Malam Panjang Alina
Kerumunan orang dengan beragam aktivitas berangsur bubar, berganti lalu-lalang yang tak tentu arah. Semua langkah kaki tampak gegas dan terburu-buru, seperti sedang mengejar atau dikejar sesuatu.
Senja yang jingga perlahan meremang ditelan oleh kelam malam. Azan berkumandang dari salah satu musala di ujung jalan, dilantunkan seorang pria yang terlampau uzur hingga mengharuskannya mengalami jeda berkali-kali, terbatuk-batuk, lalu menarik napas lebih panjang lagi agar tugasnya dapat ditunaikan secara paripurna. Begitu khusyuk dan tak tergesa-gesa. Toh, di musala itu, si pria uzur merangkap jabatan sebagai muazin, marbot, imam, sekaligus makmum.
Di halaman depan musala, sekelompok anak kecil berpakaian lusuh dan berwajah cemong langsung berhamburan, berlari ke rumah masing-masing diiringi perasaan khawatir sebelum dijemput paksa oleh ibu mereka yang kelak menghampiri dengan menenteng gagang sapu sembari bersungut-sungut, terkadang disertai lontaran kata-kata kasar yang tak semestinya diucapkan di muka umum, lebih-lebih di halaman rumah Tuhan. Azan magrib, tentu saja, tak ubahnya lonceng pulang yang mesti ditaati.
Kerumunan orang dengan beragam aktivitas berangsur bubar, berganti lalu-lalang yang tak tentu arah. Semua langkah kaki tampak gegas dan terburu-buru, seperti sedang mengejar atau dikejar sesuatu. Konon, di antara pergantian terang ke malam, kerap diiringi kedatangan setan-setan dan makhluk sejenisnya. Sebuah portal tak kasat mata terbuka, awal mula persinggungan dua dunia yang berbeda. Siapa pula yang rela menyambut kedatangan setan-setan?
Lingkungan kumuh itu seketika dilanda hening, sampah rumah tangga yang menyumbat saluran air dan berserak di sepanjang jalan menguarkan aroma tak sedap mendadak jadi lebih menyengat. Lorong-lorong sepi serta gelap, menyisakan decit tikus yang berkeliaran, hendak mencari makan demi keberlangsungan hidup yang entah sampai kapan. Mencari makan, nyatanya, merupakan perkara rumit yang mesti dilakoni oleh setiap makhluk hidup, tak terkecuali manusia.
**
Baca juga: Bawong Pamit Senja Terbuka
Tak jauh dari musala, di salah satu petak kamar rumah susun, seseorang sedang merenungi banyak hal yang berkelindan dalam hidupnya. Matanya menerawang ke luar jendela, memandangi gedung-gedung bertingkat yang berdiri angkuh dan seolah hendak mencengkeram hamparan langit, yang keberadaannya hanya terpisah oleh sebuah jembatan penyeberangan dari lingkungan tempat tinggalnya yang kumuh dan bau.
Jengah memandangi gedung-gedung yang bersiap memancarkan gemerlap jelang datang malam, sosok itu memutuskan untuk menutup jendela kamar hingga tak lagi menampilkan apa pun yang berpotensi menghujaninya dengan harapan serta mimpi-mimpi palsu akan masa depan. Dia mengerti dan berusaha sadar diri, kegemerlapan yang kelak terpancar dari gedung-gedung itu adalah sesuatu di luar jangkauan tangannya.
Sebut saja sosok itu sebagai Alina. Alina kerap menyambut kedatangan malam dengan sebuah prosesi yang teramat panjang, ditemani lagu Gloomy Sunday versi Billie Holiday yang disetel lirih dan berulang-ulang melalui ponsel yang memiliki kualitas audio ala kadarnya, bersahutan dengan lantunan azan seorang pria renta yang terdengar sayup-sayup serta memilukan. Lagu yang legendaris, menyayat hati, dan konon dapat menyebabkan seseorang yang mendengarnya seketika memiliki keinginan untuk bunuh diri dengan cara yang tragis.
