polisi Saudi. Namun, nomor iqamah mereka dicatat oleh seseorang yang mengaku petugas linjam. Cerita-cerita itu membekas betul di benaknya. Itu sebabnya, ia dan istrinya tidak mau mengambil risiko. Mereka selalu memilih lewat jalan tikus ini setiap hendak pergi atau pulang agar lebih aman dan menghindari kecurigaan.
Di Syisyah, lelaki itu memang tidak tinggal sendiri. Sejak sebulan lalu, ia bersama istrinya pindah dari Jeddah ke Makkah dan tinggal di sebuah rumah kosong milik orang Saudi yang disewakan secara diam-diam oleh penjaganya. Seorang mukimin yang ia kenal dari mukimin lainnya. Setelah lima tahun tinggal di Saudi, lelaki itu memang berniat menunaikan ibadah haji bersama sang istri. Tidak hanya itu, mereka juga berencana berdagang bakso dan gorengan di tempat mereka bermukim di Syisyah, salah satu kawasan pemondokan jamaah haji Indonesia pada musim haji ini. Ia banyak mendapatkan cerita dari teman-temannya, bila musim haji merupakan musim menuai riyal bagi para mukimin yang mau memanfaatkan peluang untuk melayani kebutuhan jamaah calon haji Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Seperti yang tadi dilakukannya di Masjidil Haram. Ia baru saja membantu temannya menjual jasa mendorong kursi roda bagi jamaah berusia lanjut yang ingin menunaikan umroh sebelum wukuf. Upahnya sebesar tiga ratus riyal untuk jasa mendorong seorang jamaah saat melakukan tawaf dan sai. Namun karena kursi roda yang digunakannya merupakan hasil sewa, maka uang yang diterimanya hanya sebesar dua ratus riyal.
Baca juga: Siasat Gemblung
Ia sebetulnya khawatir ditangkap oleh askar Masjidil Haram. Karena bila itu terjadi, ia bisa ditahan dan dideportasi. Namun, temannya yang memberinya pekerjaan itu dan sudah belasan tahun tinggal di Makkah memberikan nasehat yang tak akan pernah dilupakannya. ”Kalau kau mukimin ilegal ingin hidup di Makkah tanpa masalah, ingat-ingat ini: perbesarlah akal jangan perbesar perut! Kau tahu maksudnya? Banyak-banyak berpikir dan jangan serakah! Terutama saat beroperasi. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap oleh askar Masjidil Haram saat menjadi joki hajar aswad atau pendorong kursi roda, itu karena serakah. Sekali mereka berhasil menjadi joki hajar aswad. Mereka ingin lagi, lagi, lagi, pada waktu yang berdekatan. Padahal, tindakan seperti itu membuat askar menjadi mudah mengenali dan langsung melakukan penangkapan. Jadi, bagaimana caranya supaya aman? Ya, cukup lakukan sehari sekali. Setelah itu pulang. Besok juga demikian. Waktunya juga jangan di jam yang sama setiap harinya. Bila hari ini kita lakukan pada malam hari. Besoknya di pagi hari. Lusa di sore hari. Demikian seterusnya agar kehadiran kita tidak terlalu mencolok dan mudah dikenali oleh askar-askar itu. Paham kau?” kata temannya itu.
Lelaki itu sulit untuk tidak setuju. Ia tidak punya pengetahuan dan pengalaman lain yang bisa menjadi perbandingan dari nasehat yang diberikan temannya itu. Terlebih, temannya itu sudah membuktikan berhasil selamat menjadi mukimin ilegal di Makkah. Tetapi menjadi mukimin ilegal bukan merupakan cita-citanya. Lelaki itu hanya ingin, ia dan istrinya, bisa ibadah Wukuf di Arafah sebagai inti ibadah haji. Syukur-syukur, mereka bisa mendapat keuntungan dari hasil berjualan bakso dan gorengan. Apalagi, temannya itu sudah memberitahu, tiga hari sebelum dan setelah pelaksanaan wukuf, kota Makkah akan berubah menjadi semrawut. Arus lalu lintas akan tersendat terutama di sekitar Syisyah, yang menjadi batas antara Makkah dan Jamarat. Pada saat itu, para pedagang bisa dengan bebas menjajakan barang dagangannya, tanpa harus khawatir dirazia polisi. Itu sebabnya, ia dan istrinya telah menyiapkan sebanyak mungkin bahan baku untuk membuat gorengan dan bakso di rumahnya.