Mitos legendaris itu nyatanya tidak berlaku bagi Alina, meski tak dipungkiri bahwa lagu yang sama dapat mengalirkan berkubik-kubik kesedihan serupa air bah yang menggenangi pemukiman padat penduduk. Mati bunuh diri, apa pun metodenya, merupakan bagian dari bentuk ketragisan itu sendiri. Dan, Alina tak cukup memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya yang sudah tragis dengan cara yang tragis.
Nasib Alina tak lebih buruk dari marbot musala yang panggilan azannya selalu diabaikan orang-orang, begitulah yang dia pikir dan simpulkan.
“Tidak, aku tidak seburuk itu,” gumam Alina, memvalidasi kesimpulan yang baru saja dibuatnya sendiri.
Tiga puluh menit pertama dari prosesi panjang itu, dihabiskan Alina dengan duduk di depan cermin rias yang kusam dan berdebu tanpa berbuat apa-apa, hanya memandang kosong refleksi dirinya yang membersamai nestapa. Jemari tangan Alina kemudian menggapai serta menyentuh permukaan cermin, mengusapnya beberapa kali. Butir debu tersingkap, tertiup oleh nyala kipas angin tua yang sesekali mengeluarkan suara decit tak beraturan, tetapi refleksi dirinya tetap saja tak memancarkan pesona seperti yang dia harap.
Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan serupa orang yang kehilangan harapan. Alina bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tentang bagaimana bisa dia tetap bertahan di tengah keras dunia yang digelutinya, sementara waktu dan usia terus menggerus, meninggalkan usang yang tak bisa hilang hanya dengan mengusap-usap telapak tangan di permukaan cermin yang berdebu. Refleksi dari pantulan cermin di hadapannya jelas tidak bisa berbohong hanya demi sebuah penghiburan diri yang bersifat semu.
Alina menggigit bibir bawahnya yang pucat dan belum terpulas oleh gincu murahan berwarna merah menyala. Bibir itu, entah sudah berapa kali, mungkin ratusan atau ribuan kali—Alina bahkan tidak bisa mengingat dan menghitungnya dengan pasti—berhasil menghadirkan desah nikmat di puncak tertinggi. Desah nikmat yang, tentu saja, diakui dan diapresiasi oleh para lelaki pencari kesenangan satu malam. Namun, itu hanya masa lalu, cerita mengenai kejayaan yang terus diputar ulang dalam ingatan Alina.
Bibir Alina barangkali masih memiliki keterampilan dan kemampuan yang sama, tapi tidak dengan pesonanya. Pesona di bibir itu memudar, kemudian sepenuhnya hilang seiring berlalunya masa, sama seperti hal lainnya yang bersifat fana. Alina mengesah, seolah ada banyak hal yang tiba-tiba berkerumun di kepalanya, saling berdesakan, lalu membuncah ke sembarang arah.
Puas mengasihani diri sendiri, Alina memulai ritual lainnya yang tak kalah menyedihkan, mengeja tiap-tiap garis halus yang membebani wajah dan penampilannya. Penuh ketelitian, jemari Alina meniti setiap milimeter wajah ovalnya, terutama pada sepasang garis senyum yang tampak lebih kentara dibanding garis-garis halus lainnya. Garis senyum itu, seringkali meruntuhkan kepercayaan diri Alina, membenamkannya pada rasa frustrasi yang berkepanjangan.
Alina pernah meringkuk sembari memeluk kedua lututnya selama berjam-jam di sudut kamar dengan mata sembab dan napas tersengal-sengal, tak sanggup menerima kenyataan bahwa garis senyum di wajahnya sulit disamarkan oleh riasan. Jika pun tersamar, dibutuhkan riasan yang lebih dari sekadar tebal, yang menjadikan wajah Alina tampak seperti badut dalam pertunjukan pesta ulang tahun.
Karenanya, Alina lebih memilih menutup rapat-rapat pintu kamar, mengasingkan diri dari pergaulan dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya yang gemar mencibir, bahkan untuk hal-hal kecil yang tak pernah terpikirkan olehnya. Pernah, suatu hari, Alina dicibir hanya karena bulu kakinya lebih lebat dari orang kebanyakan.