Selama tinggal di Makkah, ia memang telah mengeluarkan modal yang menggerus uang tabungannya. Selain mempersiapkan barang dagangan, ia juga harus mengeluarkan uang sebesar lima ribu riyal untuk menyewa rumah selama dua bulan. Sementara untuk pelaksanaan ibadah di Arafah, Mina dan Muzdalifah yang akan berlangsung seminggu lagi, ia dan istrinya akan bergabung bersama rombongan calon haji ilegal yang sudah berjanji akan bertemu di suatu tempat nanti. Untuk itu, ia harus menyiapkan dana sebesar dua ribu riyal. Jumlah total yang harus dikeluarkannya bisa dibilang lebih murah dari pada harus membeli tasreh yang harga termurahnya mencapai lebih dari empat ribu empat ratus riyal per orang. Harga tasreh bisa jauh lebih mahal dari harga normal karena adanya pembatasan kuota tasreh oleh Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para makelar yang berkedok perkumpulan atau agen perjalanan haji. Mereka menawarkan jasa pembelian tasreh di luar cara dan harga yang sudah ditentukan. Ia tahu bila saat ini pengajuan pembelian tasreh yang dilakukan sudah bisa dilakukan secara online. Namun, tetap saja ia lebih memilih menjadi calon haji tanpa tasreh alias ilegal. Persoalannya bukan lagi karena uang tetapi karena iqamah miliknya yang sudah kadaluarsa sejak awal tahun.
Seharusnya ia memperpanjang masa berlaku iqamahnya pada akhir tahun kemarin. Namun, hal itu tak pernah ia lakukan, walaupun pihak imigrasi Saudi telah berulang kali mengirimkan notifikasi melalui sms agar ia segera mengurus perpanjangan izin tinggal sementara. Padahal, selama empat tahun sebelumnya, ia dan istrinya selalu rajin mengurus perpanjangan iqamah. Tetapi, itu dulu. Saat mereka masih mengabdikan diri, bekerja sebagai supir dan pembantu di rumah seorang ekspatriat, ahli pertambangan dari Australia, yang tinggal di Jeddah. Selama itu, mereka merasakan gaji dan fasilitas yang lumayan. Namun, setahun yang lalu, ekspatriat itu memutuskan untuk pulang ke negara asalnya.
Saat mengumumkan keputusan tersebut, majikannya menyatakan bahwa Saudi sedang memasuki resesi ekonomi. Harga minyak bumi yang menjadi andalan Saudi anjlok sehingga mengurangi secara drastis uang yang masuk kas Kerajaan. Keadaan semakin diperparah oleh keterlibatan Saudi yang ikut memerangi gerilyawan Houtis di Yaman dan bertahun-tahun tidak selesai. Menghadapi situasi tersebut, Kerajaan Saudi melakukan penghematan besar-besaran. Salah satunya adalah dengan menekan gaji dan fasilitas para ekspatriat. Termasuk majikannya. Itulah yang menjadi penyebab majikannya memilih kembali ke negeri asal. Sejak saat itu, mereka menjadi tenaga kerja informal alias pekerja serabutan.
**
Sejam berlalu. Anjing-anjing liar itu sepertinya sudah memindahkan isi kantong plastik ke dalam perut mereka. Satu per satu dari mereka pergi dan menghilang di antara celah-celah bukit batu. Lelaki itu berdiri dan melihat sekeliling. Setelah merasa semua anjing-anjing liar itu pergi, ia pun kembali bergegas menuju rumah.
Saat tiba di teras rumah, lelaki itu mendengar suara istrinya menangis sesengukan. Penasaran, ia dorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Didapatinya, perempuan teman seperjuangannya itu duduk di lantai ruang dapur yang juga merangkap kamar tidur.
”Dek, kamu kenapa?”
Istrinya tetap menangis. Saat lelaki itu menaruh tangannya di atas pundak perempuan yang teramat dicintainya itu, tangis istrinya semakin menjadi-jadi. ”Daging kita Mas! Daging untuk membuat bakso hilang digondol maling. Padahal, aku cuma tinggal sebentar di halaman...”
Aku tercekat. Tiba-tiba ingatanku kembali terkenang pada anjing-anjing liar dan makanan yang mereka perebutkan.
***
Ahmad Setiawan, jurnalis Radio/Petugas Media Center Haji PPIH 2016