Dalam kesendirian yang mencekam, Alina menangis, meratapi sekaligus mengingkari putaran waktu yang telah berhasil mengangkanginya. Air mata bukan hanya mengalir, melainkan membanjiri kedua pipinya yang kemudian terkena lunturan maskara. Suara tangis Alina menyayat-nyayat, membuat siapa saja yang mendengarnya ingin ikut menangis. Kala itu, menatap refleksi diri dari pantulan cermin menjadi hal jauh yang lebih menyeramkan ketimbang menghadapi sekelompok bajingan yang kerap menyiulinya di tepi jalan.
“Tidak, ini semua tidak nyata!” Alina berteriak histeris, melempar benda-benda yang berada dalam jangkauan tangannya, memecahkan gelas dan asbak rokok, menjadi keping-keping yang sulit kembali disatukan. Kedua kaki Alina mengentak, menendang-nendang permukaan lantai hingga terdengar suara debam yang keras, meninggalkan garis retak pada lantai keramik.
Menatap nanar, lalu memalingkan pandangan, Alina membenci refleksi dirinya sendiri. Lebih tepatnya, Alina benci dengan kenyataan bahwa putaran waktu telah bertindak sedemikian kejam hingga refleksi dirinya tak lagi bisa berdusta terhadap usia. Kenapa itu harus terjadi padanya, bukan orang lain, Alina berulang kali mempertanyakan hal yang sama. Tunggu dulu, bukankah semua orang pada akhirnya pasti menua, Alina pun berulang kali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya.
Jam berdetak, malam semakin gelap, dan—dengan sisa-sisa semangat serta harga diri yang dimilikinya—Alina harus tetap bersiap. Di luar sana, ada banyak lelaki berkeliaran mencari hiburan sesaat, yang barangkali satu atau dua orang di antara mereka sedang menanti kehadirannya. Atau bahkan, ada seorang pria yang rela meninggalkan istrinya demi hidup bersama Alina, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, di masa kejayaan Alina.
**
Alina melangkah keluar dengan penuh keanggunan, melewati garis pintu dari sebuah tempat yang dia sebut sebagai “apartemen pinggiran”. Gaun yang dikenakan Alina menjuntai hingga menyentuh permukaan lantai, tertiup angin malam dan nyaris tersingkap sebelum tangannya bergerak sigap. Tatanan rambut Alina serupa puteri raja, membelalakkan mata para pria yang kebetulan melintas di depan pintunya.
“Widih, malam minggu pasti ramai nih. Betul kan, Mas Joko?” sapa seorang pria sembari memelintir kumisnya yang tidak seberapa, setengah berteriak saat mendapati Alina baru saja keluar dari kamarnya. Mata pria itu bergerak liar, memandangi tubuh Alina dari atas hingga ke bawah, lalu alisnya naik-turun, bermaksud menggoda Alina. Cara memandang yang melecehkan, tetapi Alina kadung kebal dengan perlakuan seperti itu.
Sapaan setengah berteriak dan pandangan melecehkan itu memancing penghuni rumah susun lainnya untuk segera menoleh ke arah Alina, sosok yang selama ini kerap menjadi bulan-bulanan di lingkungan tersebut. Suara siul kemudian bersautan, seolah menyambut keberadaan Alina yang sebenarnya tidak terlalu istimewa.
“Tolong ya, diralat.” Alina melancarkan protes keras, jarinya menuding-nuding ke lawan bicaranya. “Joko itu hanya nama yang tertera di KTP.”
“Lalu?” Pria yang sama menaikkan alisnya. “Siapa namamu malam ini, Sayang? Rita, Maria, atau Rosa?”
“Malam ini namaku Alina, Miss Alina.”
Alina melangkah lurus, melintasi para pria yang mengiringinya dengan riuh tepuk tangan, juga tawa yang terdengar melecehkan. Tak ada kewajiban bagi Alina untuk meladeni itu semua. Malam ini akan menjadi malam yang panjang baginya.
***
Arie Fajar Rofian
, pe
giat literasi yang berdomisili di Karawang